Laporan Tahunan MA: Transparansi, Sakralitas, dan Nuansa Putih Abu-abu

 

Jakarta | Kepaniteraan.mahkamahagung.go.id (18/3)

Sejak tahun 2004, Mahkamah Agung mentradisikan penyampaian laporan tahunan di hadapan publik. Tradisi ini sebagai salah satu bentuk transparansi dan akuntabilitas dari lembaga yudikatif yang kerap kali dicap sebagai lembaga tertutup.  Tradisi berefleksi kinerja didepan publik ini setidaknya dapat memudarkan stigma ketertutupan yang telah lama dipredikatkan ke lembaga peradilan tertinggi ini. Sebagai media refleksi, laporan tahunan sangat mengedepankan objektifitas. MA tidak hanya bercerita tentang “success story” dengan berbagi informasi mengenai prestasi yang diraih selama setahun. MA pun bercerita mengenai hambatan dan penurunan kinerja dengan perbandingan tahun sebelumnya. Ungkapan Ketua MA di awal pidato membuktikan objektifitas ini.

“Sepanjang tahun 2012, Mahkamah Agung mendapatkan banyak cobaan berat. Akan tetapi hal itu tidak menyurutkan tekad Mahkamah Agung untuk mewujudkan visi Terwujudnya Badan Peradilan yang Agung”, demikian dikatakan Ketua MA di awal pidatonya, Rabu (13/3) yang lalu.

Sakralitas

Ditilik dari sisi penyelenggaraan, penyampaian laporan tahunan MA dilaksanakan bukan dalam forum biasa. Ia dilakukan dalam forum yang sangat sakral, sidang pleno istimewa. Atmosfir sakralitas dari forum ini sangat terasa.  Para anggota sidang yang terdiri dari  pimpinan  Mahkamah Agung, hakim  agung, para ketua pengadilan tingkat banding dari seluruh lingkungan peradilan dan Ketua Pengadilan Pajak menggunakan toga. Kecuali pejabat eselon I yang memakai pakaian sipil lengkap. Di dunia peradilan, toga hanya dipakai pada saat-saat yang sangat sakral seperti sidang dan pelantikan jabatan.
Sementara para undangan selain merepresentasikan unsur internal MA juga perwakilan dari  publik, antara lain: para Duta Besar, para Menteri, Anggota DPR, Lembaga Pemerintah Non Departemen, para mantan pimpinan dan hakim agung,  Lembaga Swadaya Masyarakat, insan media, serta para akademisi.  Mereka ini duduk tertata di hadapan sidang pleno.

Prosesi laporan tahunan diawali dengan pembukaan sidang pleno istimewa  oleh Ketua MA yang ditandai dengan ketukan palu sidang sebanyak tiga kali. Berikutnya Ketua MA membacakan pidato yang merupakan resume dari buku laporan tahunan. Buku laporan tahunan yang merupakan uraian lengkap tentang kinerja MA dibagikan kepada para undangan dan kemudian diunggah ke website Mahkamah Agung. Siapapun bisa mengakses laporan tahunan ini.

Nuansa Putih Abu-Abu

Penyampaian laporan tahunan tahun 2012 dihelat pada hari Rabu, 13 Maret 2013. Kegiatan ini merupakan kali ke sembilan dalam sejarah penyampaian laporan tahunan MA di hadapan publik. Hingga 2013, telah tercatat tiga Ketua MA yang telah menjadi pelaku sejarah penyampaian laporan tahunan. Pertama Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH, M.CL menyampaikan 5 (lima) kali laporan tahunan (2004, 2005, 2006, 2007, 2008,). Kedua Dr. H. Harifin A. Tumpa, SH, MH, tiga kali laporan tahunan (2009, 2010,2011), dan ketiga, Dr. H.M. Hatta Ali, SH, MH satu kali (2012).

Pada periode Ketua MA Bagir Manan, MA hanya menghelat agenda tunggal laporan tahunan yang dilaksanakan dalam sidang pleno istimewa. Namun sejak era kepemimpinan MA, Harifin A Tumpa, selain laporan tahunan, MA pun menggelar pameran yang melibatkan sejumlah unsur penegak hukum. Penyelenggaraan pameran disaat penyelenggaraan laptah menjadikan resonansi laporan tahunan berlipat ganda.

Resonansi ini semakin berlipat lagi ketika dalam penyelenggaraan pameran di acara Laptah MA tahun 2012 yang mengambil tema justice to school.  Sesuai tema yang diusung, maka  diundanglah para pelajar SMU di wilayah DKI untuk unjuk kreativitas di arena pameran. Para pelajar ini memamerkan hasil fotografi yang bersemangatkan  “peradilan bersih”. Selain itu, generasi “putih abu-abu” ini diikutsertakan dalam pidato yang juga bertema “peradilan bersih”.

Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Ridwan Mansur, seperti dilansir website Mahkamah Agung menyebutkan bahwa maksud penyelenggaraan pameran bertema “justice to school” ini adalah untuk memperkenalkan konsepsi pengadilan bersih  sejak dini kepada tunas bangsa. Dalam materi pidato maupun pameran foto, para generasi  “putih abu-abu” ini, memiliki banyak harapan terhadap terwujudnya dunia peradilan yang bersih. (asep nursobah)