Judul   :  Pra Peradilan Pasca 4 Putusan MK
Penulis : Dr. Riki Perdana Raya Waruwu, S.H., M.H
Download : Klik Disini (versi PDF)


Pengantar

Ruang lingkup praperadilan sejatinya telah dibatasi dalam ketentuan Pasal 77 KUHAP, namun ternyata perkembangan hukum 5 (lima) tahun terakhir telah menerobos batas-batasan tersebut dan bahkan mendahului pembahasan Rancangan KUHAP. Perkembangan hukum merupakan wujud nyata dari implementasi teori resposif yang menguraikan hukum sebagai suatu sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi-aspirasi masyarakat. Perluasan ruang lingkup praperadilan khususnya mengenai penetapan tersangka telah dimulai sebelumnya keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014.

Praktik praperadilan terkait penetapan tersangka, awal mulanya dapat ditemukan dalam Putusan Nomor : 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt.Sel. Adapun pertimbangan hukumnya ialah menghubungkan sah atau tidaknya penetapan tersangka dengan penahanan sebagai upaya paksa kemudian ditafsirkan makna alat bukti yang cukup dalam ketentuan Pasal 21 ayat (1) KUHAP terhadap ketentuan Pasal 184 ayat (1) sehingga penetapan tersangka termasuk objek praperadilan namun mengenai penghentian penyidikan sebagai bagian dari penetapan tersangka dianggap bukan materi praperadilan.                                                                              

Praktik berikutnya diketahui melalui Putusan Nomor: 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel. Dalam pertimbangan putusannya, dilakukan uji kewenangan penyidik terhadap kedudukan tersangka selaku penegak hukum atau penyelenggara negara atau bukan keduanya. Adapun amar putusan menyatakan Surat Perintah Penyidikan yang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka oleh Termohon adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum, dan oleh karenanya Penetapan aquo tidak mempunyai kekuatan mengikat.

Kewenangan Praperadilan Penetapan Tersangka

(Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014)

Dalam Putusan MK tersebut,  diputuskan bahwa ketentuan Pasal 77 huruf A KUHAP tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan. Adapun salah satu pertimbangan hukumnya, penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan. Hal tersebut semata-mata untuk melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyidik yang kemungkinan besar dapat terjadi ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, padahal dalam prosesnya ternyata ada kekeliruan maka tidak ada pranata lain selain pranata praperadilan yang dapat memeriksa dan memutusnya.

Putusan MK ini memberikan perlindungan terhadap seseorang yang mengalami proses hukum yang keliru pada saat ditetapkan sebagai tersangka. Di dalam ketentuan Pasal 8 UU 39/1999 tentang HAM diatur bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab pemerintah. Hal ini berarti MK mengambil peran dalam pemenuhan hak asas manusia melalui putusannya sebagai bagian dari upaya responsif konstitusional. Salah satu unsur perlindungan hukum yang ditekankan melalui putusan ini adalah kepastian hukum bahwa penyidik harus melakukan tindakan penyidikan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.

Setelah lahirnya Putusan MK ini, maka permohonan praperadilan atas penetapan tersangka memiliki landasan hukum untuk diajukan ke pengadilan namun terdapat karakteristik khusus pengajuan praperadilan terkait penetapan tersangka yakni 1).penetapan tersangka tidak sah karena pemeriksan saksi-saksi, ahli, tersangka, penggeledahan,  serta penyitaan dilakukan setelah penetapan tersangka sehingga tidak terpenuhinya 2 (dua) alat bukti, 2).permohonan praperadilan yang kedua kalinya mengenai penetapan tersangka tidak dapat dikategorikan sebagai ne bis in idem karena belum menyangkut pokok perkara, 3).penetapan tersangka atas dasar hasil pengembangan Penyidikan terhadap tersangka lainnya dalam berkas berbeda adalah tidak sah.

Membatasi Ruang Lingkup Hukum Materil Praperadilan

(Putusan MK Nomor 109/PUU-XIII/2015)

MK melalui Putusan Nomor 109/PUU-XIII/2015 menafsirkan makna penyidik independen KPK yang dijadikan sebagai alasan mengajukan permohonan praperadilan tidak sahnya penetapan tersangka. MK mempertimbangkan, bahwa ketika terdapat perbedaan antara UU 30/2002 dengan KUHAP perihal kedudukan penyidik, maka dalam menjalankan tugasnya KPK tetap terikat pada UU 30/2002 dan dapat mengesampingkan KUHAP sepanjang hal itu secara khusus diatur dalam UU 30/2002, sejalan dengan prinsip lex specialis derogat legi generalis.  Selanjutnya, Mahkamah berpendapat penyidik KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (1) UU 30/2002 tidak harus hanya berasal dari institusi Kepolisian sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP dan menurut Mahkamah, KPK memiliki kewenangan untuk mengangkat sendiri penyidiknya.

Melalui putusan ini, MK menegaskan posisinya sebagai penafsir undang-undang dengan menghubungkan melalui menafsiran sistematis dengan prinsip kekhususan suatu undang-undang. Untuk menciptakan konsistensi sikap terhadap muatan menafsiran MK maka penyidik independen KPK sudah tidak eksis untuk dijadikan bagian dari permohonan praperadilan penetapan tersangka. Kesatuan hukum perlu dibangun untuk menghindari abuse of power untuk kepentingan-kepentingan tertentu.

Gugurnya Permohonan Praperadilan

(Putusan MK Nomor 102/PUU-XIII/2015)

Menyatakan Pasal 82 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “suatu perkara sudah mulai diperiksa” tidak dimaknai “permintaan praperadilan gugur ketika pokok perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama terhadap pokok perkara atas nama terdakwa/pemohon praperadilan”.

Melalui putusan ini pengertian “perkara sudah mulai diperiksa” dalam perkara praperadilan adalah pada saat pokok perkara disidangkan. Putusan MK ini akan menyelesaian perbedaan tasir para hakim pada saat menggugurkan permohonan praperadilan karena sebelumnya ada sebagian putusan praperadilan yang menggugurkan permohonan setelah berkas dikirim sebagaimana Putusan Nomor 02/Pid.Pra/2015/PN.Tdn. Adapun alasanyafrasa “sudah mulai diperiksa” tidak diatur secara gramatikal (menurut tata bahasa) oleh KUHAP sehingga kualifikasi “sudah mulai diperiksa” ditafsirkan secara sistematis terhadap ketentuan Bab XVI “Pemeriksaan Di Sidang Pengadilan” Bagian Ketiga “Acara Pemeriksaan Biasa” pada Pasal 152 KUHAP yang mengatur “Dalam hal pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dan berpendapat bahwa perkara itu termasuk wewenangnya, ketua pengadilan menunjuk hakim yang akan menyidangkan perkara tersebut dan hakim yang ditunjuk itu menetapkan hari sidang”. Proses penunjukan hakim dan proses penetapan hari sidang dilakukan oleh hakim melalui proses pemeriksaan berkas perkara terlebih dahulu.

Penyerahan SPDP (Putusan Nomor 130/PUU-XIII/2015)

MK menyatakan penyampaian Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) tidak hanya diwajibkan terhadap jaksa penuntut umum akan tetapi juga terhadap terlapor dan korban/pelapor dengan waktu paling lambat 7 (tujuh) hari dipandang cukup bagi penyidik untuk mempersiapkan/menyelesaikan hal tersebut. Adapun alasan MK didasarkan pada pertimbangan bahwa terhadap terlapor yang telah mendapatkan SPDP, maka yang bersangkutan dapat mempersiapkan bahan-bahan pembelaan dan juga dapat menunjuk penasihat hukum yang akan mendampinginya, sedangkan bagi korban/pelapor dapat dijadikan momentum untuk mempersiapkan keterangan atau bukti yang diperlukan dalam pengembangan penyidikan atas laporannya.

Putusan ini memberikan ruang bagi tersangka melakukan praperadilan apabila pada saat berstatus sebagai terlapor belum menerima SPDP atau lewatnya waktu 7 (tujuh) hari penyerahan SPDP kepada terlapor saat itu. Acuannya adalah adanya prinsip due process of law yang harus dipenuhi. Due Process of law : The conduct of legal proceedings according to established rules and principles for the protection and enforcement of privat right, including notice and the right to a fair hearing beforing a tribunal with the power to decide the case (Black’s law dictionary). Pemberitahuan dimulainya suatu proses hukum merupakan hak konstitusional yang dijamin pelaksanaannya oleh aparatur hukum sehingga SPDP sebagai bagian dari prosedur hukum perlu dipastikan pelaksanaannya. Penolakan terhadap alasan praperadilan karena telat mengirim SPDP sesuai dengan Putusan MK dapat diketahui melalui Putusan 71/Pid.Pra/2017/PN JKT.SEL dengan alasan “apabila tidak didalilkan ke dalam permohonan berarti pemohon menganggap tentang surat pemberitahuan dimulainya penyidikan bukan perkara yang substansial sehingga alasan tersebut ditolak”. Putusan ini merujuk pada formulasi permohonan praperadilan yang tidak memuat keberatan atas keterlambatan penyerahan SPDP melainkan diajukan pada kesimpulan.

Penutup

Perkembangan praperadilan melalui 4 Putusan MK mempengaruhi perubahan tahapan-tahapan prosedural hukum yakni terbukanya kewenangan mengajukan permohonan praperadilan penetapan tersangka, diakuinya kedudukan penyidik independen KPK, gugurnya permohonan praperadilan setelah berkas dikirim dan telah dimulai sidang pokok perkara serta kewajiban menyerahkan SPDP. Dalam hal penetapan tersangka juga terdapat karakteristik khusus yang akan selalu berkembang menyesuaikan prosedur yang berkeadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan serta diberlakukan pada zamannya karena tujuan hukum yang tidak berada pada zamannya sama saja dengan kesesatan. 

Judul   :  Pra Peradilan Pasca 4 Putusan MK
Penulis : Dr. Riki Perdana Raya Waruwu, S.H., M.H
Download : Klik Disini