PERLUASAN RUANG LINGKUP KERUGIAN IMMATERIAL

Oleh : Dr. Riki Perdana Raya Waruwu, S.H., M.H.

Hakim Yustisial Biro Hukum dan Humas MA


 

Pengantar

Marcus Tullius Cicero seorang filsuf, ahli hukum dan ahli politik mengatakan "Ubi societas ibi ius” yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Perkembangan hukum mengikuti kebutuhan masyarakat dari waktu ke waktu guna menyesuaikan pada zamannya karena hukum hanya sekedar alat. Selain oleh legislatif, pembentukan hukum juga dilakukan oleh para hakim melalui putusan-putusan yang progresif dalam menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat (judicial activism).

Judicial activism di dalam Black’s Law Dictionary diartikan a philosophy of judicial decision-making whereby judges allow their personal views about public policy among other factors to guide their decisions... Penggunaan judicial activism umumnya dilakukan pada negara yang menganut sistem common law karena pembuatan putusan berlandaskan pada pandangan hakim terhadap perkembangan baru atau kebijakan publik yang berkembang dan sebagainya sehingga tidak kaku berpedoman pada hukum tertulis.

Pembentukan hukum oleh hakim, dilakukan dengan menggunakan macam-macam penafsirkan hukum yang salah satunya adalah penafsiran ekstensif. Penafsiran ekstensif dilakukan dengan memperluas arti kata-kata yang terdapat dalam suatu peraturan perundang-undangan menurut kebutuhan masyarakat saat ini. Perluasan arti kata-kata dapat dilakukan terhadap hukum formil dan hukum materiil, termasuk terhadap gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata :

Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.

Salah satu unsur di dalam ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata ialah kerugian bagi orang lain. Tuntutan kerugian khususnya immaterial menjadi diskursus para hakim pada saat akan menjatuhkan putusan, namun terkadang terdapat keragu-raguan dalam merumuskannya sehingga berdampak hilangnya hak yang seharusnya diperoleh oleh orang lain. Untuk itu diperlukan kesepahaman pemikiran tentang kerugian immaterial karena di dalam Judicial Activism ternyata ruang lingkupnya semakin luas.

Karakter Umum PMH dan Wanprestasi

Ruang lingkup kerugian (damages) dalam PMH memiliki dimensi yang berbeda dengan wanprestasi karena batasan tuntutan pada wanprestasi sesuai dengan ketentuan Pasal 1250 KUHPerdata adalah penggantian biaya, rugi dan bunga. Rugi yang dimaksud terjadi karena kerusakan/kehilangan barang dan/atau harta  kepunyaan salah satu pihak yang diakibatkan oleh kelalaian pihak lainnya.

Kerugian akibat PMH ukurannya dikelompokkan menjadi kerugiaan materiil dan kerugiaan immaterial. Kerugiaan materiil merupakan kerugian yang senyatanya diderita dan dapat dihitung jumlahnya berdasarkan nominal uang sehingga ketika tuntutan materiil dikabulkan dalam putusan hakim maka penilaian dilakukan secara objektif. Misalnya biaya pengobatan dan perbaikan kendaraan atas kecelakaan lalu lintas dan lain sebagainya.

Immaterial menurut terminology hukum (P.P.M.Ranuhandoka B.A) diartikan “tidak bisa dibuktikan” sehingga kerugian immaterial merupakan kerugiaan yang diderita akibat perbuatan melawan hukum yang tidak dapat dibuktikan, dipulihkan kembali dan atau menyebabkan terjadinya kehilangan kesenangan hidup sementara, ketakutan, sakit, dan terkejut sehingga tidak dapat dihitung berdasarkan uang. Adapun cakupan kerugian immaterial menurut Mahkamah Agung dalam Putusan perkara Peninjauan Kembali No. 650/PK/Pdt/1994 “Berdasarkan Pasal 1370, 1371, 1372 KUHPerdata ganti kerugian immateril hanya dapat diberikan dalam hal-hal tertentu saja seperti perkara Kematian, luka berat dan penghinaan”.

Ketentuan Pasal 1370 KUHPerdata

Dalam hal pembunuhan dengan sengaja atau kematian seseorang karena kurang hati-hatinya orang lain, suami atau istri yang ditinggalkan, anak atau orangtua korban yang lazimnya mendapat nafkah dan pekerjaan korban, berhak menuntut ganti rugi yang harus dinilai menurut kedudukan dan kekayaan kedua belah pihak, serta menurut keadaan.

Ketentuan Pasal 1371 KUHPerdata

Menyebabkan luka atau cacat anggota badan seseorang dengan sengaja atau karena kurang hati-hati, memberi hak kepada korban selain untuk menuntut penggantian biaya pengobatan, juga untuk menuntut penggantian kerugian yang disebabkan oleh luka atau cacat badan tersebut. Juga penggantian kerugian ini dinilai menurut kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak dan menurut keadaan. Ketentuan terakhir ini pada umumnya berlaku dalam hal menilai kerugian yang ditimbulkan oleh suatu kejahatan terhadap pribadi seseorang.

Ketentuan Pasal 1372 KUHPerdata

Tuntutan perdata tentang hal penghinaan diajukan untuk memperoleh penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik. Dalam menilai satu sama lain, hakim harus memperhatikan kasar atau tidaknya penghinaan, begitu pula pangkat, kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak dan keadaan.

Berdasarkan ketiga pasal di atas, maka terdapat persamaan yang menyangkut karakteristik kerugian immaterial yakni penilaian kerugian oleh hakim dilakukan secara subjektif berdasarkan kedudukan dan keadaan korban serta kekayaan pihak yang melakukan PMH. Dalam proses persidangan, pihak yang dirugikan atas PMH berkewajiban menunjukkan keadaan matinya anggota keluarga, cacatnya anggota tubuh atau penghinaan yang dilakukan dengan mendalilkan dampak yang terjadi walaupun sepenuhnya tidak dapat dibuktikan. Misalnya akibat kecelakaan lalu lintas menyebabkan matinya seorang bapak sebagai tulang punggung keluarga yang selama ini membiayai segala kebutuhan hidup anggota keluarganya namun perihal tekanan mental ataupun kesedihan yang mendalam serta lain sebagainya tidak dapat dibuktikan.

Selain itu, perlu pembuktian mengenai kekayaan yang dimiliki oleh pihak yang melakukan PMH. Pembuktiannya dapat diketahui melalui kepemilikan atas barang-barang tidak bergerak maupun barang-barang bergerak, kepemilikan usaha dan lain sebagainya. Berdasarkan pembuktian tersebut maka merujuk pada contoh kasus kecelakaan di atas, ahli waris korban dapat menuntut kerugian immaterial dengan jumlah ratusan juta bahkan sampai milyaran rupiah kepada pihak yang senyatanya memiliki kekayaan.

Perkembangan Tuntutan Immaterial dalam Wanprestasi

Wanprestasi sebagaimana diuraikan di atas terbatas pada tuntutan ganti rugi, biaya dan bunga namun demikian melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 2822 K/Pdt/2014 antara Dirut PT.Lion Air sebagai pemohon kasasi (Tergugat) melawan Budi Santoso sebagai termohon kasasi (Penggugat) didapat kaidah baru tentang perluasan makna kerugian immaterial. Sengketa ini diajukan karena kegagalan keberangkatan penggugat menggunakan maspakai Lion Air dengan alasan operasional (melebihi kapasitas daya angkut) padahal penggugat mestinya menghadiri acara keluarga yang cukup penting. Tuntutan kerugian materiil yang diajukan oleh Penggugat sebesar Rp7.170.000,- sedangkan kerugian immaterial sebesar Rp100.000.000.

Putusan tersebut menolak permohonan kasasi dan memperbaiki amar Putusan PT Jakarta Nomor 319/Pdt/2013/PT.DKI yang membatalkan Putusan PN Pusat Nomor 506/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Pst. Sebagian amar perbaikannya ialah menyatakan Tergugat telah bersalah melakukan wanprestasi, menyatakan kerugian yang dialami Penggugat merupakan akibat tindakan dari Tergugat, Menghukum Tergugat untuk membayar kerugian materiil sebesar Rp7.170.000,- dan menghukum Tergugat untuk membayar kerugian immaterial yang dialami Penggugat sebesar Rp50.000.000.

Adapun alasan majelis hakim dalam pertimbangan hukumnya ”meski di dalam posita dan petitum gugatan penggugat mengkonstatir dan menyebutkan hal tersebut sebagai perbuatan melawan hukum, namun demi untuk pelaksanaan asas sederhana, cepat dan biaya ringan hal tersebut bisa dikualifisir/dipandang sebagai perbuatan wanprestasi sehingga permohonan kasasi ditolak dengan perbaikan”.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 2822 K/Pdt/2014, memiliki 2 (dua) kaidah hukum baru yakni 1). Gugatan yang dikualifisir sebagai perbuatan melawan hukum dapat diubah menjadi wanprestasi atas dasar asas sederhana, cepat dan biaya ringan. 2). Perbuatan hukum wanprestasi dapat pula dikabulkan tuntutan immaterial. Implementasi asas sederhana, cepat dan biaya ringan sebagaimana maksud dalam Pasal 2 ayat (4) jo Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman terlihat jelas di dalam putusan ini karena merubah bentuk sengketa dari tuntutan PMH menjadi wanprestasi.

Relevansinya adalah bentuk perikatan yang terjadi antara para pihak berdasarkan perjanjian pengangkutan orang bukan atas dasar PMH sehingga apabila mengikuti praktik pradilan yang umum maka gugatan tersebut dipandang cacat formil namun hal tersebut tidak menyelesaian persoalan diantara para pihak. Perihal dikabulkannya tuntutan immaterial, pada prinsipnya majelis kasasi tidak mempertimbangkan secara khusus karena pokok perubahan hanya terhadap kualifisir perbuatan.

Perkembangan Tuntutan Immaterial dalam PMH

Perbuatan melawan hukum sebagaimana diuraikan di atas dapat meminta tuntutan kerugian materiil dan immaterial.  Kerugian immaterial terbatas pada aspek kematian, luka berat dan penghinaan namun terdapat perluasan makna di dalam 2 (dua) putusan yakni 1). Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor 304/Pdt/2011/PN.Smg. yang dikuatkan oleh Putusan Tingkat Banding Nomor 254/Pdt/2012/PT.SMG Jo Putusan Kasasi Nomor 820 K/Pdt/2013 Jo Putusan PK Nomor 632 PK/Pdt/2014 dan 2). Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 305/Pdt.G/2009/PN.Tng yang dikuatkan oleh Putusan Tingkat Banding Nomor 54/Pdt/2010/PT.BTN Jo Putusan Kasasi Nomor 1391 K/Pdt/2011 Jo Putusan PK Nomor 334 PK/Pdt/2014.

Pertama, Putusan PN Semarang Nomor 304/Pdt/2011/PT.Smg. antara Robert Mangatas Silitonga melawan PT. Maskapai Lion Air Jakarta. Sengketa ini terkait hilangnya bagasi penumpang Lion Air yang telah dipercayakan sepenuhnya kepada pihak maskapai dari Medan ke Semarang dengan nilai kerugian materiil sebesar Rp19.115.000 dan tuntutan kerugian immateriil sebesar 100 (seratus) kali lipat dari total kerugian materiil yakni sebesar Rp1.911.500.000 namun pihak Lion Air hanya bersedia menganti kerugian sebesar Rp2.000.000.

Pengadilan Negeri Semarang mengabulkan gugatan penggugat dengan menyatakan tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum, mengabulkan kerugian materiil sebesar Rp19.115.000 dan juga mengabulkan gugatan immaterial sebesar Rp19.115.000. Adapun alasan dikabulkannya tuntutan immaterial sebesar Rp19.115.000 karena majelis hakim menilai jumlah sebesar itu adalah jumlah yang wajar sedangkan tuntutan immaterial sebesar Rp1.911.500.000,- tidak wajar.

Kaidah baru di dalam Putusan Nomor 304/Pdt/2011/PN.Smg adalah perbuatan melawan hukum akibat kekecewaan atas pelayanan bagasi penumpang pesawat termasuk yang dapat dikabulkan tuntutan kerugian immaterial. Kekecewaan tidak termasuk muatan di dalam Pasal 1371, 1372 dan 1373 KUHPerdata melainkan termasuk perluasan yang dibenarkan oleh putusan hakim.

Dalam cakupan yang lebih kecil maka dapat disebut bahwa perbuatan melawan hukum yang menyebabkan kekecewaan dapat menuntut kerugian immaterial kepada pihak yang melakukan PMH. Putusan Nomor 304/Pdt/2011/PN.Smg, tidak secara khusus mempertimbangkan bentuk kekecewaan yang dialami penggugat selaku penumpang pesawat yang kehilangan barang bagasinya dan juga tidak menguraikan kemampuan/kekayaan yang dimiliki oleh pihak maskapai penerbangan namun hanya dikaitkan pada jumlah immaterial yang wajar diberikan kepada penggugat.

Kedua, Putusan Nomor 305/Pdt.G/2009/PN.Tng antara Hastjarjo Boedi Wibowo melawan PT Indonesia Air Asia atas perbuatan melawan hukum pembatalan penerbangan secara sepihak melalui Short Message Service (SMS). Padahal Penggugat akan menjadi pembicara tunggal Workshop Program Studi Desain Komunikasi sehingga Penggugat sangat kecewa dengan pelayanan yang diberikan oleh Tergugat. Pengadilan Negeri Tangerang melalui Putusan Nomor 305/Pdt.G/2009/PN.Tng mengabulkan  gugatan dengan menyatakan PT Indonesia Air telah melakukan perbuatan melawan hukum dan menghukum untuk membayar ganti kerugian materiil sebesar Rp806.000,- dan membayar kerugian immaterial sebesar Rp50.000.000.

Adapun pertimbangan hukum dikabulkannya kerugian immaterial adalah "bahwa untuk menghindarkan tindakan sewenang-wenang dari perusahaan penerbangan umumnya dan tergugat khususnya terhadap penumpang maka kerugian immaterial penumpang umumnya, penggugat khususnya harus dibayar tergugat yang dianggap pantas dan adil sebesar Rp50.000.000.

Di dalam putusan ini terdapat 2 (dua) alasan dikabulkannya immaterial yakni 1). Menghindari tindakan sewenang-wenang dan 2). Kerugian immaterial yang pantas dan adil. Tindakan sewenang-wenang mengukur dominasi yang dimiliki oleh pihak maskapai penerbangan pada umumnya dalam pembatalan sepihak rencana penerbangan pesawat. Alasan ini merupakan bentuk perlindungan terhadap konsumen maskapai penerbangan agar lebih dihargai hak-haknya dengan memberikan informasi yang aktual dan faktual mengenai rencana penerbangan. Secara subjektif kemudian majelis hakim mempertimbangkan kepantasan dan keadilan dengan mengabulkan kerugian immaterial sebesar Rp50.000.000.

Uraian di atas memiliki persamaan kaidah dengan Putusan Nomor 304/Pdt/2011/PN.Smg bahwa perbuatan melawan hukum akibat kekecewaan pelayanan jasa penerbangan termasuk hal yang dapat dikabulkan tuntutan kerugian immaterial. Para Hakim di dalam perkara ini menerobos batasan ruang lingkup di dalam Putusan MA No. 650/PK/Pdt/1994 dengan pendeketan judicial activism atas rasa keadilan yang hidup dan berkembangan di masyarakat serta kerugian immaterial yang wajar.

Simpulan

Kerugian immaterial dalam perkara PMH tidak hanya menyangkut kematian, cacat berat, dan menghinaan melainkan termasuk kekecewaan. Secara khusus kekecewaan terhadap pelayanan jasa penerbangan dan bila ditafsirkan meluas termasuk kekecewaan pada perbuatan melawan hukum lainnya. Perluasan tuntutan kerugian immaterial yang masuk pada wanprestasi perlu direnungkan lebih jauh eksistensi dan relevansinya dalam praktik peradilan. Selanjutnya para hakim maupun praktisi hukum lainnya dapat mengikuti atau tidak kaidah-kaidah hukum tersebut karena belum mejadi yurisprudensi sehingga penekanannya adalah pada praktik judicial activism.