PEMBARUAN PERADILAN SEBAGAI IKHTIAR MEWUJUDKAN COURT EXCELLENCE
 

Dr. Ridwan Mansyur, S.H., M.H.[1]

 

Nothing endures but change,[2] begitulah statemen Heraclictus, seorang filsuf kenamaan Yunani. Di dunia ini tidak ada yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri. Demikian halnya kebutuhan atas layanan pengadilan, seiring perkembangan zaman, ia terus berkembang dan berubah. Publik menghendaki agar pengadilan mampu dan senantiasa beradaptasi dengan laju perkembangan peradaban. Tidak ada jalan lain untuk dapat memenuhi ekspektasi publik tersebut kecuali dengan satu cara: pembaruan.

Mahkamah Agung memiliki komitmen serius dalam hal pembaruan peradilan. Untuk mempertegas komitmen tersebut, disusunlah Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035.[3]. Cetak biru ini merupakan peta jalan sekaligus mercusuar yang akan memandu dan memberi petunjuk arah pembaruan peradilan agar dapat berjalan lebih terstruktur, terukur, serta tepat sasaran.

Pembaruan peradilan mutlak diperlukan untuk memenuhi nilai-nilai inti Court Excellence. Bertolak dari sini, kemudian muncullah pertanyaan: 1) nilai-nilai apa saja yang mutlak harus dipenuhi untuk mewujudkan Court Excellence? 2) apa saja pembaruan-pembaruan yang telah diikhtiarkan oleh Mahkamah Agung? 3) apakah pembaruan-pembaruan yang dilakukan Mahkamah Agung tersebut telah selaras dengan nilai-nilai Court Excellence? Artikel ini berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

 

 

[1] Panitera Mahkamah Agung Republik Indonesia

[2] Artinya tidak ada yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri. Kutipan tersebut berasal dari tulisan-tulisan Heraclictus yang dikumpulkan oleh Diogenes Laetius dalam Live of Eminent Philosopher, Book IX, Sec. 8, diterjemahkan secara harfiah dari Bahasa Yunani oleh C.D. Yonge dan diterbitkan oleh penerbit Henry G. Bohn dari London, pada 1853.

[3] Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035, Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2010, hlm. iii.



Selengkapnya lihat di sini