Selamat Datang di Situs Web Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia

 

Sejarah Perkembangan Sistem Kamar

Penerapan  sistem kamar di Mahkamah Agung pada akhir tahun 2011 menjadi jawaban atas sejumlah isu yang menjadi harapan publik terhadap penanganan perkara di Mahkamah Agung yaitu:  konsistensi putusan, kesatuan hukum, profesionalitas hakim, dan kecepatan proses penanganan perkara. Pemberlakuan sistem kamar di Mahkamah Agung ditandai dengan lahirnya Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor  142/KMA/SK/IX/2011 tanggal 19 September 2011. Dalam  sejarah Mahkamah Agung,  SK KMA Nomor 142/KMA/SK/IX/2011 menjadi momentum perubahan sistem penanganan perkara di Mahkamah Agung dari sistem Tim menjadi Sistem Kamar. Lahirnya SK ini didahului oleh sebuah proses panjang yang dilakukan secara terstruktur dan melibatkan berbagai kalangan. 

2011: Peletakan Fondasi Sistem Kamar

Di awal tahun 2011, Ketua Mahkamah Agung membentuk Tim Kelompok Kerja Penerapan Sistem Kamar.  Tim Pokja ini dibentuk melalui Surat Keputusan Ketua MA Nomor 010/KMA/SK/I/2011 tanggal 21 Januari 2011. Tim ini mempunyai tugas yang sangat strategis untuk melakukan perubahan sistem penanganan perkara di Mahkamah Agung dari Sistem Tim ke Sistem Kamar. Diantara butir tugas Tim Pokja yang termaktub di surat keputusan tersebut adalah: melaksanakan kajian secara komprehensif dalam rangka menyusun kebijakan yang diperlukan untuk penerapan sistem kamar pada Mahkamah Agung, menyusun draft-draft kebijakan Mahkamah Agung dalam rangka penerapan sistem kamar pada Mahkamah Agung. 

Delapan bulan setelah Tim Pokja Penerapan Sistem Kamar dibentuk, tepatnya tanggal 19 September 2011, Mahkamah Agung resmi memberlakukan sistem kamar melalui Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung 142/KMA/SK/IX/2011. Surat Keputusan ini dilaunching bersamaan dengan momentum Rapat Kerja Nasional Akbar di Jakarta. 

Berdasar Surat Keputusan Pedoman Penerapan Sistem Kamar, penanganan perkara kasasi dan peninjauan kembali pada Mahkamah Agung RI dilaksanakan oleh  5 (lima) kamar, yaitu: kamar pidana, kamar perdata, kamar tata usaha negara, kamar agama, dan kamar militer. Sesuai dengan tujuan sistem kamar untuk menjaga konsistensi putusan, maka  dibentuk pula  perangkat baru  yaitu rapat pleno kamar dan rapat pleno antar kamar.  Salah satu bahasan dalam rapat pleno kamar adalah ketika ada perkara peninjauan kembali yang akan membatalkan  putusan tingkat kasasi dan adanya perubahan terhadap yurisprudensi tetap. Sedangkan rapat pleno  antar kamar diselenggarakan apabila terdapat perkara yang mengandung masalah hukum yang menjadi wilayah kewenangan dua kamar atau lebih sekaligus.

Untuk efektifitas pelaksanaan sistem kamar sesuai pedoman yang diatur dalam  SK KMA Nomor 142/KMA/SK/IX/2011, Ketua Mahkamah Agung mengeluarkan beberapa surat keputusan yang merupakan paket implementasi sistem kamar.  Surat Keputusan tersebut adalah: Penunjukan Ketua Kamar dalam Sistem Kamar di Mahkamah Agung (SK KMA Nomor 143/KMA/SK/IX/2011 tanggal  19 September 2011) dan Penunjukan Hakim Agung sebagai Anggota Kamar Perkara dalam Sistem Kamar pada Mahkamah Agung RI (SK KMA Nomor 144/KMA/SK/IX/2011 tanggal  19 September 2011, kemudian dirubah dengan SK KMA Nomor 163/KMA/SK/X/2011 tanggal  24 Oktober 2011). 

Oleh karena sistem kamar bagi Mahkamah Agung merupakan sistem baru yang berbeda sangat jauh dengan sistem Tim, diperlukan strategi agar sistem tersebut cepat membumi di semua lini yang terlibat dalam proses penanganan  perkara. Perlu diketahui bahwa sebelumnya ketika MA menerapkan sistem Tim masing-masing tim diberi nama dari mulai Tim A hingga Tim K. Beberapa nama seringkali diasosiasikan dengan nama burung, misalnya D= Dadali, F=Falkon, G=Garuda dan lain-lain. Untuk itu Ketua Mahkamah Agung melakukan penamaan (branding) untuk masing-masing kamar.  Nama yang digunakan adalah nama simbol yang terdapat pada logo hakim. Kamar Pidana  dinamakan Tim Cakra yang memiliki 3 (tiga) sub kamar yaitu:  Sub Kamar Pidana Umum  :  Tim Cakra A (Tim CA), Sub Kamar Pidana Khusus Tindak  Pidana Korupsi : Tim Cakra B (Tim CB) dan  Sub Kamar Pidana Khusus Non Tindak Pidana Korupsi :  Tim Cakra C (Tim CC) . Kamar Perdata   dinamakan Tim Tirta yang memiliki  tiga sub kamar yaitu:  Sub Kamar Perdata :  Tim Tirta A (Tim TA), Sub Kamar Perdata Khusus  :  Tim Tirta B (Tim TB), dan Sub Kamar Perdata Khusus  Perselisihan Hubungan Industrial :  Tim Tirta C (Tim TC). Kamar Agama dinamakan  Tim Kartika (Tim K), Kamar Militer  dinamakan  Tim Sari (Tim S) sedangkan Kamar Tata Usaha Negara  dinamakan  Tim Candra ( Tim C). Kebijakan pemberian nama kamar ini dituangkan dalam bentuk Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 164/KMA/SK/X/2011 tanggal  24 Oktober 2011.

2012: Mewujudkan Kesatuan Hukum

Setelah satu semester sistem kamar diimplementasikan, Mahkamah Agung memandang perlu melakukan penyempurnaan. Penyempurnaan ini terkait dengan prosedur pengambilan keputusan majelis hakim agung ketika terjadi perbedaan pendapat. Tujuan utama implementasi  sistem kamar adalah terciptanya konsistensi dan kesatuan hukum. Sehingga dalam praktek sistem kamar di pengadilan Belanda, perbedaan pendapat (dissenting opinion) ini tidak diberikan ruang. Mahkamah Agung RI memberikan sedikit “modifikasi” dalam implementasi sistem kamar. Dissenting opinion tidak dilarang namun ada prosedur yang harus ditempuh. Prosedur ini belum diatur dalam  SK KMA Nomor 142/KMA/SK/IX/2011.  Oleh karena itu, Ketua MA menerbitkan Surat Keputusan Nomor 017/KMA/SK/II/2012 tanggal 3 Februari 2012 tentang Perubahan Pertama Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 142/KMA/SK/IX/2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Sistem Kamar di Mahkamah Agung RI. Menurut SK ini, apabila dalam majelis suatu perkara terdapat perbedaan pendapat yang tajam yang tidak dapat disatukan, maka Ketua Kamar menambah 2 (dua) anggota baru. Apabila setelah ada penambahan anggota baru, perbedaan pendapat  masih ada, maka pihak yang berbeda (minoritas) dapat membuat pendapat yang berbeda (dissenting opinion).

Awal tahun 2012, isu terciptanya konsistensi dan  kesatuan hukum menjadi perhatian utama dalam implementasi sistem kamar di Mahkamah Agung. Setelah menerbitkan surat keputusan penyempurnaan pedoman sistem kamar, Ketua Mahkamah Agung meminta masing-masing kamar melakukan rapat pleno untuk membahas persoalan hukum (question of law) yang seringkali memicu perbedaan pendapat.  Rapat pleno masing-masing kamar pun akhirnya digelar sepanjang periode bulan Maret – Mei 2012. Rapat pleno ini berhasil melahirkan rumusan hukum hasil kamar yang harus menjadi pedoman bagi hakim agung dalam menangani perkara. Agar daya ikat rumusan hukum pleno kamar dapat menjangkau pengadilan, maka Ketua Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA Nomor 7 Tahun 2012 tanggal 12 September 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai  Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan.

Hukum adalah isu yang sangat dinamis.  Sejumlah  rumusan hukum yang dalam pleno kamar tahun 2012 disepakati  sebagai pedoman, setahun berikutnya dianggap “tidak tepat” karena kehilangan konteks sosio-yuridisnya. Selain itu, sejumlah  perkembangan hukum aktual belum terakomodir dalam rumusan tersebut. Maka di akhir tahun 2013, tepatnya 19-20 Desember 2013, Mahkamah Agung kembali menggelar rapat Pleno Kamar.  

Rumusan hukum hasil rapat pleno kamar ini kembali diberlakukan sebagai pedoman dalam pelaksanaan tugas oleh Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2014. Menurut SEMA ini, rumusan hukum hasil pleno kamar tahun 2012 dan rumusan hasil pleno kamar tahun 2013 sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan keduanya diberlakukan sebagai pedoman dalam penanganan perkara di Mahkamah Agung dan di pengadilan tingkat pertama dan banding sepanjang substansi rumusannya berkenaan dengan kewenangan peradilan tingkat pertama dan banding. Sedangkan rumusan hukum hasil pleno kamar tahun 2012 yang secara tegas dinyatakan direvisi atau secara substansi bertentangan dengan rumusan hasil pleno kamar tahun 2013, rumusan hukum tersebut  dinyatakan tidak berlaku.

2013: Menuju Percepatan Penanganan Perkara

Untuk memperkuat implementasi sistem kamar, selain melakukan penataan di bidang teknis yudisial, Mahkamah Agung juga melakukan penataan di bidang administrasi. Pada tanggal 1 April 2013, Mahkamah Agung melakukan perubahan nomenklatur unsur pimpinan Mahkamah Agung sehingga lebih mencerminkan sistem kamar. Perubahan nomenklatur ini dilandaskan pada Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor  50 A/SK/KMA/IV/2013 tanggal  1 April 2013.  Nomenklatur unsur pimpinan yang berubah berdasarkan surat keputusan tersebut adalah nomenklatur ketua muda menjadi ketua kamar. Perubahan nomenklatur ini lebih merefleksikan peran dan tanggung jawab pimpinan (ketua kamar) dalam  menjaga kesatuan hukum melalui implementasi sistem kamar.

Selain merubah nomenklatur, Mahkamah Agung juga melakukan pengurangan jumlah unsur pimpinan (Ketua Muda) menyesuaikan dengan jumlah kamar penanganan perkara Penanganan perkara di Mahkamah Agung  dilakukan oleh 5 (lima) kamar,  yaitu:  kamar perdata, kamar pidana, kamar agama, kamar militer dan kamar tata usaha negara. Untuk menyesuaikan  dengan sistem kamar,  maka  jabatan ketua muda pidana khusus dan ketua muda perdata khusus yang semula menjadi bagian dari unsur pimpinan Mahkamah Agung tidak diisi lagi ketika pejabatnya purnabakti dan promosi. Penidaan kedua jabatan tersebut ditetapkan dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor  50 B/SK/KMA/IV/2013 tanggal  1 April 2013. Berdasarkan SK ini unsur pimpinan Mahkamah Agung adalah: Ketua Mahkamah Agung, Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial, Ketua Mahkamah Agung Bidang Non Yudisial, Ketua Kamar Pidana, Ketua Kamar Perdata,  Ketua Kamar Agama; Ketua Kamar Militer; Ketua Kamar Tata Usaha Negara, Ketua Kamar Pembinaan, dan Ketua Kamar Pengawasan.

Selain penataan di bidang organisasi, di tahun 2013 kembali dilakukan penyempurnaan dalam bidang teknis terkait implementasi sistem kamar. Penyempurnaan ini dituangkan dalam Surat  Keputusan  Nomor 112/KMA/SK/VII/2013 tanggal 10 Juli 2013 tentang Perubahan Kedua SK KMA No. 142/KMA/SK/IX/2011 tentang Pedoman Penerapan Sistem Kamar pada Mahkamah Agung. Perubahan mendasar yang diatur dalam SK ini adalah menyangkut dua hal, yaitu: Pertama, kedudukan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung dalam Sistem Kamar tidak merangkap sebagai Ketua Kamar. Mereka  dapat bersidang di  semua kamar atas dasar penunjukan Ketua Mahkamah Agung.  Perkara yang ditangani oleh Ketua dan Wakil Ketua dikhususkan terhadap perkara-perkara  yang membawa dampak luas kepada negara dan perekonomian negara, perkara-perkara yang akan mempengaruhi kredibilitas lembaga peradilan, atau perkara lain yang dipandang penting oleh Ketua Mahkamah Agung. Kedua,  Kriteria perkara yang dibahas dalam Rapat Pleno Kamar dilakukan penyempurnaan dari peraturan sebelumnya. Dalam SK KMA Nomor 112/KMA/SK/VII/2013, diatur bahwa kriteria perkara yang dibawa ke Rapat Pleno, antara lain:

  • Perkara permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang akan membatalkan putusan  tingkat kasasi dimana terdapat perbedaan pendapat dalam  Majelis Hakim Agung yang memeriksa perkara tersebut. (Dengan SK baru ini, maka mekanisme penambahan anggota majelis menjadi ditiadakan)
  • Ketua Majelis berbeda pendapat dengan dua anggotanya dalam perkara yang menarik perhatian  masyarakat.

Masih terkait dengan penguatan sistem kamar, di tahun 2013 Mahkamah Agung melakukan perubahan dalam sistem pemeriksaan berkas perkara. Kebijakan ini dituangkan dalam Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 119/KMA/SK/VII/2013 tentang Penetapan Hari Musyawarah dan Ucapan pada Mahkamah Agung RI. Melalui SK ini Mahkamah Agung merubah sistem membaca berkas bergiliran menjadi sistem membaca berkas secara serentak atau bersamaan.  

Sistem baru ini membawa perubahan signifikan dalam sistem penanganan perkara, antara lain: Pertama, keharusan  ketua majelis menetapkan hari dan tanggal musyawarah dan ucapan bagi perkara yang ditanganinya sehingga memberikan kepastian waktu penyelesaian perkara. Kedua, adanya kalender  hari musyawarah dan ucapan online. Ketiga,  Adanya Majelis dan Hari Musyawarah  yang Tetap. Keempat, mendorong Implementasi e-Dokumen. Hal ini karena penerapan sistem membaca berkas bersama, mengharuskan berkas bundel B digandakan sesuai jumlah hakim anggota. Untuk efektifitas sistem membaca berkas sekaligus mengeliminasi  dampak negatif penggandaan  berkas fisik,  maka pemanfaatan dokumen elektronik dalam pengajuan kasasi dan peninjauan kembali adalah sebuah keniscayaan.  

2014 : Penyempurnaan Sistem Kamar

Ketua Mahkamah Agung RI menerbitkan Keputusan Nomor 213/KMA/SK/XII/2014 tanggal 30 Desember 2014 tentang Pedoman Penerapan Sistem Kamar pada Mahkamah Agung RI. Keputusan ini mencabut dan menyatakan tidak berlaku pedoman penerapan sistem kamar yang diatur dalam beberapa keputusan yaitu: SK KMA Nomor 142/KMA/SK/IX/2011 tanggal 19 September 2011, SK KMA Nomor 017/KMA/SK/II/2012 tanggal 3 Februari 2012 dan SK KMA  Nomor 112/KMA/SK/VII/2013 tanggal10 Juli 2013.

Pedoman penerapan sistem kamar yang diatur dalam SK KMA Nomor  213/KMA/SK/XII/2014 tanggal 30 Desember 2014 lebih komprehensif pengaturannya dibandingkan tiga peraturan sebelumnya. Lahirnya SK tersebut juga mengakhiri perbedaan penafsiran terhadap beberapa aturan sistem kamar.

Hal baru yang diatur dalam SK KMA Nomor 213/KMA/SK/XII/2014 tanggal 30 Desember 2014 adalah sebagai berikut:

a.    Ketentuan penanganan perkara kasasi dan peninjauan kembali dari mulai proses penerimaan berkas di Mahkamah Agung RI sampai dengan dikirimnya berkas ke pengadilan pengaju;

b.    Ketentuan penanganan perkara uji materiil, sengketa kewenangan mengadili, permohonan fatwa, dan permohonan grasi;

c.    Monitoring kepatuhan dan pelaporan;

d.    Pemanfaatan teknologi dan sistem informasi.

Dari sisi substansi tatalaksana sistem kamar, SK tersebut juga memuat beberapa penyempurnaan, antara lain:

a.    Salah satu kriteria perkara yang dibahas dalam rapat pleno kamar adalah perkara permohonan peninjauan kembali (PK) yang akan membatalkan putusan tingkat kasasi dan/atau putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, dimana terdapat perbedaan pendapat di antara anggota Majelis Hakim yang memeriksa perkara tersebut.

b.    Kesepakatan Rapat Pleno Kamar yang membahas substansi suatu perkara tidak mengikat Majelis Hakim dalam memutus perkara. Apabila tetap terdapat perbedaan pendapat setelah Rapat Pleno Kamar, maka perkara diputus dengan mencantumkan dissenting opinion.

 

c.    Rumusan hukum hasil Rapat Pleno Kamar yang telah disahkan oleh Ketua Mahkamah Agung RI sedapat-dapatnya ditaati Majelis Hakim.  [asep nursobah]