S ecara statistik, satu dari 1,4 juta putusan adalah angka yang sangat kecil. Namun demikian, Panitera MA, Soeroso Ono, berharap agar kekeliruan upload dokumen elektronik seperti dalam kasus publikasi putusan perkara nomor 2007 K/Pid.Sus/2011 tidak berulang. Untuk itu, Ia mendorong jajarannya dan seluruh pimpinan pengadilan untuk memperketat Quality Control proses publikasi putusan. Ia pun meminta publik untuk terus membaca Direktori Putusan yang kini memiliki koleksi putusan mendekati angka 1,5 juta.

Mahkamah Agung menerapkan aturan bahwa perkara dikatakan telah terminutasi apabila file elektroniknya turut diserahkan saat penyerahan berkas. File inilah yang kemudian diunggah ke Direktori Putusan. Oleh kerena itu, Panitera MA meminta jajarannya memastikan file yang diserahkan adalah versi terakhir yang sesuai dengan dokumen aslinya.

 

Soeroso menjelaskan bahwa ada perbedaan antara kekeliruan publikasi putusan perkara 2007 K/Pid.Sus/2011 dengan kekeliruan perkara Supersemar atau perkara lainnya. Kekeliruan perkara nomor 2007 adalah kekeliruan mengambil file putusan untuk diupload. Sedangkan salinan putusan yang dikirim ke pengadilan pengaju tidak ada kekeliruan.

“File putusan yang diupload ternyata bukan versi final, namun masih versi draft meski format penulisannya sudah rapi”, ujar Soeroso.

“ Oleh karena itu, begitu diketahui ada berita di media, langsung dicari file putusan yang final dan segera dipublikasikan”, imbuhnya.

Sedangkan kekeliruan dalam perkara Supersemar adalah kekeliruan pengetikan pada salinan putusan yang dikirim ke pengadilan pengaju, sehingga otomatis keliru juga versi elektroniknya.

Mekanisme perbaikan kekeliruan yang bersifat typo pada salinan putusan adalah dengan prosedur renvoi. Melalui prosedur ini, salinan putusan yang keliru “ditarik” kembali  oleh pengadilan kemudian dilakukan perbaikan pada dokumen putusan tersebut. Pada halaman yang dilakukan perbaikan dibubuhkan tanda tangan  panitera muda perkara sebagai pejabat yang melegalisasi salinan putusan sesuai dengan aslinya. Sedangkan tanda tangan majelis hanya dibubuhkan pada asli putusan yang tersimpan di pengadilan.  Di pengadilan Australia, mekanisme perbaikan typo ini dikenal dengan corrigendum.

Sementara itu untuk perbaikan versi elektronik dilakukan dengan mengganti file yang bersangkutan. Hal ini karena status file elektronik yang terpublis di Direktori Putusan bukan merupakan salinan resmi.

Panitera MA memberi apresiasi kepada media yang kini telah menjadikan direktori putusan sebagai sumber berita. Menurut Panitera dari jutaan putusan yang tersedia, maka  bisa digali jutaan kisah, informasi peraturan, doktrin ataupun teori dan kaidah hukum. Bahkan dalam proses menggali informasi itu, media mungkin menemukan adanya kekeliruan. Kekeliruan, kata Panitera,  adalah bad news yang menjadi  good news dari sisi media.

“Namun ini bentuk pemanfaatan yang positif sekaligus sebagai fungsi control ”, pungkas Panitera