1. Latar Belakang Masalah

Mahkamah Agung telah melakukan transformasi besar-besaran dalam penyelenggaraan peradilan dengan basis teknologi informasi. Transformasi tersebut mendapat apresiasi yang luar biasa dari berbagai kalangan, termasuk dari Kepala Negara Republik Indonesia. Dalam acara Sidang Istimewa Laporan Tahunan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 2020 yang dilaksanakan pada hari Rabu, tanggal 17 Februari 2021, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, melontarkan pujian “tingkat dewa” kepada Mahkamah Agung yang telah berhasil memanfaatkan teknologi untuk mewujudkan modernisasi penyelenggaraan peradilan.[1]

Kesuksesan transformasi Mahkamah Agung dalam modernisasi penyelenggaraan peradilan dibuktikan dengan neraca penggunaan e-Court yang meningkat sangat pesat.[2] Langkah berani Mahkamah Agung untuk membangun inovasi persidangan secara elektronik tersebut pada kenyataannya benar-benar mampu menciptakan wajah baru praktik peradilan Indonesia menjadi lebih modern, sederhana, cepat, dan biaya ringan.[3]

Capaian gemilang tersebut harus disyukuri dan ditingkatkan. Mahkamah Agung tidak boleh stagnan dan terbuai dalam riuh tepuk tangan. Mahkamah Agung harus senantiasa kontinu bertransformasi, dengan cara terus menciptakan inovasi-inovasi baru, demi segera terbumikannya visi “Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia yang Agung”.[4]

Salah satu bentuk inovasi strategis yang patut dipertimbangkan oleh Mahkamah Agung dalam rangka melanjutkan tren transformasi berbasis teknologi adalah pelaksanaan pemeriksaan setempat (descente) secara elektronik. Perlu dicatat, hingga saat ini, descente adalah area penyelenggaraan peradilan yang belum tersentuh oleh pesatnya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi.[5] Belum ada satu pun aturan perundang-undangan yang memberi signal kebolehan descente diselenggarakan secara elektronik.[6] Padahal, hemat penulis, descente sangat perlu mendapat polesan inovasi, karena seringkali descente itulah yang menyebabkan pemeriksaan perkara menjadi lambat dan berbiaya mahal.

  1. Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang masalah yang telah dideskripsikan di atas, penulis merumuskan 4 (empat) pokok masalah:

  1. Mungkinkah descente dilakukan secara elektronik?
  2. Bagaimana teknik pelaksanaan descente secara elektronik?
  3. Apa saja objek yang memungkinkan diperiksa dengan descente secara elektronik?
  4. Apa saja keunggulan-keunggulan (strengths) dan kelemahan-kelemahan (weaknesses) jika descente dilakukan secara elektronik?
  5. Pembahasan
  6. Perubahan Hukum, Konsekuensi Logis dari Perkembangan Zaman

Perubahan adalah keniscayaan. Heraclictus, seorang filsuf Yunani, mengatakan “Nothing endures but change”.[7] Perubahan yang paling kentara dalam sejarah peradaban manusia adalah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Teknologi informasi dan komunikasi mencakup dua aspek: 1) teknologi informasi, dan 2) teknologi komunikasi. Teknologi informasi meliputi segala hal yang berkaitan dengan proses, penggunaan sebagai alat bantu, manipulasi, dan pengelolaan informasi. Sedangkan teknologi komunikasi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan penggunaan alat bantu untuk memproses dan mentransfer data dari perangkat yang satu ke perangkat lainnya.[8]

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi berdampak pada seluruh bidang kehidupan: ilmu pengetahuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, hingga pertahanan keamanan. Pada gilirannya, hukum—yang berstigma rigid pun—juga berjumpa dengan lesatan kemajuan tersebut. Marx Weber dan Emile Durkheim menyatakan bahwa hukum merupakan refleksi dari solidaritas yang ada dalam masyarakat. Linear dengan pernyataan Marx Weber dan Emile Durkheim, Arnold M. Rose mengemukakan teori umum tentang perubahan sosial hubungannya dengan perubahan hukum: perubahan hukum itu akan dipengaruhi oleh tiga faktor: pertama, adanya kumulasi progresif dari penemuan-penemuan di bidang teknologi; kedua, adanya kontak atau konflik antar kehidupan masyarakat; dan ketiga, adanya gerakan sosial (social movement).[9]

Perkembangan peradaban manusia dan perkembangan hukum laksana dua mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Kaidah dalam Hukum Islam menyatakan laa yunkaru taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azminah, wa al-amkinah, wa al-ahwal (tidak dapat diingkari, perubahan hukum terjadi karena perubahan zaman, lokalitas dan situasi sosial).

Sampailah kita pada kesimpulan: perubahan hukum adalah sebuah keniscayaan. Perubahan tersebut adalah konsekuensi logis dari perkembangan peradaban manusia. Tidak hanya berdampak pada hukum materiil, perkembangan peradaban manusia dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi juga berpengaruh pada hukum formil.

Untuk merespons tuntutan perkembangan zaman, pengadilan, sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman,[10] harus mampu memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi dalam penyelenggaraan peradilan. Pengadilan tidak boleh stagnan dengan hanya mengandalkan proses-proses konvensional.[11] Alasan inilah yang menjadi alasan mengapa negara-negara di dunia secara massif berupaya untuk menggunakan teknologi informasi dan komunikasi dalam penyelenggaraan peradilan.[12]

Momentum pandemi Covid-19 ini, idealnya, dapat dimanfaatkan untuk membuat terobosan-terobosan baru dalam percepatan transformasi digital dalam berbagai sektor kehidupan.[13] Dalam catatan sejarahnya, hukum acara dalam peradilan Indonesia, meski agak terlambat, namun masih mampu merespons perkembangan zaman. Perubahan-perubahan hukum acara tersebut jamaknya dikukuhkan dengan Peraturan Mahkamah Agung (Perma), Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung (SK KMA), dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA).

  1. Descente: Prinsip Baku dan Instrumen yang Dapat Berubah

Pemeriksaan setempat (descente) adalah sidang pengadilan yang digelar di tempat objek perkara berada, guna melihat keadaan atau memeriksa secara langsung objek tersebut. Descente dilaksanakan oleh satu atau lebih anggota majelis hakim, dibantu oleh panitera sidang yang bertugas mencatat peristiwa-peristiwa dan data-data selama berlangsungnya sidang pemeriksaan.[14] Pada tataran praktik, objek pemeriksaan setempat, sebenarnya, tidak terbatas pada benda saja, tetapi juga dapat berupa person (orang).

Dasar hukum descente adalah Pasal 153 HIR, Pasal 180 R.Bg, Pasal 211 s.d. 214 Rv[15], dan juga Surat Edaran MA Nomor 7 Tahun 2001 tentang Pemeriksaan Setempat. Substansi ketentuan aturan perundang-undangan tersebut pada pokoknya adalah: jika dipandang perlu dan berfaedah, ketua majelis dapat mengangkat satu atau dua anggota majelis (dalam praktik lebih banyak dilakukan oleh formasi lengkap: majelis hakim), dengan bantuan panitera, untuk melihat keadaan atau menjalankan pemeriksaan di tempat, sebagai keterangan yang dapat dijadikan bahan untuk mengambil keputusan.

Oleh karena descente juga termasuk bagian dari sidang pemeriksaan perkara, maka asas-asas yang berlaku dalam sidang pemeriksaan perkara sebagaimana yang diberlakukan di ruang sidang, juga harus tetap diberlakukan dalam descente. Asas-asas baku tersebut tidak dapat diubah atau dihilangkan, karena asas-asas tersebut merupakan ruh dari sistem peradilan itu sendiri.

Asas-asas baku yang mutlak harus ditegakkan dalam sidang pemeriksaan perkara, yang juga otomatis harus tetap dipertahankan dalam sidang descente antara lain:

  • Audi et alteram partem

Artinya, dilaksanakan dengan metode apapun (baik secara konvensional ataupun secara elektronik), sidang harus dilaksanakan dengan tetap mempersamakan kedudukan pihak-pihak.[16]

  • Ultra pertium partem

Luasnya objek sengketa dalam perkara perdata ditentukan oleh pihak. Hakim dilarang memutus melebihi dari apa yang dimohonkan.

  • Terbuka untuk umum

Pelaksanaan sidang harus dilaksanakan dalam sidang terbuka untuk umum, kecuali ditentukan lain oleh aturan perundangan.

  • Eventual maxim

Hakim harus aktif dalam memimpin sidang, demi terselenggaranya peradilan yang tertib, efektif, dan efisien.

  • Sederhana, cepat, dan biaya ringan

Dalam semua agenda persidangan, termasuk dalam descente, penyelenggaraan peradilan harus senantiasa berorientasi pada asas terselenggaranya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.

  • Asas-asas lain yang berlaku dalam pemeriksaan perkara perdata.

Selain terdapat asas-asas baku yang harus ditegakkan, di sisi lain, terdapat ketentuan-ketentuan descente yang dapat diubah. Ketentuan-ketentuan yang dapat diubah tersebut contohnya:

  • Idealnya pemeriksaan setempat dilengkapi dengan petugas pengamanan, namun karena biaya tidak mencukupi dan pelaksanaan descente diprediksi bakal berlangsung aman, maka descente dapat dilakukan dengan tanpa dihadiri pihak keamanan, dan;
  • Dalam hal descente dilakukan terhadap objek berupa tanah, perlu pemberitahuan kepada pihak pemerintah desa setempat terkait adanya pelaksanaan descente tersebut, namun dalam hal objek yang diperiksa dalam descente adalah Akta Nikah di Kantor Urusan Agama, pemerintah desa setempat tentu tidak perlu dilibatkan dalam

Begitu pula dengan teknik atau metode pelaksanaan descente, bisa jadi, karena adanya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, descente dapat dilangsungkan secara online. Namun satu hal yang perlu digaris bawahi: meskipun dilaksanakan dengan metode berbeda, asas-asas baku dalam pemeriksaan perkara harus tetap ditegakkan.

 

  1. Menggagas Descente secara Elektronik

Hukum selalu berjalan tertatih-tatih di belakang pesatnya perkembangan zaman.[17] Zaman memang boleh melaju sekencang-kencangnya, sepesat-pesatnya, tanpa harus terlebih dahulu menunggu restu dari siapa pun, termasuk dari aturan hukum. Sedangkan hukum, sebagai a tool of social engineering,[18] harus berjalan dengan regulasi yang ekstra hati-hati, demi terwujudnya pranata yang bermanfaat, adil, dan pasti.

Meski telah menjadi keniscayaan bahwa hukum terbiasa tertinggal di belakang pesatnya perkembangan zaman, namun upaya cepat-sigap Mahkamah Agung dalam merespons perkembangan teknologi informasi dan komunikasi patut mendapat apresiasi. Sebagaimana telah disinggung dalam latar belakang masalah, Mahkamah Agung telah berhasil beradaptasi dengan sangat baik terhadap pesatnya perkembangan teknologi.

Pada tahun 2018, Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara di Pengadilan secara Elektronik. Perma tersebut kemudian dicabut dan diganti dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan secara Elektronik. Kedua Perma tersebut harus dicatat sebagai prasasti yang menandakan bahwa Mahkamah Agung sangat adaptif dan concern terhadap tuntutan zaman.

Lahirnya Peraturan Mahkamah Agung tersebut adalah jawaban dari penantian panjang para pencari keadilan yang mendambakan terselenggaranya peradilan yang modern, efektif, dan efisien. Namun sayangnya, ternyata Perma Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan secara Elektronik dan aturan pelaksanaannya (surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor 129/KMA/SK/VIII/2019 tentang Petunjuk Teknis Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan secara Elektronik) belum memberi peluang atas probabilitas terselenggaranya descente secara elektronik.

Karena Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan secara Elektronik dan aturan turunannya belum mengatur legalitas descente secara elektronik, sampailah kita pada pertanyaan pertama sebagaimana dalam rumusan masalah:

“Mungkinkah descente dilakukan secara elektronik?”

Secara sederhana, descente secara elektronik dapat didefinisikan sebagai sidang pemeriksaan terhadap objek sengketa atau person yang perlu didengar keterangannya, dengan bantuan teknologi informasi dan komunikasi, sehingga memungkinkan bagi hakim komisaris atau majelis hakim untuk memeriksa objek sengketa atau person tersebut dengan tanpa mendatangi lokasi objek atau person yang diperiksa.

Dalam teori hukum perdata, pada dasarnya, descente adalah juga sidang seperti biasa, hanya saja tempat pelaksanaannya yang berbeda.[19] Sehingga, prinsip-prinsip hukum acara yang berlaku pada pelaksanaan descente adalah sama dengan hukum acara yang berlaku pada sidang pemeriksaan dalam ruang sidang. Jika dalam sidang pemeriksaan perkara, khususnya pembuktian, dapat dilakukan secara jarak jauh (Pasal 24 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan secara Elektronik), maka, idealnya, descente juga dapat diselenggarakan dengan jarak jauh atau secara elektronik.

Hukum acara bukan merupakan firman Tuhan yang harus diterima dengan taken for granted (diterima begitu saja; tidak ada celah perubahan), namun ia juga bukan seperti opini yang dapat dengan mudah disimpangi. Hukum acara adalah entitas, yang pada dasarnya harus ditegakkan secara lurus, namun pada kondisi tertentu, karena adanya tuntutan zaman misalnya, dapat saja hukum acara tersebut diubah. Namun yang perlu dicatat, perubahan hukum acara harus dilegalkan melalui instrumen aturan perundang-undangan.

Oleh sebab itu, meski secara teknis memungkinkan untuk dilaksanakan, namun descente secara elektronik tetaplah harus tetap menunggu terwujudnya payung hukum terlebih dahulu. Sesuatu yang telah diatur secara rigid oleh hukum acara, tidak dapat begitu saja disimpangi. Keberlakuan descente secara elektronik harus terlebih dahulu menunggu lahirnya beleid yang mengaturnya.

Berdasarkan analisis di atas, terhadap rumusan masalah yang pertama, secara tegas penulis dapat menyatakan: descente secara elektronik, secara teori, sangat memungkinkan untuk diselenggarakan, namun pelaksanaannya harus menunggu payung hukum terlebih dahulu.

Setelah rumusan masalah pertama telah tuntas terjawab, selanjutnya perlu dijawab rumusan masalah yang kedua:

“Bagaimana teknik pelaksanaan descente secara elektronik?”

Secara prinsip, hukum acara yang berlaku pada sidang descente konvensional, juga harus diterapkan dalam descente secara elektronik. Perbedaan yang paling mendasar antara descente konvensional dengan descente secara elektronik adalah: dalam descente konvensional, hakim komisaris atau majelis hakim harus mendatangi lokasi objek atau person yang diperiksa, adapun dalam descente secara elektronik, hakim komisaris atau majelis hakim tetap berada di ruang sidang dan melakukan pemeriksaan terhadap objek atau person yang diperiksa dengan menggunakan bantuan perangkat audio-visual yang memungkinkan bagi hakim untuk melihat, mendengar, dan mengamati objek yang diperiksa secara online. Adapun bagi pihak berperkara, dapat ditentukan kehadirannya secara kondisional: apakah cukup menghadiri descente secara elektronik, atau perlu datang langsung di lokasi pemeriksaan.

Hal yang perlu ditekankan dalam descente secara elektronik, sebagaimana ditekankan dalam hukum acara pembuktian secara jarak jauh (Pasal 24 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan secara Elektronik), adalah:

  1. Pelaksanaan descente secara elektronik harus terlebih dahulu mendapat kesepakatan dari pihak-pihak;
  2. Pelaksanaan descente secara elektronik harus menggunakan media komunikasi audio-visual, tidak dibenarkan hanya dengan menggunakan media audio saja, atau visual saja;
  3. Media yang digunakan harus dapat memungkinkan semua pihak untuk terlibat aktif dalam persidangan descente;
  4. Menggunakan infrastruktur pengadilan, atau dalam konteks tertentu, dapat pula menggunakan infrastruktur dari luar pengadilan;

Adapun panjar biaya yang mungkin timbul dari descente secara elektronik (misal: biaya pembelian paket data dan honor admin IT) dibebankan sesuai dengan amar putusan sela descente.

Dalam tataran teknis, perlu diformulasikan lebih lanjut perangkat keras (hardware) dan lunak (software) apa yang paling tepat digunakan dalam descente secara elektronik. Juga perlu dirumuskan siapa petugas operator IT yang ditunjuk untuk membantu hakim untuk memeriksa objek. Semua teknis dan perangkat dukung penyelenggaraan descente secara elektronik dapat diatur dalam aturan pelaksanaan oleh masing-masing direktorat jenderal badan peradilan.

“Apa saja objek yang memungkinkan diperiksa dengan descente secara elektronik?”

            Descente pada dasarnya tidak hanya terbatas pada objek benda tidak bergerak saja, tetapi descente juga dapat digunakan untuk memeriksa benda bergerak, surat-surat atau akta-akta yang secara hukum harus berada dalam kantor instansi tertentu, bahkan juga dapat memeriksa person (orang).

            Tentu terdapat perbedaan keleluasaan hakim dalam memeriksa objek antara descente secara langsung dengan descente secara elektronik. Oleh sebab itu, wajar jika tidak semua objek dapat diperiksa secara optimal dengan descente secara elektronik. Descente secara elektronik lebih kompatibel untuk memeriksa: 1) objek yang sifat pemeriksaannya tidak terlalu rumit, 2) pemeriksaan orang (person) yang perlu diperiksa di tempat tinggalnya, dan 3) juga untuk pemeriksaan akta-akta di instansi tertentu.

            Berikut penulis deskripsikan beberapa descente, yang secara teknis, sangat memungkinkan untuk dilakukan secara elektronik:

  1. Pemeriksaan benda tidak bergerak, namun bukan berupa tanah

Selain tanah, objek-objek benda tidak bergerak menurut ketentuan Pasal 506, 507 dan 508 KUH Perdata antara lain adalah: objek yang didirikan di atas tanah (bangunan), gilingan, pohon, mesin dan perkakas produksi dalam pabrik, reruntuhan bangunan, dan lain-lain. Termasuk juga benda tidak bergerak adalah kapal dengan berat kotor minimal 20 M3 (Pasal 314 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang). Oleh karena sifat pemeriksaan objek-objek tersebut di atas tidak mengharuskan mengetahui ukuran sisi-sisi, batas-batas, dan letak (seperti descente terhadap sebidang tanah),[20] sehingga objek-objek tersebut memungkinkan untuk diperiksa dengan descente secara elektronik.

  1. Pemeriksaan benda-benda bergerak

Termasuk benda bergerak adalah: alat-alat konstruksi bangunan (excavator, bulldozer, loader, backhoe loader, scraper, compactor), kendaraan (mobil, motor, perahu, kapal dengan berat kotor tidak mencapai 20 M3 dan hewan ternak (sapi, kerbau, atau kambing). Objek-objek tersebut juga tidak memerlukan pemeriksaan yang rumit, sehingga sangat memungkinkan untuk diperiksa dalam descente secara jarak jauh dengan bantuan teknologi informasi dan komunikasi.

  1. Pemeriksaan orang (person) yang dimintakan pengampuan

Dalam perkara permohonan pengampuan, jika person yang dimintakan pengampuannya tidak dapat dihadirkan ke hadapan sidang, maka undang-undang memerintahkan hakim untuk melakukan pemeriksaan setempat terhadap orang yang dimintakan pengampuan tersebut (Pasal 439 KUH Perdata). Teknik pemeriksaan terhadap person yang berada di luar ruang sidang cukup sederhana, hakim cukup mendengar keterangan person tersebut secara jarak jauh (dengan bantuan media audio-visual), sehingga descente dalam konteks ini memungkinkan dilakukan secara elektronik;

  1. Pemeriksaan saksi yang tidak dapat dihadirkan dalam sidang karena sakit, cacat, atau berhalangan untuk menghadiri sidang di pengadilan dalam tempo yang lama

Jika dalam suatu pemeriksaan perkara hakim menilai perlu mendengar keterangan seorang saksi, sedangkan saksi tersebut tidak dapat dihadirkan dalam sidang karena sakit, cacat, atau berhalangan untuk hadir ke sidang di pengadilan dalam tempo yang lama, maka Pasal 169 R.Bg memberikan solusi agar saksi tersebut didengar keterangannya oleh hakim komisaris atau oleh majelis hakim di tempat tinggal saksi tersebut berada. Sama seperti teknik pemeriksaan orang yang dimintakan pengampuan, pemeriksaan saksi yang berhalangan hadir dalam sidang ini juga memungkinkan dilaksanakan secara elektronik.   

  1. Pemeriksaan akta-akta di instansi tertentu

Dalam pemeriksaan perkara perceraian, terkadang penggugat tidak dapat mengajukan bukti perkawinan yang berupa Kutipan Akta Nikah dengan alasan karena kedua buah Kutipan Akta Nikah (untuk suami dan istri) dua-duanya dikuasai dan ditahan oleh pihak lawan (tergugat). Padahal, dalam teori pembuktian, suatu perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah.[21] Akta Nikah dalam perkara cerai berlaku sebagai probationis causa. Dalam kondisi Kutipan Akta Nikah dikuasai salah satu pasangan, Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) juga tidak akan bersedia mengeluarkan Duplikat Kutipan Akta Nikah, karena, secara teknis, Duplikat Akta Nikah hanya dapat dikeluarkan jika Kutipan Akta Nikah hilang (lenyap), sedangkan dalam contoh kasus di atas, Kutipan Akta Nikah tidaklah hilang, hanya saja berada dalam penguasaan salah satu pasangan. Sehingga, dalam kondisi tersebut, upaya yang logis dilakukan adalah mengadakan descente Akta Nikah pada Kantor KUA terkait.[22] Pemeriksaan tersebut tidaklah rumit, hakim cukup melihat dan memeriksa Register Akta Nikah yang tersimpan sebagai arsip di KUA tersebut, sehingga pemeriksaannya dimungkinkan secara elektronik.

  1. Pemeriksaan anak dalam perkara sengketa hak asuh

Dalam sengketa hak asuh anak, atas nama kepentingan terbaik anak, dalam konteks tertentu, descente perlu dilakukan.[23] Descente dalam sengketa hak asuh anak bertujuan untuk memeriksa: 1) anak yang disengketakan; 2) lingkungan di sekitar kediaman pihak penggugat dan tergugat (untuk melihat akses anak kepada tempat belajar, ada atau tidak adanya teman sebaya dengan anak, dan aspek lainnya yang mendukung pada tumbuh kembang anak).[24] Melihat dari materi yang diperiksa dalam descente dalam perkara sengketa hak asuh, maka descente tersebut dimungkinkan dilaksanakan secara elektronik.

Itulah jenis-jenis descente yang memungkinkan dilaksanakan secara elektronik. Artinya, dari sekian banyak jenis objek yang diperiksa dalam descente, hanya pemeriksaan benda tidak bergerak berupa tanah saja yang, secara teknis, sulit dilakukan. Kesulitan descente secara elektronik terhadap objek yang berupa tanah ini disebabkan karena dalam memeriksa tanah, hakim harus meneliti detil tentang: ukuran sisi-sisi bidang tanah, batas-batas seluruh sisi tanah, dan letak tanah.

Meskipun sulit dilakukan, tetapi descente terhadap tanah tetap saja dimungkinkan pelaksanaannya, terlebih lagi jika tanah tersebut telah bersertifikat hak milik (SHM) dan dalam pemeriksaan setempatnya hakim memohon bantuan juru ukur dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk datang ke lokasi untuk melakukan pengukuran. Sehingga hakim dan panitera cukup memantau jalannya pengukuran dari ruang sidang dengan bantuan teknologi informasi dan komunikasi.

Sampailah artikel ini pada rumusan masalah pamungkas:

“Apa saja keunggulan-keunggulan (strengths) dan kelemahan-kelemahan (weaknesses) jika descente dilakukan secara elektronik?”

Tidak terlalu sulit menjawab apa saja keunggulan descente yang dilakukan secara elektronik. Setiap keunggulan yang ada pada sistem peradilan elektronik (e-court) otomatis juga menjadi keunggulan descente yang dilakukan secara elektronik.

Keunggulan pertama dari pelaksanaan descente secara elektronik adalah ringannya biaya perkara. Maria Rosalina,[25] dalam penelitiannya menyatakan bahwa biaya pemeriksaan setempat di pengadilan dinilai mahal, sehingga pihak yang dibebankan untuk membayar pemeriksaan setempat, kadangkala tidak bersedia membayar, karena tidak sanggup. Mahalnya biaya descente ini sebenarnya bukan hal yang aneh atau di luar batas kewajaran. Karena komponen-komponen biaya yang harus dikeluarkan untuk kepentingan descente memang cukup banyak, meliputi: biaya pemanggilan pihak-pihak berperkara, pemberitahuan kepada pihak terkait, biaya transportasi majelis hakim ke lokasi objek yang diperiksa, biaya saksi-saksi, belum lagi biaya pengamanan yang harus dikeluarkan. Terlebih lagi jika descente dilakukan di beberapa tempat yang berbeda, tentu kondisi tersebut menambah mahalnya biaya. Mahalnya biaya tersebut akan dapat dikurangi secara signifikan jika descente dilakukan secara elektronik.

Selain biaya perkara menjadi ringan, pemanfaatan teknologi informasi, menurut Dory Reiling,[26] juga dapat membantu pengadilan menyelesaikan 3 (tiga) permasalahan utama di lembaga peradilan: 1) penanganan perkara yang berlarut-larut (delay) 2) sulitnya mengakses pengadilan bagi kelompok masyarakat tertentu (access), 3) perilaku korup dari oknum aparatur pengadilan (corruption).

            Selain empat keunggulan tersebut di atas, terdapat juga keunggulan lainnya, yaitu: lebih memberikan jaminan keamanan kepada hakim pelaksana descente. Seperti yang lazim terjadi, kadang kala pemeriksaan setempat berakhir ricuh. Dalam kondisi tersebut, tentu majelis hakim terancam keselamatannya. Penulis bersama rekan hakim lain, pernah hampir terkena lemparan batu dari pihak tergugat yang tidak terima objek sengketanya di-descente. Sehingga, jika dilihat dari perspektif tersebut, descente secara elektronik juga dapat membantu memberikan jaminan keamanan bagi hakim pemeriksa.

            Adapun kelemahan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi dalam descente secara elektronik adalah kemungkinan gagalnya descente yang disebabkan kurangnya infrastruktur. Kelemahan tersebut disebabkan karena dua faktor: 1) masih terbatasnya infrastruktur pengadilan,[27] dan 2) belum meratanya pembangunan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi oleh pemerintah di seluruh penjuru Nusantara. Dua kelemahan tersebut tentu akan menghambat pelaksanaan descente secara elektronik dan menyebabkan descente secara elektronik tidak dapat dilaksanakan di daerah-daerah yang belum tersedia jaringan internet.

Kendala pertama tersebut di atas tentu hanya dapat ditanggulangi dengan pengadaan infrastruktur yang memadai bagi semua Satker pengadilan. Sedangkan kelemahan yang kedua, tentu hanya dapat ditindaklanjuti oleh pemerintah (eksekutif) dengan cara mewujudkan pemerataan pembangunan infrastruktur dan fasilitas teknologi informasi dan komunikasi di seluruh wilayah NKRI.

  1. Kesimpulan

Terbitnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan secara Elektronik adalah lambang modernisasi penyelenggaraan peradilan. Namun sayangnya, Perma tersebut belum memberi peluang terhadap probabilitas terselenggaranya descente secara elektronik.

Descente secara elektronik dapat didefinisikan sebagai sidang pemeriksaan terhadap objek sengketa atau person yang perlu didengar keterangannya, dengan bantuan teknologi informasi dan komunikasi, sehingga memungkinkan bagi hakim komisaris atau majelis hakim untuk memeriksa objek sengketa atau person yang perlu didengar keterangannya, dengan tanpa harus mendatangi lokasi objek atau person yang diperiksa tersebut.

Penelitian ini menyimpulkan empat pokok pikiran:

            Pertama, descente secara elektronik, secara teori, sangat memungkinkan untuk diselenggarakan, namun pelaksanaannya harus terlebih dahulu menunggu payung hukum yang melegalkan.

            Kedua, pelaksanaan descente secara elektronik harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

  1. Terlebih dahulu mendapat persetujuan dari pihak-pihak;
  2. Menggunakan media komunikasi audio-visual, tidak dibenarkan hanya dengan menggunakan media audio saja, atau pun visual saja;
  3. Media yang digunakan harus dapat memungkinkan semua pihak untuk terlibat aktif dalam persidangan descente;
  4. Menggunakan infrastruktur pengadilan, atau dalam konteks tertentu, dapat pula infrastruktur menggunakan dari luar pengadilan;
  5. Panjar biaya yang mungkin timbul dari pelaksanaan descente secara elektronik dibebankan sesuai dengan amar putusan sela descente.

Ketiga, jenis-jenis descente yang secara teknis sangat memungkinkan untuk dilakukan secara elektronik adalah:

  1. Pemeriksaan benda tidak bergerak, namun bukan berupa tanah;
  2. Pemeriksaan benda-benda bergerak;
  3. Pemeriksaan orang (person) yang dimintakan pengampuan;
  4. Pemeriksaan saksi yang tidak dapat dihadirkan dalam sidang karena sakit, cacat, atau berhalangan dalam waktu yang lama untuk hadir di sidang pengadilan;
  5. Pemeriksaan akta-akta di instansi tertentu;
  6. Pemeriksaan anak dalam hal perkara sengketa hak asuh anak;

Adapun descente terhadap objek berupa tanah, meskipun agak sulit dilakukan, tetapi tetap saja mungkin untuk dilaksanakan. Terlebih lagi jika tanah tersebut telah berstatus Sertifikat Hak Milik (SHM) dan hakim memohon bantuan juru ukur dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam pelaksanaan descente-nya.

Keempat, keunggulan-keunggulan (strengths) pelaksanaan descente secara elektronik adalah: 1) biaya perkara menjadi ringan, 2) mempercepat penyelesaian perkara, 3) membuka akses pengadilan bagi kelompok masyarakat tidak mampu, 4) menutup celah perilaku koruptif dari oknum aparatur pengadilan, dan, 5) mengurangi risiko ancaman keselamatan bagi hakim pelaksana descente. Sedangkan kelemahan (weaknesses) descente secara elektronik adalah kemungkinan gagalnya descente yang disebabkan kurangnya infrastruktur. Kelemahan ini disebabkan karena dua faktor: 1) masih terbatasnya infrastruktur pengadilan, dan 2) belum meratanya pembangunan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi oleh pemerintah di wilayah NKRI.

Besar harapan penulis agar hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan diskusi oleh para stakeholder untuk menggodok probabilitas terlaksananya descente secara elektronik. Penulis yakin bahwa pelaksanaan descente secara elektronik dapat membantu Mahkamah Agung untuk mewujudkan peradilan yang modern, sederhana, cepat, wa bil khusus, dengan biaya ringan.

Sebagai pemungkas, penulis perlu mengajukan dua saran:  pertama, kepada Mahkamah Agung, agar: 1) segera menerbitkan aturan sebagai dasar pelaksanaan descente secara elektronik, dan 2) menjadikan pembangunan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi  sebagai prioritas dalam kebijakan anggaran Mahkamah Agung dan empat badan peradilan di bawahnya, kedua, kepada Pemerintah Republik Indonesia agar segera mewujudkan pemerataan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi di seluruh penjuru Nusantara.

 

 

Daftar Pustaka

  1. Aturan Perundang-Undangan

Burgerlijk Wetboek voor Indonesie.

Herzien Inlandsch Reglement.

Reglement Tot Regeling Van Het Rechtswezen In De Gewesten Buiten Java En Madura.

Reglement op de Rechtsvordering

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Wetboek van Koophandel voor Indonesie.

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan secara Elektronik.   

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara di Pengadilan secara Elektronik.

Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 129/KMA/SK/VIII/2019 tentang Petunjuk Teknis Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan secara Elektronik.

Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor KMA/032/SK/IV/2006, tentang Pemberlakuan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan.

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2001 tentang Pemeriksaan Setempat.

Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 056/Dja/Hk.05/Sk/I/2020 tentang Pelaksanaan Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Agama secara Elektronik.

  1. Buku, Jurnal, dan Makalah

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta, Kencana Prenanda Media Group, 2012.

Aco Nur, Amam Fakhrur, Hukum Acara Elektronik di Pengadilan Agama, Era Baru Sistem Peradilan di Indonesia, editor Sugiri Permana, Sidoarjo, Nizamia Learning Center, 2019. 

Ahmad Tholabi Kharlie, Achmad Cholil, E-Court and E-Litigation: The New Face of Civil Court Practices in Indonesia, International Journal of Advanced Science and Technology, Vol. 29, No.02, 2020.

Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama, Bogor, Ghalia Indonesia, 2012.

Ahmad Z. Anam, Membangun Laboratorium Bukti Elektronik, https://www.varia-peradilan.id, diakses tanggal 21 Februari 2021.

Ahmad Zaenal Fanani, Pemeriksaan Setempat dalam Sengketa Hak Asuh Anak, Perlukah? di https://beritalima.com/pemeriksaan-setempat-dalam-sengketa-hak-asuh-anak-perlukah/ diakses pada tanggal 21 Februari 2021.

Amran Suadi, Pembaruan Hukum Acara Perdata di Indonesia, Menakar Beracara di Pengadilan secara Elektronik, Jakarta, Kencana, 2020.

Astrid S. Soesanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Jakarta, Binacipta, 1985.

Diogenes Laetius, Live of Eminent Philosopher, Book IX, Sec. 8, London, Henry G. Bohn 1853.

Dory Reiling, Technology for Justice: How Information Technology Can Support Judicial Reform, Amsterdam: Leiden University Press, 2009.

Fahadil Amin Al-Hasan, Urgensi Pemeriksaan Setempat (Descente) pada Perkara Sengketa Anak dalam Mewujudkan Kepentingan Terbaik untuk Anak, artikel, 2021.

John M. Greacen, 18 Ways Courts Should Use Technology To Better Serve Their Customers, Denver: Institute for the Advancement of the American Legal System, 2018.

Karen Blochlingert, Primus Inter Pares: Is The Singapore Judiciary First Among Equals?, Pacific Rim Law & Policy Journal, Vol. 9, No. 3.

Maria Rosalina, Pengaturan Pemeriksaan Setempat (Descente) dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, Jurnal Hukum Kaidah, Volume: 18, Nomor 1.

Maria Rosalina, Implementasi Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2001 Tentang Pemeriksaan Setempat dalam Menyelesaikan Sengketa Tanah pada Pengadilan Negeri Stabat, Doktrina: Journal of Law, 1 (2) Oktober 2018.

Muhammad Syarifuddin, Transformasi Digital Persidangan di Era New Normal, Melayani Pencari Keadilan di Masa Pandemi Covid-19, Jakarta, Imaji Cipta Karya, 2020.

  1. Natsir Asnawi, Hukum Acara Perdata, Teori, Praktik dan Permasalahannya di Peradilan Umum dan Peradilan Agama, Yogyakarta, UII Pres, 2016.
  2. Natsir Asnawi, Technology and Court: Implementing Technology to Foster Court Functionality, artikel pada badilag.mahkamahagung.id.

Munir Fuadi, Teori-Teori Besar  (Grand Theory) dalam Hukum, Jakarta, Kencana Prenanda Media Group, 2013.

Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1994.

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Liberty, 1993.

Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, cet. ke-10, Jakarta, Sinar Grafika, 2010.

  1. Dokumen Instansi

Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035.

Laporan Tahunan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 2020.

  1. Lain-lain

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5f40072ab9863/sejumlah-kelemahan-sidang-elektronik-dalam-praktik/, diakses pada tanggal 21 Februari 2021.

https://id.m.wikipedia.org.

https://www.cnbcindonesia.com/news/20210217123230-4-223991/jokowi-puji-habis-transformasi-berbasis-tekno-mahkamah-agung, diakses pada 21 Februari 2021.

https://badilag.mahkamahagung.go.id/seputar-peradilan-agama/berita-daerah/pertama-kali-descente-akta-nikah-oleh-ms-idi-17-6.

https://badilag.mahkamahagung.go.id/seputar-ditjen-badilag/seputar-ditjen-badilag/mengkaji-sengketa-hak-asuh-anak-hakim-pa-kab-malang-menjadi-doktor-ilmu-hukum-208.

 

[1]https://www.cnbcindonesia.com/news/20210217123230-4-223991/jokowi-puji-habis-transformasi-berbasis-tekno-mahkamah-agung, diakses pada 21 Februari 2021.

[2] Berdasarkan Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2020, kenaikan penggunaan e-court pada tahun 2020 meningkat 295% jika dibandingkan dengan tahun 2019.

[3] Ahmad Tholabi Kharlie, Achmad Cholil, E-Court and E-Litigation: The New Face of Civil Court Practices in Indonesia, International Journal of Advanced Science and Technology, Vol. 29, No.02, (2020), hlm. 2212. 

[4] Mahkamah Agung, Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035, 2010, hlm. 13.

[5] Aco Nur, Amam Fakhrur, Hukum Acara Elektronik di Pengadilan Agama, Era Baru Sistem Peradilan di Indonesia, editor Sugiri Permana, (Sidoarjo: Nizamia Learning Center, 2019), hlm. 139. 

[6] Terbitnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan secara Elektronik belum memberi peluang terhadap pelaksanaan descente secara elektronik. Bahkan, dalam Huruf (e) Angka (6) Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 129/KMA/SK/VIII/2019 tentang Petunjuk Teknis Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan secara Elektronik dan Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 056/Dja/Hk.05/Sk/I/2020 tentang Pelaksanaan Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Agama secara Elektronik, ditegaskan bahwa jika suatu perkara memerlukan pemeriksaan setempat, maka pemeriksaan setempat dilakukan dengan hukum acara yang berlaku, lihat juga Amran Suadi, Pembaruan Hukum Acara Perdata di Indonesia, Menakar Beracara di Pengadilan secara Elektronik, (Jakarta, Kencana, 2020), hlm. 122.

[7] Artinya tidak ada yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri. Kutipan tersebut berasal dari tulisan-tulisan Heraclictus yang dikumpulkan oleh Diogenes Laetius dalam Live of Eminent Philosopher, Book IX, Sec. 8, diterjemahkan secara harfiah dari Bahasa Yunani oleh C.D. Yonge dan diterbitkan oleh penerbit Henry G. Bohn dari London, pada 1853.

[8] https://id.m.wikipedia.org.

[9] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 96. Lihat pula, Astrid S. Soesanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, (Jakarta: Binacipta, 1985), hal. 157-158.

[10] Pasal 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.

[11] M. Natsir Asnawi, Technology and Court: Implementing Technology to Foster Court Functionality, artikel pada badilag.mahkamahagung.id.  

[12] Sebagai contoh, Ketua Mahkamah Agung Singapura saat itu, Chief Justice Yong Pung How, menginstruksikan penerapan teknologi informasi agar seluruh perangkat komputer Pengadilan terintegrasi atau terhubung satu sama lain, lihat Karen Blochlingert, Primus Inter Pares: Is The Singapore Judiciary First Among Equals?, Pacific Rim Law & Policy Journal Vol. 9 No. 3, hlm. 602.     

[13] Muhammad Syarifuddin, Transformasi Digital Persidangan di Era New Normal, Melayani Pencari Keadilan di Masa Pandemi Covid-19, (Jakarta, Imaji Cipta Karya, 2020), hlm. 71. 

[14] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1993), hlm. 160.

[15] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, cet. ke-10, (Jakarta, Sinar Grafika, 2010), hlm. 780.

[16] Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), hlm. 34.

[17] Ahmad Z. Anam, Membangun Laboratorium Bukti Elektronik, https://www.varia-peradilan.id, diakses tanggal 21 Februari 2021.

[18] Fungsi hukum sebagai alat perekayasa sosial tersebut pertama kali dicetuskan oleh Roscoe Pound, lihat Munir Fuadi, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, (Jakarta: Kencana Prenanda Media Group, 2013), hlm. 248.

[19]  M. Natsir Asnawi, Hukum Acara Perdata, Teori, Praktik dan Permasalahannya di Peradilan Umum dan Peradilan Agama, (Yogyakarta: UII Pres, 2016), hlm. 435. Lihat juga Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana Prenanda Media Group, Cet. Ke-6, 2012), hlm. 273.

[20] Dalam hal objek pemeriksaan berupa tanah, hakim perlu memeriksa secara detil tentang letak, batas, dan ukurannya. Lihat Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor KMA/032/SK/IV/2006, tentang Pemberlakuan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan.

[21] Pasal 7 Angka (1) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.

[22] Contoh praktik descente terhadap Akta Nikah ini adalah seperti yang dilakukan oleh majelis hakim pada Mahkamah Syar’iyyah Idi, lihat https://badilag.mahkamahagung.go.id/seputar-peradilan-agama/berita-daerah/pertama-kali-descente-akta-nikah-oleh-ms-idi-17-6.

[23] Ahmad Zaenal Fanani, Pemeriksaan Setempat dalam Sengketa Hak Asuh Anak, Perlukah? Lihat di https://beritalima.com/pemeriksaan-setempat-dalam-sengketa-hak-asuh-anak-perlukah/ diakses pada tanggal 21 Februari 2021. Arti penting pemeriksaan setempat dalam sengketa hak asuh ini merupakan salah satu kesimpulan dalam sebuah disertasi yang berjudul “Sengketa Hak Asuh Anak Dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia Perspektif Keadilan Jender”, hasil penelitian disertasi oleh Ahmad Zaenal Fanani, lihat https://badilag.mahkamahagung.go.id/seputar-ditjen-badilag/seputar-ditjen-badilag/mengkaji-sengketa-hak-asuh-anak-hakim-pa-kab-malang-menjadi-doktor-ilmu-hukum-208.

[24] Fahadil Amin Al-Hasan, Urgensi Pemeriksaan Setempat (Descente) pada Perkara Sengketa Anak dalam Mewujudkan Kepentingan Terbaik untuk Anak, artikel, 2021, hlm. 8.

[25] Maria Rosalina, Pengaturan Pemeriksaan Setempat (descente) dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, Jurnal Hukum Kaidah, Volume: 18, Nomor : 1, hlm. 7. Lihat juga Maria Rosalina, Implementasi Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2001 Tentang Pemeriksaan Setempat Dalam Menyelesaikan Sengketa Tanah pada Pengadilan Negeri Stabat, Doktrina: Journal of Law, 1 (2) Oktober 2018, hlm. 124.

[26] Dory Reiling, Technology for Justice: How Information Technology Can Support Judicial Reform, Amsterdam: Leiden University Press, 2009, hlm. 257. Lebih lanjut, dalam penelitian John M. Greacen, disimpulkan bahwa publik menghendaki penggunaan teknologi informasi dan komunikasi di pengadilan dengan harapan agar segala halangan dalam memperoleh keadilan dapat dihilangkan, John M. Greacen, “18 Ways Courts Should Use Technology To Better Serve Their Customers, Denver: Institute for the Advancement of the American Legal System, 2018, hlm.1.

[27] https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5f40072ab9863/sejumlah-kelemahan-sidang-elektronik-dalam-praktik/, diakses pada tanggal 21 Februari 2021.