Ketua Kamar Agama Mahkamah Agung RI, Prof. Dr. Drs. H. Amran Suadi, S.H., M.Hum, M.M.  dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Perlindungan Hak Perempuan dan Anak dalam Peradilan Agama Islam dalam Rapat Senat Terbuka UIN Sunan Ampel Surabaya (14/03/2022). Orasi ilmiah yang disampaikan dalam acara pengukuhan guru besar tersebut berjudul “Jaminan Perlindungan Hak-Hak Perempuan dan Anak Berbasis Interkoneksi Sistem: Sebuah Pemikiran Metabolisme Biological Justice”.

Kajian mengenai perempuan dan anak hingga saat ini masih sangat penting dan relevan untuk dilakukan. Hal ini disebabkan karena perempuan dan anak seringkali menghadapi domestifikasi budaya patriarkat, sehingga terabaikan hak-hak dasarnya. Prof Amran, dalam orasi ilmiahnya, secara bernas menawarkan gagasan penjaminan hak-hak perempuan dan anak setelah terjadinya perceraian.

Latar Pemikiran

Kegelisahan akademik yang menjadi spirit Prof Amran untuk mengangkat tema perlindungan hak perempuan dan anak adalah karena pelaksanaan putusan perkara akibat perceraian yang selama ini berjalan masih relatif lemah dan tidak efisien. Proses eksekusi seringkali menuntut biaya tinggi dan tidak sepadan dengan nominal putusan yang hendak di eksekusi. Akibatnya, putusan-putusan pengadilan dipandang layaknya sekedar ‘macan kertas’ yang hanya berwibawa pada tulisan tapi lemah dalam pelaksanaan.

Kondisi tersebut diperparah dengan masih lemahnya posisi perempuan dan anak dalam kultur masyarakat. Dalam perkara mengenai hukum keluarga, perempuan dan anak sering kali menjadi pihak inferior. Tidak sedikit perempuan mengajukan perceraian dikarenakan mengalami kekerasan dalam rumah tangga (domestic violences) dari suaminya, baik yang berwujud kekerasan fisik, psikis, verbal, seksual ataupun kekerasan ekonomi. Inferioritas tersebut menyebabkan suami, sebagai pihak hak relatif superior, melalaikan kewajibannya untuk membayar kewajiban pascaperceraian. Hingga saat ini terdapat sejumlah laporan yang masuk ke pengadilan agama tentang kelalaian mantan suami dalam menjalankan kewajiban membayar nafkah anak, nafkah iddah, mut’ah dan madhiyah setelah terjadi perceraian. Berangkat dari kegelisahan tersebutlah, Prof Amran berpandangan bahwa untuk menjamin perlindungan terhadap hak-hak perempuan dan anak, selain dilakukan dengan substansi hukum, struktur hukum, dan kultur hukum, juga harus dilakukan pembaharuan dengan sistem yang saling terkoneksi. 

Interkoneksi Sistem

Jaminan perlindungan hukum pada perempuan dan anak sejatinya telah diatur dalam konstitusi. Prinsip persamaan di hadapan hukum bagi semua warga negara (equality before the law) secara tegas diatur dalam Pasal 27 ayat 1 UUD NRI 1945 yang selaras dengan ketentuan Pasal 7 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Meskipun demikian, berdasarkan pengamatan selama lebih dari 36 tahun menjadi hakim, Prof Amran menjumpai kenyataan bahwa penegakan hukum terkait hak-hak perempuan pascaperceraian sering tidak dilaksanakan oleh pihak laki-laki sebagai mantan suami.

Hal tersebut kemudian menjadi pijakan untuk mengembangkan kajian tentang keadilan yang diibaratkan sebagai sebuah metabolisme darah yang mengalir di tubuh hukum dan saling berinteraksi untuk memberikan kehidupan hukum dan keadilan yang tidak bisa berdiri sendiri; saling bergantung pada berbagai dimensi terkait. Bagi Prof Amran, prinsip keadilan tersebut merupakan salah satu bagian dari prinsip keadilan yang harus ditegakkan.

Untuk tujuan penegakan keadilan ini, Prof Amran menghendaki agar hakim senantiasa peka dan memiliki ketajaman hati nurani untuk dapat menilai dampak perceraian bagi istri dan anak. Faktor emosi, ekonomi dan psikologis yang dialami mantan istri dan anak pascaperceraian haruslah menjadi patron berfikir hakim dalam memutus perkara. Habituasi anggapan bahwa proses peradilan sudah selesai pada tahap penjatuhan putusan, lantas mengabaikan aspek pelaksanaannya, merupakan degradasi terhadap wibawa peradilan itu sendiri.  Arti penting pelaksanaan putusan ini linear dengan kaidah dalam Risalah Umar bin Khattab yang menyatakan “Dan segeralah laksanakan (eksekusi) hukum tersebut ketika sudah jelas. Karena tidak ada gunanya menjatuhkan putusan yang benar tapi tidak dapat dilaksanakan”.

Untuk mewujudkan pelaksanaan putusan yang efektif dan efisien, Prof Amran mengusulkan perlunya pembangunan interkoneksi sistem dengan lembaga-lembaga di luar lembaga yudikatif. Langkah ini bertujuan agar putusan-putusan pengadilan agama dalam hal pemenuhan dan jaminan hak-hak perempuan dan anak dapat dilaksanakan secara cepat dan tepat. Adanya keterlibatan lembaga-lembaga di luar yudikatif akan memudahkan dan menjadi daya paksa tersendiri dalam pelaksanaan putusan pengadilan terkait hak-hak perempuan dan anak.

Langkah Strategis Membumikan Interkoneksi Sistem

Prof Amran menawarkan langkah kongkrit untuk mewujudkan agenda interkoneksi sistem dalam rangka melaksanakan putusan pengadilan terkait hak-hak perempuan dan anak. Langkah tersebut adalah dengan cara sebagai berikut:

  1. Membangun database terpadu antara lembaga peradilan dengan kementerian terkait
  2. Membangun koordinasi antara Mahkamah Agung dengan kementerian/lembaga terkait

Interkoneksi sistem dengan kementerian atau lembaga terkait dapat dideskripsikan sebagai berikut:

  1. Kementerian Dalam Negeri dapat memblokir Nomor Induk Kependudukan (NIK) ketika pihak suami belum memenuhi kewajibannya dalam waktu yang ditentukan, sehingga pemblokiran tersebut mengakibatkan terbatasnya akses publik bagi yang bersangkutan. Pemblokiran dapat dicabut oleh Kemendagri setelah mendapat notifikasi dari pengadilan bahwa mantan suami telah memenuhi kewajibannya
  2. Kementerian Hukum dan HAM juga diberikan kewenangan melalui Direktorat Jenderal Imigrasi untuk memblokir data paspor sehingga yang bersangkutan tidak dapat melakukan perjalanan ke luar negeri
  3. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan regulasi yang memberikan kewenangan kepada lembaga keuangan untuk melakukan pemblokiran rekening sehingga mantan suami tidak dapat melakukan akses terhadap layanan keuangan
  4. Pihak kepolisian dapat melakukan pemblokiran pengurusan SKCK
  5. BPJS dan layanan administrasi tingkat desa juga dapat melakukan pemblokiran akses
  6. Bagi mantan suami yang berprofesi sebagai ASN, Pegawai BUMN, BUMD maupun pegawai swasta, pelaksanaan putusan dapat dilakukan dengan cara pemotongan gaji
  7. Bagi mantan suami yang tidak memiliki penghasilan karena alasan tertentu menurut hukum, perlu ada mekanisme penjaminan sosial dari Kementerian Sosial ataupun Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Kesimpulan

Sebagai ikhtitam, Prof Amran mengerucutkan orasinya pada tiga kesimpulan sebagai berikut:

Pertama, Negara diharapkan dapat menginisiasi dan memperkuat komitmen untuk memberikan perlindungan dan jaminan hak-hak perempuan dan anak pascaperceraian.

Kedua, hakim sebagai penegak hukum harus memahami dan menerapkan prinsip metabolisme biological justice bagi jaminan perlindungan perempuan dan anak pascaperceraian.

Ketiga, interkoneksi sistem pelaksanaan putusan pengadilan bagi perlindungan hak-hak perempuan dan anak merupakan sebuah keniscayaan untuk mewujudkan kepastian hukum [Mp/Aza]