Den Haag (11/10/2016) - Presiden Hoge Raad Belanda Maarten Feteris dalam sambutannya di hadapan Delegasi Mahkamah Agung menyatakan bahwa Hoge Raad akan menerapkan sistem digitalisasi pengadilan secara penuh pada 1 Februari 2017 mendatang. Mulai tanggal tersebut penanganan perkara, mulai dari pengajuan berkas oleh pihak, pemeriksaan berkas oleh majelis hakim, dan pengiriman kembali berkas ke pihak dilakukan tanpa menggunakan kertas.  Ia menyebutkan proses ke arah  digitalisasi pengadilan telah dilakukan oleh Hoge Raad sejak tahun 2007.

Dalam agenda pertemuan dengan Delegasi Mahkamah Agung tertangkap beberapa informasi yang menggambarkan bagaimana proses yang dilakukan oleh Hoge Raad untuk sampai pada digitalisasi pengadilan, diantaranya:

 

1.       Merubah 6 Undang-Undang

Merubah proses berperkara di pengadilan akan bersinggungan dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut juga terjadi di Hoge Raad Belanda. Apalagi yang dilakukan adalah perubahan yang cukup radikal, merubah dokumen kertas menjadi elektronik. Isu-isu hukum terkait dengan otentikasi dokumen, proses pemberitahuan, aturan jangka waktu upaya hukum akan menjadi pertanyaan yuridis. Untuk itu, menurut Adwin  Rotcheid  ada enam peraturan perundang-undangan yang diubah untuk mendukung proses digitalisasi pengadilan.

2.       Menyediakan Portal

Saat ini digitalisasi berkas perkara dilakukan oleh staf Hoge Raad, sementara pihak berperkara menyampaikan berkas perkara ke pengadilan masih berbentuk kertas. Demikian juga pihak lawan yang menyampaikan jawaban, masih menggunakan kertas. Untuk mendukung proses digitalisasi pengadilan, Hoge Raad akan menyediakan sebuah portal yang menjadi media untuk mengirimkan dokumen ke Hoge Raad.

3.       Koneksi Data dengan Data Base Kependudukan dan Data Base Advokat

Dengan proses digitalisasi pengadilan, maka petugas pengadilan tidak melihat secara fisik pihak yang mengajukan berkas karena berkas diajukan melalui portal. Sehingga, harus dipastikan yang bersangkutan adalah mempunyai legal standing untuk mengajukan perkara. Untuk itu, Hoge Raad menjalin komunikasi data dengan sistem data base kependudukan dan data base advokat.  Dengan cara ini, ketika seseorang login ke Portal akan langsung diverifikasi ke kedua data base tersebut. Jika yang bersangkutan adalah penduduk Belanda atau advokat yang tercatat  maka sistem akan memberikan akses. Namun sebaliknya, jika tidak terverifikasi maka sistem akan menolak.

4.       Mengembangkan sistem Business Intelligent

Dengan digitalisasi pengadilan maka ada beberapa aktivitas yang tadinya dilakukan oleh orang digantikan oleh aplikasi. Misalnya penentuan klasifikasi berkas, bobot perkara, relasi kasus atau penentuan tim penelaah berkas. Untuk itu, Hoge Raad memanfaatkan  Business Intelligent. Berbagai informasi yang dibutuhkan untuk sebuah keputusan yang akan diambil, diinput oleh tim penerimaan berkas. Data tersebut di-generate oleh sistem menjadi sebuah informasi yang berguna bagi kepaniteraan maupun hakim yang memutus perkara. Namun demikian ada beberapa aktivitas yang tidak dapat diwakili oleh aplikasi karena ada parameter subjektif yang tidak bisa digeneralisir seperti penentuan majelis oleh Ketua Kamar.

5.       Pengembangan Sistem oleh Pihak Internal Pengadilan

Hoge Raad telah memulai digitalisasi pengadilan secara hybrid sejak tahun 2007. Aplikasi Sistem Manajemen Perkara yang digunakan dibuat sendiri oleh pihak internal pengadilan. Menurut Adwin Rotcheid, pendekatan ini lebih membawa keuntungan bagi jalannya sistem karena “pengembang” aplikasi dan pengguna aplikasi dapat berhubungan setiap saat.  Aplikasi yang dibuat akan selalu memenuhi kebutuhan pengguna. Oleh karena itu, Tim Pengembang Aplikasi selalu menjaga komunikasi dengan para hakim agung untuk mengakomodir kebutuhan dalam proses penanganan perkara.

6.       Perubahan Dilakukan Secara Bertahap

Hoge Raad memerlukan waktu 10 tahun untuk mewujudkan pengadilan berbasis elektronik secara full.  Presiden Hoge Raad Maarten  Feteris mengatakan perubahan proses harus dilakukan secara bertahap. Jika dilakukan secara “tergesa-gesa” akan mendapatkan resistensi. Hal ini karena digitalisasi pengadilan berarti merubah cara kerja yang telah menjadi kebiasaan bertahun-tahun.

7.       End User Tidak  Menyadari Adanya Perubahan Aplikasi

Digitalisasi  terkait dengan perubahan cara kerja.  Dalam proses digitalisasi ini akan selalu dilakukan penyempurnaan aplikasi. Menurut Adwin, Timnya selalu menjaga agar pihak pengguna “tidak menyadari” bahwa ada perubahan di aplikasinya. Hal ini menurutnya penting dilakukan karena jika setiap penyempurnaan mengakibatkan perubahan di tampilan antar mukan (interface) maka pengguna menjadi tidak nyaman dan cenderung resisten.

8. Bekerja di Dua Layar Komputer

Dalam implementasi digitalisasi pengadilan, para petugas pengadilan menggunakan dua layar komputer. Hal ini karena dalam proses penanganan perkara ada aktivitas membaca aplikasi ataupun membaca dokumen elektronik dan aktivitas  menulis resume atau catatan perkara. Aktivitas membaca digunakan di layar monitor yang satu sedangkan aktivitas menulis digunakan di layar komupter yang satunya lagi [an]