Bogor |(30/09/2021) . Panitera Mahkamah Agung Ridwan Mansyur membuka rapat koordinasi Tim Penanganan Bantuan Teknis Hukum dalam Masalah Perdata antara MA dan Kemlu RI, Kamis (30/9), di kawasan Sentul, Bogor. Perwakilan Kemlu dihadiri oleh  Direktur Hukum dan Perjanjian Sosial Budaya, Victorina Hesti Dewayani dan Koordinator Fungsional Hukum Privat Internasional. Mandala S. Purba. Sementara itu dari perwakilan MA  hadir Kapusdiklat Teknis, Bambang Heri Muyono, Kapuslitbang MA, Andi Akram, dan Hakim Yustisial Ela Nurlela, selaku anggota Tim Penanganan Bantuan Teknis Hukum.

Tim Penanganan Bantuan Teknis Hukum  dalam Masalah Perdata adalah institusi yang dibentuk dengan Keputusan Bersama Menteri Luar Negeri dan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 909/B/HI/02/2018/01 dan 02/SKB/MA/2/2018.  Komposisi  tim tersebut terdiri atas perwakilan MA dan perwakilan Kemlu RI.  Untuk efektifitas pelaksanaan tugas, Tim diamanatkan untuk melakukan pertemuan berkala sebagai forum koordinasi dan evaluasi.

Panitera Mahkamah Agung dalam sambutannya mengapresiasi jalinan kerjasama antara MA dan Kementerian Luar Negeri, sebagai bagian yang sangat penting bagi penyelenggaraan peradilan perdata di Indonesia.  

“Apa yang kita lakukan merupakan implementasi dari  salah satu ketentuan dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman  bahwa pengadilan juga harus aktif membantu pencari keadilan  dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan  untuk dapat  tercapainya  peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan”,  kata Panitera MA.

Menurut Ridwan Mansyur, dalam praktik penanganan perkara perdata di pengadilan, tempat tinggal  pihak berperkara yang berada di luar yurisdiksi pengadilan yang mengadili perkara menjadi salah satu faktor yang menyebabkan penanganan perkara melampaui batas waktu yang ditetapkan. Hal ini karena berdasarkan  hukum acara yang berlaku, pemanggilan atau pemberitahuan terhadap pihak  yang berada di luar yurisdiksi pengadilan yang memutus perkara, harus dilakukan secara delegatif oleh Jurusita pada pengadilan lain yang mewilayahi tempat tinggal pihak berperkara.  Apalagi  jika pihak berperkara tersebut berada di luar negeri, maka proses pemanggilan/penyampaian pemberitahuan  membutuhkan waktu yang lebih lama lagi dan harus menempuh  tahapan yang melibatkan berbagai lembaga  serta menyesuaikan dengan  ketentuan negara setempat.

Untuk mengatasi hambatan tersebut, kata Panitera MA, Mahkamah Agung telah menerbitkan SEMA Nomor 6 Tahun 2014 tentang Penanganan Bantuan Panggilan/Pemberitahuan. Dalam SEMA ini, Mahkamah Agung telah melakukan sejumlah pembaruan hukum acara,  diantaranya adalah mengakomodir pemanfaatan teknologi informasi.  Permintaan bantuan delegasi panggilan/pemberitahuan yang semula dilakukan  secara konvensional melalui korespondensi surat, diarahkan  untuk menggunakan surat elektronik atau sistem informasi.  Selain itu, Relaas Panggilan/Pemberitahuan yang telah dilakukan oleh Jurusita Pengadilan yang dimintakan bantuan dikirim melalui surat elektronik atau sistem informasi.  Dokumen elektronik relaas panggilan/pemberitahuan tersebut, dapat dijadikan dasar oleh Majelis Hakim dalam proses pemeriksaan persidangan.

Sebagaimana halnya SEMA 6 Tahun 2014 yang hadir menjadi solusi atas permasalahan delegasi bantuan panggilan dalam negeri,  Panitera MA memandang Nota Kesepahaman antara Mahkamah Agung dan Kementerian Luar Negeri  dan beberapa Perjanjian Kerjasama yang menjadi turunannya memiliki semangat yang sama sebagai  upaya untuk  membantu pencari keadilan dalam mengatasi segala hambatan dan rintangan dalam proses penyampaian panggilan/pemberitahuan pihak yang berada di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2)  Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

“Saya berharap Penanganan Bantuan Panggilan/ Pemberitahuan, akan terus melakukan adaptasi dan inovasi seiring perkembangan kondisi yang dihadapi, termasuk ketika nanti kita berkerjasama pada agenda pembaharuan nota kesepahaman yang bisa jadi menuntut adanya perubahan regulasi Mahkamah Agung”, kata Panitera MA. [an]

Kendala Utama

Direktur Hukum dan Perjanjian Sosial Budaya Kemlu, Victorina Hesti Dewayani,  memaparkan 4 (empat) poin yang menjadi kendala dalam penanganan bantuan teknis hukum dalam masalah perdata.

Pertama, jangka waktu pengiriman dokumen terlalu pendek untuk diteruskan kepada pihak asing.

Kedua, dokumen belum lengkap termasuk terjemahan, alamat para pihak berpindah atau tidak diketahui.

Ketiga, pengiriman dokumen di luar nota kesepahaman.

Keempat, mekanisme pengiriman oleh PT Pos (bukti kirim, notifikasi, dan sebagainya).

Hesti Dewayani  juga menyampaikan isu lain terkait pemberian bantuan teknis hukum perdata yakni: pengambilan keterangan saksi secara virtual di perwakilan RI di luar negeri dan pengambilan keterangan saksi secara virtual oleh pengadilan asing di Indonesia.