JAKARTA | (16/04/2019) Panitera Mahkamah Agung, Made Rawa Aryawan, mengingatkan  kepada seluruh jajaran pengadilan tingkat pertama dari empat lingkungan  peradilan untuk  melakukan quality control  terhadap dokumen elektronik putusan pengadilan yang dipunggah ke direktori putusan, baik untuk  tujuan  publikasi maupun sebagai kelengkapan dokumen elektronik permohonan kasasi/peninjauan kembali.   Menurut Panitera MA, akibat  pengadilan tidak melakukan quality control atas dokumen elektronik yang dikirim ke MA,   Majelis Hakim  di Mahkamah Agung  membaca dokumen yang “keliru” sehingga pendapat yang disampaikan oleh hakim agung juga “keliru”.  Peristiwa terjebut terjadi baru-baru ini. Adanya dokumen yang keliru tersebut, kata Panitera MA,  diketahui saat dilakukan musyawarah majelis. Hakim Ketua Majelis merasa ada hal janggal karena  pendapat dari dua anggotanya  terhadap putusan tingkat banding yang diajukan kasasi tidak ada titik temu dengan pendapatnya.

Seperti diketahui, sejak  Agustus tahun 2013 Mahkamah Agung memberlakukan sistem membaca berkas secara serentak bagi majelis yang menangani perkara kasasi/peninjauan kembali. Ketua Majelis membaca berkas dari Bundel A dan Bundel B yang dikirimkan oleh pengadilan pengaju, sedangkan hakim anggota membaca berkas dari dokumen elektronik  yang dikirimkan oleh pengadilan pengaju melalui aplikasi Direktori Putusan. Untuk memastikan dokumen yang dibaca oleh Hakim Anggota dengan Ketua Majelis adalah dokumen yang sama,  Mahkamah Agung telah membuat  standardisasi  prosedur kerja melalui Keputusan Panitera MA Nomor 821/PAN/OT.01.3/VI/2014 tanggal  3 Juni 2014.  Dalam Lampiran C. angka 12 SK Panitera MA tersebut ditentukan bahwa untuk memastikan kesesuaian antara dokumen elektronik dengan berkas dalam Bundel B maka panitera pengadilan melakukan pencocokan antara dokumen elektronik dengan berkas dalam Bundel B untuk selanjutnya membuat surat keterangan yang menginformasikan bahwa dokumen elektronik yang dikirim adalah sama dan sesuai dengan berkas dalam Bundel B.

 

Kronologis Kasus

Dalam kasus beda dokumen yang dibaca oleh  Ketua Majelis dengan  Hakim Anggota  seperti yang diungkit Panitera MA, terjadi dengan kronologis sebagai berikut.  Mahkamah Agung menerima permohonan kasasi perkara narkotika  yang diajukan oleh Terdakwa dari salah satu pengadilan negeri.  Dalam tahapan pemeriksaan perkara,  sesuai dengan prosedur membaca berkas serentak, Ketua Majelis membaca berkas secara langsung dari Bundel A dan Bundel B yang dikirimkan oleh pengadilan pengaju, sedangkan Hakim Anggota 1 dan 2 membaca berkas melalui dokumen elektronik yang diperoleh melalui aplikasi Direktori Putusan.   Dalam hari musyawarah yang telah ditetapkan,  Ketua Majelis dan Hakim Anggota telah siap dengan pendapatnya yang telah dituangkan ke dalam adviseblad.  Pendapat Ketua Majelis dan Hakim Anggota terhadap permohonan kasasi sama, yaitu menilai putusan dan pertimbangan hukum majelis pada pengadilan tingkat banding telah tepat dan benar, sehingga permohonan  kasasi harus ditolak.

Akan tetapi dalam proses menyampaikan pendapat muncul “keganjilan” terkait pidana yang dijatuhkan kepada Terdakwa akibat ditolaknya permohonan kasasi. Menurut Ketua Majelis, Terdakwa dihukum mati sebagaimana amar putusan Pengadilan Tinggi, sedangkan  menurut Dua Hakim Anggota, Terdakwa dipidana 18 tahun penjara “juga”  merujuk  amar putusan Pengadilan Tinggi.  Ketua Majelis menangkap keganjilan tersebut, kenapa dengan dokumen merujuk dokumen yang sama, yaitu Putusan Pengadilan Tinggi, dan pendapat yang sama-sama menguatkan putusan tersebut berdampak pada pemidanaan yang berbeda.  Ketua Majelis pun langsung berkoordinasi dengan Tim Kepaniteraan Mahkamah Agung untuk meneliti “keganjilan” tersebut.

Bersumber dari E-Dok Putusan

Setelah Tim Kepaniteraan meneliti e-dokumen Putusan Pengadilan Tinggi yang diunggah di aplikasi sistem komunikasi data Direktori Putusan dan yang dipublikasikan untuk publik, disimpulkan bahwa  muara perbedaan pendapat tersebut berpangkal dari  dokumen elektronik Putusan Pengadilan Tinggi.  Dokumen Elektronik Putusan Pengadilan Tinggi yang diunggah tersebut diduga file konsep untuk bahan musyawarah majelis. Dalam file tersebut ada dua “pilihan” amar putusan.  Pertama, pertimbangan dan amar putusan  yang mengubah putusan pengadilan tingkat pertama mengenai pidana yang dijatuhkan sehingga Terdakwa dijatuhi Hukuman Mati (tertuang dalam halaman  27-30). Kedua,  pertimbangan dan amar putusan   menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama,  Terdakwa dipidana 18 Tahun penjara. Bagian kedua ini dimuat pada halaman 31-33,  setelah bagian penutup putusan yang pertama.

Dalam  salinan resmi  Putusan yang terdapat pada Bundel B, Putusan Pengadilan Tinggi terdiri dari 30 halaman, dengan amar   mengubah putusan pengadilan tingkat pertama mengenai pidana yang dijatuhkan sehingga Terdakwa dijatuhi Hukuman Mati.  Ketua Majelis memberikan pendapat berdasarkan  dokumen yang ada di Bundel B ini.  Sementara Dua Hakim Anggota membaca salinan putusan yang belum final tersebut dan secara kebetulan yang dibaca adalah pertimbangan  dan amar putusan pada halaman 31-33, yang seharusnya bagian ini dihapus karena pada akhirnya majelis bulat untuk mengubah putusan menjadi hukuman mati. Dari sinilah  permasalahan perbedaan pendapat yang  tak berujung itu berasal.

Meskipun akhirnya  majelis kasasi mengetahui  pokok permasalahannya,  apabila pengadilan menerapkan quality control terhadap dokumen elektronik yang diunggah sebagaimana SK Panitera  Nomor 821/PAN/OT.01.3/VI/2014 tanggal  3 Juni 2014, peristiwa debat berkepanjangan yang dialami oleh salah satu majelis kasasi di MA tidak perlu terjadi. 

QC Mutlak Diperlukan

Menanggapi kejadian tersebut, Panitera MA, Made Rawa Aryawan, meminta jajaran pengadilan untuk menerapkan quality control  baik terhadap dokumen elektronik yang diunggah berdasarkan SEMA 1 Tahun 2014, maupun dokumen elektronik untuk publikasi putusan.

“Harus dipastikan, dokumen elektronik  salinan putusan yang dipublikasikan di Direktori Putusan adalah sama dengan aslinya. Oleh karena itu, instrumen quality control mutlak diperlukan”, tegas  Made Rawa.

Khusus mengenai publikasi putusan, Panitera MA mengingatkan bahwa  putusan yang dipublikasikan adalah salinan putusan. Secara format, pada  salinan putusan,  majelis hakim dan panitera pengganti tidak  membubuhkan tanda tangan.  Pada kolom tanda tangan ditulis “ttd”.  Pada salinan putusan otentikasi putusan dinyatakan oleh Panitera Pengadilan.

Berkaitan dengan instrumen quality control,  Panitera MA menegaskan bahwa di era digitalisasi menjadi suatu keniscayaan. Hal ini mengingat sebaran informasi yang tersaji secara elektronik sangat luas, bahkan tidak mengenal batas.

“Sehingga apabila informasi yang terpublikasikan  keliru, upaya memperbaikinya memiliki kesulitan tersendiri”, ungkap Panitera. [an]