IMPLEMENTASI SISTEM KAMAR PADA PADA MAHKAMAH AGUNG
Penerapan sistem kamar menggantikan sistem Tim yang telah berpuluh-puluh tahun diterapkan dalam memeriksa perkara kasasi dan peninjauan kembali merupakan salah satu kebijakan revolusioner yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung. Sistem yang diadopsi dari Hoge Raad Belanda ini diharapkan mampu mengatasi tiga persoalan besar yang dihadapi Mahkamah Agung yaitu lamanya proses penanganan perkara, tidak ada kesatuan penerapan hukum dan terjadinya disparitas putusan.
Kelahiran sistem kamar dibidani oleh Ketua Mahkamah Agung Harifin A. Tumpa pada 19 September 2011 dan mulai efektif diterapkan untuk perkara yang diregister mulai tanggal 1 Oktober 2011. Namun ternyata Harifin A. Tumpa hanya memiliki waktu 5 (lima) bulan untuk “membesarkan” sistem yang dilahirkannya, karena terhitung 1 Maret 2012, Ia harus menanggalkan toga hakim agung karena telah mencapai batas usia pensiun. Tugas “mematangkan” sistem yang masih berusia lima bulan ini beralih ke tangan M. Hatta Ali, sebagai pemegang estafeta kepemimpinan MahkamahAgung setelah Harifin A.Tumpa, M.Hatta Ali melakukan berbagai kebijakan penguatan sistem kamar melalui program yang berkesinambungan sesuai dengan arahan Cetak Biru Pembaruan Peradilan.
Sistem Pemeriksaan Perkara di Mahkamah Agung Sebelum Berlakunya Sistem Kamar
Pemeriksaan Perkara dengan Sistem Tim
Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi. Upaya hukum kasasi dari empat lingkungan peradilan—peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara—diajukan kepada Mahkamah Agung. Oleh karena itu dalam Undang-Undang Mahkamah Agung ditetapkan adanya Ketua Muda yang membidangi bidang hukum yang merepresentasikan kompetensi absolut dari masing-masing lingkungan peradilan.
Munculnya jabatan Ketua Muda dimulai dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965 tentang Mahkamah Agung[1]. Undang-undang ini menyebutkan bahwa di Mahkamah Agung diadakan bidang-bidang peradilan Umum, Agama, Militer dan Tata Usaha Negara yang masing-masing meliputi satu lingkungan peradilan. UU No 13 Tahun 1965 belum sempat dilaksanakan ketika empat tahun kemudian dicabut oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969 tentang Pernyataan Tidak Berlakunya Berbagai Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
Kebutuhan akan adanya pembidangan (spesialisasi) hukum di Mahkamah Agung kembali menguat pada awal tahun 1980-an. Ketua MA dalam Rapat Kerja dengan Komisi III DPR tahun 1982, mengusulkan agar dibentuk jabatan Ketua Muda untuk bidang-bidang hukum tertentu di Mahkamah Agung. Usulan ini kemudian diterima oleh DPR dan dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Ketika Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 diubah dengan UU 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan UU 3 Tahun 2009, jabatan Ketua Muda yang membidangi urusan teknis lebih dipertegas dengan menyebut pembidangannya yaitu perdata, pidana, agama, TUN, dan militer, bahkan Ketua Mahkamah Agung diberikan wewenang untuk melakukan pengkhususan bidang-bidang tersebut yang diketuai oleh Ketua Muda[2].
Meskipun sejak Undang-Undang Mahkamah Agung tahun 1965 telah ada pembidangan perkara tertentu yang dipimpin oleh Ketua Muda, namun penanganan perkara pada periode ini tidak ada pengkhususan seperti pada sistem kamar. Padahal pembidangan ini mirip dengan sistem kamar yang diimplementasikan pada akhir tahun 2011.
Pengelompokan hakim agung di bawah pimpinan Ketua Muda dikenal dengan Sistem Tim. Setiap Tim terdiri atas beberapa majelis hakim.. Jumlah Tim sesuai dengan jumlah jabatan pimpinan Mahkamah Agung. Ketua Tim secara ex officio dijabat oleh pimpinan Mahkamah Agung yaitu Ketua, Wakil Ketua dan Ketua Muda.
Komposisi pimpinan Mahkamah Agung berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 terdiri atas : Ketua Mahkamah Agung, Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial, Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Non Yudisial, Ketua Muda Perdata, Ketua Muda Perdata Khusus, Ketua Muda Pidana, Ketua Muda Pidana Khusus, Ketua Muda Agama, Ketua Muda Militer, Ketua Muda Tata Usaha Negara, Ketua Muda Pengawasan, dan Ketua Muda Pembinaan. Sesuai dengan komposisi pimpinan Mahkamah Agung tersebut, maka Tim penanganan perkara Mahkamah Agung (2004-2011) terdiri dari 12 Tim yaitu:
No
|
Nama Tim
|
Ketua Tim
|
1
|
A
|
Ketua Mahkamah Agung
|
2
|
B-1
|
Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial
|
3
|
B-2
|
Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Non Yudisial
|
4
|
C
|
Ketua Muda Tata Usaha Negara
|
5
|
D
|
Ketua Muda Perdata Khusus
|
6
|
E
|
Ketua Muda Agama
|
7
|
F
|
Ketua Muda Perdata
|
8
|
G
|
Ketua Muda Pidana
|
9
|
H
|
Ketua Muda Militer
|
10
|
I
|
Ketua Muda Pidana Khusus
|
11
|
J
|
Ketua Muda Pengawasan
|
12
|
K
|
Ketua Muda Pembinaan
|
Sebelumnya, ketika masih berlaku Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, pada Mahkamah Agung ditetapkan 8 (delapan) Tim yang masing-masing dipimpin oleh Ketua, Wakil Ketua dan para Ketua Muda Mahkamah Agung, yang terdiri atas:
No
|
Nama Tim
|
Sebutan
|
Ketua Tim
|
1
|
A
|
Alap-alap
|
Ketua Mahkamah Agung
|
2
|
B
|
Buraq
|
Wakil Ketua Mahkamah Agung
|
3
|
C
|
Cendrawasih
|
Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara
|
4
|
D
|
Dadali
|
Ketua Muda Bidang Hukum Perdata Adat
|
5
|
E
|
Elang
|
Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama
|
6
|
F
|
Falcon
|
Ketua Muda Bidang Hukum Perdata Tertulis
|
7
|
G
|
Garuda
|
Ketua Muda Bidang Hukum Pidana Umum
|
8
|
H
|
Hantu
|
Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Militer
|
Ketua Tim diberikan kewenangan oleh Ketua Mahkamah Agung (delegatif) untuk menunjuk hakim agung yang menjadi anggota Tim sebagai majelis untuk memeriksa perkara kasasi/peninjauan kembali. Dalam sistem Tim, tidak ada spesialisasi penanganan perkara. Semua perkara dapat diperiksa oleh semua Tim. Sebagai contoh, Tim F dipimpin oleh Ketua Muda Perdata yang berlatarbelakang hakim karir dari lingkungan peradilan umum, namun hakim agung yang tergabung di Tim ini dapat berasal dari luar peradilan umum dan kepada Tim F didistribusikan perkara pula berkas perkara pidana bahkan perkara peradilan agama.
Pengkhususan penanganan perkara sesungguhnya telah dilakukan dalam Sistem Tim, namun pengkhususannya tidak murni sebab majelis hakim di tim tersebut masih dapat menangani perkara lain. Tim yang telah dikhususkan tersebut adalah Tim E (Elang), Tim C (Cendrawasih), Tim D (Dadali), dan Tim H (Hantu). Perkara yang berasal dari lingkungan peradilan agama akan didistribusikan oleh Panitera Muda Perdata Agama ke Tim E. Perkara yang berasal dari lingkungan peradilan Tata Usaha Negara akan didistribusikan oleh Panitera Muda Tata Usaha Negara ke Tim C. Perkara yang berasal dari pengadilan khusus (PHI dan Niaga) akan didistribusikan ke Tim D. Perkara yang berasal dari lingkungan peradilan Militer akan didistribusikan oleh Panitera Muda Militer ke Tim H.
Unsur Pendukung Sistem Tim
Ketua Tim dibantu oleh seorang Panitera Muda Tim yang dikenal dengan sebutan Asisten Koordinator (Askor). Salah satu tugas askor adalah menunjuk panitera pengganti untuk membantu majelis hakim dalam persidangan dan mengadministrasikan berkas yang ditangani oleh Tim.
Askor juga bertugas sebagai penghubung antara Panitera Muda Perkara dan majelis. Fungsi ini dibutuhkan karena setiap Tim bisa menangani semua perkara, sementara di sisi lain berkas diregistrasi oleh panitera muda berdasarkan spesialisasi perkara yang menunjukkan asal pengadilan yang mengajukan upaya hukum.
Mekanisme Pemeriksaan Berkas Perkara dalam Sistem Tim
Mahkamah Agung memberi sebutan kepada hakim agung yang tergabung dalam Majelis Hakim dengan istilah Pembaca 1 (P-1), Pembaca 2 (P-2) dan Pembaca 3 ( P-3). Sebutan tersebut berkaitan dengan sistem pemeriksaan berkas yang dilakukan secara bergiliran, dimulai dari P-1, P-2, dan terakhir P-3. Distribusi berkas setelah mendapatkan penetapan majelis pun pertama kali dilakukan kepada P-1 yang notabene adalah hakim anggota, sedangkan P-3 yang merupakan Ketua Majelis akan menerima berkas urutan terakhir. Alokasi perkara kepada hakim agung baru diketahui ketika berkas diterima oleh yang bersangkutan, termasuk Ketua Majelis.
Pergerakan berkas dari P-1 ke P-2 dapat dilakukan apabila hakim agung P-1 telah selesai memberikan pendapat yang dituangkan ke dalam adviese blaad. Adviese blaad adalah dokumen rahasia sehingga penyerahan kepada P-2 dilakukan dalam amplop tertutup. Hakim Agung P-2 mulai memeriksa berkas perkara setelah Berkas Bundel A dan Bundel B serta Lembar Pendapat diserahkan dari P-1. Jika pendapat P-1 disetujui oleh P-2, Ia dapat menyatakan persetujuannya dengan tanpa perlu menuangkan pendapat hukumnya di lembar pendapat, namun cukup dengan menulis “CF P-1” dalam kolom lembar pendapat untuk P-2. Jika sudah diberikan pendapat oleh P-2, berkas dan lembar pendapat selanjutnya diserahkan kepada P-3 (Ketua Majelis). Ketua Majelis akan memberikan pendapat dengan mempelajari pendapat dua hakim anggota sebelumnya. Ketua Majelis pun bisa menyatakan pesetujuannya terhadap pendapat salah seorang hakim anggota atau menyatakan pendapatnya sendiri. Setelah memberikan pendapatnya, P-3 menetapkan hari musyawarah dan ucapan (Muscap) untuk perkara tersebut.
Di hari musyawarah dan ucapan, Ketua Majelis memimpin persidangan dan setiap anggota mejelis termasuk Ketua menyampaikan pendapatnya terhadap permohonan upaya hukum kasasi atau peninjauan kembali sebagaimana dituangkan dalam lembar pendapat. Jika telah dicapai kesepakatan bulat maka perkara tersebut diputus dan dibacakan amar putusannya pada hari itu juga. Kesepakatan bulat mejelis terhadap permohonan upaya hukum ini ditandai dengan menggambar lingkaran bulat di lembar pertama adviese blaad, dan masing-masing anggota majelis membubuhkan tanda tangan di dalam lingkaran. Amar singkat putusan hasil musyawarah juga dituliskan di tengah-tengah lingkaran. Amar singkat putusan ini adalah Tolak, Kabul, NO, Tolak Perbaikan. Jika diantara anggota majelis terdapat yang berbeda pendapat (dissenting opinion, DO), maka lingkaran yang digambarkan tidak tersambung, dan hakim agung yang DO dituliskan namanya di lingkaran tersebut.
Sistem pembacaan berkas bergiliran memiliki kelebihan dan kelemahan. Salah satu kelebihan dari sistem ini adalah apabila hakim agung secara substansi sependapat dengan hakim agung lainnya, maka Ia tidak perlu menuangkan pendapatnya secara lengkap. Ia cukup menuliskan dua huruf saja yaitu “CF”. Hal ini akan mempercepat proses penanganan pemeriksaan perkara. Kekurangan sistem ini adalah tidak adanya kepastian waktu kapan perkara akan diputus karena pergerakan berkas perkara dari P-1 ke P2 selanjutnya ke P-3 tidak dapat dipastikan. Perkara akan diputus ketika berkas telah sampai ke P-3 (Ketua Majelis) setelah dibaca oleh P-2, sedangkan kapan P-1 dan P-2 selesai membaca tidak dapat diketahui secara pasti. Apabila kemampuan majelis dalam membaca berkas cepat, maka perkara akan cepat diputus, namun sebaliknya jika salah satu anggota mejelis lambat dalam memberikan pendapat, maka perkara tersebut akan cepat diputus.
Sejarah Lahirnya Sistem Kamar di Mahkamah Agung
Gagasan Sistem Kamar dalam Berbagai UU MA
Sistem Kamar sebenarnya bukan hal yang baru dalam sistem hukum Indonesia. Hal ini karena sistem peradilan Indonesia merupakan warisan Belanda yang sejak lama telah menerapkan sistem kamar. Namun, sejak kekuasaan Hooggerechtshof (Pengadilan Banding) diserahkan kepada Mahkamah Agung pada tahun 1950, sistem kamar yang ada dalam Hooggerechtshof tersebut dihapuskan untuk sementara waktu dikarenakan terbatasnya jumlah hakim agung pada saat itu, yaitu hanya berjumlah lima orang.
Keinginan untuk kembali menerapkan sistem Kamar kembali menguat pada pertengahan tahun enam puluhan. Cikal bakal untuk kembali ke sistem Kamar terlihat dari munculnya jabatan Ketua Muda dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965 tentang Mahkamah Agung. Undang-Undang ini mengusulkan perubahan struktur formal organisasi Mahkamah Agung, dengan mewujudkan kembali spesialisasi substansi hukum yang merepresentasikan empat bidang peradilan yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara.
Gagasan spesialisasi hukum yang menjadi benih ide sistem kamar tidak disebutkan secara eksplisit dalam batang tubuh UU No 13 Tahun 1965. Akan tetapi dalam bagian Penjelasan Umum Undang-Undang tersebut disebutkan secara tegas salah satu ciri dari sistem kamar, yaitu setiap Ketua Muda memiliki beberapa hakim agung sebagai hakim anggota. Sayangnya, politik hukum pada saat itu tidak menghendaki UU No 13/1965 dilaksanakan, Undang-Undang ini dicabut di tahun 1969 melalui UU No. 6/1969 tentang Pernyataan Tidak Berlakunya Berbagai Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
Gagasan spesialisasi bidang hukum melalui sistem Kamar kembali menguat pada awal tahun delapan puluhan. Dalam Rapat Kerja dengan Komisi III DPR tahun 1982, Ketua MA saat itu mengusulkan agar di MA dimunculkan jabatan Ketua Muda untuk bidang-bidang hukum tertentu. Usulan ini kemudian diterima oleh DPR dan direalisasikan dalam UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Namun, berbeda dengan UU Nomor 13 Tahun 1965, dalam UU Nomor 14 Tahun 1985 tidak dijelaskan lebih jauh mengenai jabatan Ketua Muda tersebut, baik penjelasan mengenai latar belakang lahirnya jabatan baru itu, maupun peran dan fungsinya di Mahkamah Agung.
Seiring perjalanan waktu, sistem pembagian perkara di Mahkamah Agung ternyata justru semakin jauh dari sistem Kamar yang diharapkan. Hakim Agung tidak dikelompokkan di bawah koordinasi Ketua Muda bidang perkara, namun dikelompokkan ke dalam tim-tim, dimana setiap tim akan terdiri dari beberapa orang hakim agung, dan majelis hakim agung dibentuk berdasarkan hakim agung yang ada dalam tim-tim tersebut.
Pembagian Tim ini sekilas memang terkesan serupa dengan sistem Kamar, namun sebenarnya tidak demikian. Sebab, pembentukan Tim tidak didasarkan pada pembagian bidang perkara yang dibawahi oleh Ketua Muda, melainkan didasarkan pada berapa banyak unsur pimpinan yang ada, yang kemudian akan menjadi Ketua Tim.
Gagasan Sistem Kamar dalam Cetak Biru Pembaruan Peradilan
Gagasan implementasi sistem kamar di Mahkamah Agung kembali mengemuka di tahun 2010. Gagasan ini dirumuskan secara sistematis dalam Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035. Arahan Cetak Biru Pembaruan Peradilan dikelompokkan pada dua area, yaitu pembaruan fungsi teknis dan manajemen perkara dan pembaruan fungsi pendukung.
Arahan pembaruan fungsi teknis bermuara pada terwujudnya pelaksanaan fungsi kekuasaan kehakiman secara independen, efektif, dan berkeadilan. Dalam konteks Mahkamah Agung, pembaruan fungsi teknis ini dimaksudkan sebagai upaya untuk merevitalisasi fungsi Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi dalam rangka menjaga kesatuan hukum, dan revitalisasi fungsi pengadilan dalam rangka meningkatkan akses masyarakat pada keadilan. Untuk mencapai tujuan tersebut maka program utama yang perlu dilakukan adalah: pembatasan perkara kasasi dan peninjauan kembali, penerapan sistem kamar secara konsisten, penyederhanaan proses berperkara, dan penguatan akses terhadap keadilan.
Penerapan sistem kamar bertujuan untuk menjaga kesatuan hukum, mengurangi disparitas putusan, memudahkan pengawasan putusan, meningkatkan produktivitas dalam pemeriksaan perkara dan mengembangkan kepakaran dan keahlian hakim dalam mengadili perkara. Cetak Biru Pembaruan Peradilan mengarahkan desain implementasi kamar dilaksanakan mulai lima tahun pertama (2010-2015) hingga lima tahun ke-tiga (2020-2025).
Periode Awal Implementasi Sistem Kamar
Menindaklanjuti amanat Cetak Biru Pembaruan Peradilan Tahun 2010-2035, Ketua Mahkamah Agung membentuk Tim Kelompok Kerja Penerapan Sistem Kamar di awal tahun 2011. Tim Pokja ini dibentuk melalui Surat Keputusan Ketua MA Nomor 010/KMA/SK/I/2011 tanggal 21 Januari 2011. Tim ini mempunyai tugas yang sangat strategis untuk melakukan perubahan sistem penanganan perkara di Mahkamah Agung dari Sistem Tim ke Sistem Kamar. Diantara butir tugas Tim Pokja yang termaktub di surat keputusan tersebut adalah: melaksanakan kajian secara komprehensif dalam rangka menyusun kebijakan yang diperlukan untuk penerapan sistem kamar pada Mahkamah Agung, menyusun draft-draft kebijakan Mahkamah Agung dalam rangka penerapan sistem kamar pada Mahkamah Agung.
Delapan bulan setelah Tim Pokja Penerapan Sistem Kamar dibentuk, tepatnya tanggal 19 September 2011, Mahkamah Agung resmi memberlakukan sistem kamar melalui Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung 142/KMA/SK/IX/2011 tanggal 19 September 2011 tentang Pedoman Sistem Kamar di Mahkamah Agung. Implementasi Sistem Kamar di Mahkamah Agung diluncurkan oleh Ketua Mahkamah Agung, Harifin A. Tumpa pada saat pelaksanaan Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung di Jakarta. Rakernas MA tahun 2011 disebut sebagai Rakernas Akbar karena dihadiri oleh seluruh Ketua Pengadilan dan Panitera/Sekretaris se Indonesia.
Untuk efektifitas pelaksanaan sistem kamar sesuai pedoman yang diatur dalam SK KMA Nomor 142/KMA/SK/IX/2011, Ketua Mahkamah Agung mengeluarkan beberapa surat keputusan yang merupakan paket kebijakan implementasi sistem kamar di periode awal yaitu:
- Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 143/KMA/SK/IX/2011 tanggal 19 September 2011 tentang Penunjukan Ketua Kamar dalam Sistem Kamar pada Mahkamah Agung.
- Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 144/KMA/SK/IX/2011 tanggal 19 September 2011 tentang Penunjukan Hakim Agung sebagai Anggota Kamar Perkara dalam Sistem Kamar pada Mahkamah Agung.
- Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 163/KMA/SK/X/2011 tanggal 24 Oktober 2011 tentang Perubahan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 144/KMA/SK/IX/2011 tanggal 19 September 2011 tentang Penunjukan Hakim Agung sebagai Anggota Kamar Perkara dalam Sistem Kamar pada Mahkamah Agung.
Penetapan Waktu Berlakunya Sistem Kamar
Keputusan Ketua Mahkamah Agung 142/KMA/SK/IX/2011 tentang Pedoman Sistem Kamar di Mahkamah Agung yang menjadi dasar berlakunya sistem kamar di Mahkamah Agung berlaku sejak tanggal ditetapkan pada tanggal 19 September 2011. Namun dengan mempertimbangkan aspek administrasi perkara, Panitera Mahkamah Agung menetapkan penanganan perkara berdasarkan sistem kamar diberlakukan bagi perkara yang diregistrasi sejak 1 Oktober 2011. Sementara itu, bagi perkara yang belum diputus hingga tanggal 1 Oktober 2011 masih tetap dilaksanakan dengan Sistem Tim.
Mahkamah Agung menetapkan waktu transisi penerapan sistem kamar sampai dengan bulan April 2014. Penetapan masa transisi sistem kamar diperlukan oleh Mahkamah Agung karena sistem ini diterapkan dalam kondisi struktur organisasi Mahkamah Agung yang berbasis pada Sistem TIM.[3] Meskipun periode Oktober 2011- April 2014 ditetapkan sebagai masa transisi sistem kamar bukan berarti pada masa tersebut sistem kamar belum efektif dilaksanakan, semua perkara pada periode ditangani dengan sistem kamar. Penetapan waktu transisi tersebut digunakan oleh Mahkamah Agung untuk melakukan adaptasi dan modifikasi berbagai peraturan pendukung sistem kamar. Pada masa transisi ini Ketua Mahkamah Agung dapat menempatkan hakim agung dari kamar tertentu ke dalam Kamar perkara lain yang serumpun.
Susunan Kamar Mahkamah Agung
Mahkamah Agung menetapkan 5 (lima) Kamar penanganan perkara yaitu: kamar pidana, kamar perdata, kamar tata usaha negara, kamar agama, dan kamar militer. Pembentukan kamar-kamar tersebut berkaitan dengan perkara yang menjadi kompetensi absolut dari empat lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Kamar perdata dan pidana terkait dengan lingkungan peradilan umum, kamar agama dengan peradilan agama, kamar militer dengan peradilan militer, sedangkan kamar tata usaha negara terkait dengan lingkungan peradilan TUN dan pengadilan pajak. Susunan setiap Kamar Mahkamah Agung terdiri dari Ketua Kamar, Hakim Agung sebagai Anggota Kamar, Panitera Muda Kamar dan Panitera Pengganti.
Pada masing-masing kamar, dapat dibentuk Sub Kamar oleh Ketua Mahkamah Agung atas usul Ketua Kamar dengan mempertimbangkan kebutuhan kamar yang bersangkutan. Periode awal penerapan sistem kamar, Ketua Mahkamah Agung telah menetapkan Ketua Kamar dan Sub Kamar Kamar Mahkamah Agung sebagai berikut[4]:
Kamar
|
Ketua
|
Kamar Pidana
|
Djoko Sarwoko (Ketua Muda Pidana Khusus MA)
|
- Sub Kamar Pidana Khusus
|
Djoko Sarwoko (Ketua Muda Pidana Khusus MA)
|
- Sub Kamar Pidana Umum
|
Artidjo Alkostar (Ketua Muda Pidana Umum MA)
|
Kamar Perdata
|
Abdul Kadir Mappong (Wakil Ketua MA Bidang Yudisial)
|
- Sub Kamar Perdata Umum
|
Atja Sondjaja (Ketua Muda Perdata MA)
|
- Sub Kamar Perdata Khusus
|
Mohammad Saleh (Ketua Muda Perdata Khusus)
|
Kamar Agama
|
Ahmad Kamil (Wakil Ketua MA Bidang Non Yudisial )
|
Kamar Tata Usaha Negara
|
Paulus Effendi Lotulung (Ketua Muda TUN)
|
Kamar Militer
|
HM. Imron Anwari (Ketua Kamar Militer)
|
Selain ditetapkan adanya Ketua Kamar, Ketua Mahkamah Agung juga menetapkan hakim agung sebagai anggota kamar. Penetapan hakim agung sebagai anggota kamar didasarkan pada kriteria sebagai berikut: asal lingkungan peradilan bagi hakim agung yang berasal dari jalur karir dan latar belakang pendidikan formal/ spesialisasi keilmuan yang dimiliki bagi hakim agung yang berasal dari jalur non karir. Penempatan Hakim Agung sebagai anggota kamar, untuk pertama kalinya ditetapkan melalui Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 144/KMA/SK/IX/2011 tanggal 19 September 2011. Kemudian oleh karena adanya penambahan sejumlah hakim agung pada bulan Oktober 2011, susunan anggota kamar Mahkamah Agung diubah dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 163/KMA/SK/X/2011 tanggal 24 Oktober 2011[5].
Pada masa transisi, Ketua MA dapat menempatkan Hakim Agung dari lingkungan Kamar tertentu ke dalam perkara lain, yaitu pada Kamar Perdata dapat ditempatkan hakim agung yang berasal dari Kamar Agama dan Kamar TUN dan pada Kamar Pidana dapat ditempatkan hakim agung yang berasal dari Kamar Militer.[6]
Penentuan panitera pengganti sebagai bagian dari anggota kamar ditetapkan secara otomatis karena status panitera pengganti yang melekat pada hakim agung. Hakim Yustisial yang diangkat sebagai panitera pengganti pada hakim agung ditetapkan sebagai anggota kamar dari hakim agung yang bersangkutan, kecuali panitera pengganti yang ditetapkan pada pimpinan MA (Ketua dan Wakil Ketua). Sedangkan untuk Panitera Muda Kamar, ditetapkan oleh Panitera Mahkamah Agung yang dipilih dari salah seorang panitera pengganti yang berada di Ketua Kamar.
Penamaan Tim pada Kamar Mahkamah Agung
Sistem Kamar bagi Mahkamah Agung merupakan sistem baru yang berbeda cukup signifikan dibandingkan dengan Sistem Tim sehingga diperlukan strategi agar sistem tersebut cepat membumi di semua lini yang terlibat dalam proses penanganan perkara. Selain itu, setiap kamar memiliki kekhususan baik dari aspek substansi perkara yang ditangani maupun dari sisi administrasi. Oleh karena itu sebagai salah satu strategi implementasinya dilakukan penamaan dan kode panggil untuk memudahkan pelaksanaan administrasi dan distribusi perkara pada Mahkamah Agung. Pemberian nama Tim pada Kamar Perkara ditetapkan dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 164/KMA/SK/X/2011 tanggal 24 Oktober 2011.
Penamaan kamar pada Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung tersebut menggunakan simbol yang terdapat pada logo hakim. Kamar Pidana dinamakan Tim Cakra yang memiliki 3 (tiga) sub kamar yaitu: Sub Kamar Pidana Umum : Tim Cakra A (Tim CA), Sub Kamar Pidana Khusus Tindak Pidana Korupsi : Tim Cakra B (Tim CB) dan Sub Kamar Pidana Khusus Non Tindak Pidana Korupsi : Tim Cakra C (Tim CC). Kamar Perdata dinamakan Tim Tirta yang memiliki tiga sub kamar yaitu: Sub Kamar Perdata : Tim Tirta A (Tim TA), Sub Kamar Perdata Khusus : Tim Tirta B (Tim TB), dan Sub Kamar Perdata Khusus Perselisihan Hubungan Industrial : Tim Tirta C (Tim TC). Kamar Agama dinamakan Tim Kartika (Tim K), Kamar Militer dinamakan Tim Sari (Tim S) sedangkan Kamar Tata Usaha Negara dinamakan Tim Candra ( Tim C)
Modifikasi Kebijakan Sistem Kamar
Meskipun sistem kamar baru diimplementasikan 3 (tiga) bulan, Ketua Mahkamah Agung Harifin A.Tumpa memandang perlu melakukan penyempurnaan, maka diterbitkanlah Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 017/KMA/SK/II/2012 tanggal 3 Februari 2012 tentang Perubahan Pertama Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 142/KMA/SK/IX/2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Sistem Kamar di Mahkamah Agung RI. Penyempurnaan ini terkait dengan prosedur pengambilan keputusan majelis hakim agung ketika terjadi perbedaan pendapat.
Sejatinya perbedaan pendapat dalam praktek sistem kamar adalah sesuatu yang tidak diperbolehkan. Hal ini karena tujuan utama implementasi sistem kamar adalah terciptanya kesatuan hukum. Oleh karena itu dalam praktek sistem kamar di pengadilan Belanda, perbedaan pendapat (dissenting opinion) ini tidak diberikan ruang.
Penerapan sistem kamar di Mahkamah Agung RI tidak “menjiplak” seutuhnya model Belanda. Mahkamah Agung memberikan sedikit “modifikasi” dalam implementasi sistem kamar, diantaranya dalam hal terjadi perbedaan pendapat dalam majelis (dissenting opinion). Dissenting opinion dalam sistem kamar di Mahkamah Agung tidak dilarang namun ada prosedur yang harus ditempuh. Prosedur ini belum diatur dalam SK KMA Nomor 142/KMA/SK/IX/2011. Oleh karena itu, dalam Keputusan Ketua MA Nomor 017/KMA/SK/II/2012 tanggal 3 Februari 2012 diatur apabila dalam majelis suatu perkara terdapat perbedaan pendapat yang tajam yang tidak dapat disatukan, maka Ketua Kamar menambah 2 (dua) anggota baru. Apabila setelah ada penambahan anggota baru, perbedaan pendapat masih ada, maka pihak yang berbeda (minoritas) dapat membuat pendapat yang berbeda (dissenting opinion).
Keputusan Ketua MA Nomor 017/KMA/SK/II/2012 tanggal 3 Februari 2012 merupakan kebijakan terakhir terkait implementasi sistem kamar pada kepemimpinan Ketua MA Harifin A.Tumpa. Tanggung jawab mematangkan dan memperkuat sistem kamar selanjutnya beralih ke pundak M. Hatta Ali.
Penguatan Sistem Kamar pada Periode Kepemimpinan M. Hatta Ali
Usia sistem kamar baru mencapai 5 (lima) bulan ketika ditinggalkan oleh tokoh utama yang membidaninya, Ketua MA Harifin.A.Tumpa karena mencapai batas usia pensiun mulai 1 Maret 2012. Ketua MA, M. Hatta Ali sebagai pemegang tongkat estafet kepemimpinan MA berikutnya adalah tokoh sentral yang membesarkan, mematangkan dan memperkuat sistem kamar. Selama 8 (delapan) tahun memimpin Mahkamah Agung, M. Hatta Ali telah menerbitkan berbagai kebijakan strategis untuk memperkuat sistem kamar, sebagaimana tergambar dalam uraian berikut ini.
Penyelenggaraan Perdana Rapat Pleno Kamar
Segera setelah dilantik sebagai Ketua Mahkamah Agung pada tanggal 1 Maret 2012, M. Hatta Ali memerintahkan masing-masing kamar melakukan rapat pleno untuk membahas persoalan hukum (questions of law) yang seringkali menjadi pemicu perbedaan pendapat. Rapat Pleno merupakan salah satu instrumen penting dalam sistem kamar yang dibangun untuk mewujudkan konsistensi putusan dan kesatuan dalam penerapan hukum serta mencegah disparitas putusan. Persoalan substansial dan strategis inilah yang dibidik sebagai kebijakan perdana Hatta Ali untuk memperkuat sistem kamar di Mahkamah Agung.
Rapat pleno masing-masing kamar digelar sepanjang periode bulan Maret – Mei 2012. Sebagian besar dilaksanakan di Hotel Aryaduta, Lippo Karawaci Tangerang. Pleno Kamar Pidana dilaksanakan pada tanggal 8 – 10 Maret 2012, Pleno Kamar Perdata dilaksanakan pada tanggal 14-16 Maret 2012, Pleno Sub Kamar Perdata Khusus dilaksanakan pada tanggal 19-21 April 2012, Pleno Kamar Tata Usaha Negara dilaksanakan pada tanggal 11-13 April 2012 dan Pleno Kamar Agama dilaksanakan pada tanggal 3-5 Mei 2012.
Rapat Pleno Kamar berhasil melahirkan sejumlah rumusan hukum yang akan dijadikan pedoman bagi hakim agung dalam menangani perkara di tingkat kasasi dan peninjauan kembali. Ketua Mahkamah Agung, Hatta Ali, berpendapat terwujudnya kesatuan penerapan hukum dan terjaganya konsistensi putusan akan lebih efektif jika rumusan pleno kamar dipedomani juga oleh hakim judex facti. Oleh karena itu, Ia melontarkan gagasan brilian agar rumusan pleno kamar diberlakukan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung. Ide ini disetujui oleh seluruh pimpinan Mahkamah Agung pada saat itu, maka lahirlah Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2012 tanggal 12 September 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan. SEMA inilah menjadi tonggak sejarah bagi terciptanya rumusan kamar di Mahkamah Agung.
Pembentukan Kelompok Kerja Penyusunan Rencana Aksi Implementasi Sistem Kamar pada Mahkamah Agung
Sistem kamar adalah sistem yang diadopsi dari Hoge Raad Belanda dengan berbagai penyesuaian sesuai kebutuhan dan sistem hukum di Indonesia. Untuk efektifitas pencapaian tujuan diterapkannya sistem kamar, dibentuk sebuah kelompok kerja penyusunan rencana aksi implementasi sistem kamar dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 106/KMA/SK/IX/2012 tanggal 6 September 2012. Salah satu tugas Pokja ini adalah melakukan kajian secara komprehensif dalam rangka menyusun kebijakan yang diperlukan untuk penerapan sistem kamar dan menyusun rekomendasi rencana aksi implementasi sistem kamar sampai dengan akhir masa transisi di tahun 2014. Dalam kaitannya dengan manajemen perkara memerintahkan kepada Panitera untuk melakukan perubahan-perubahan administrasi yang diperlukan untuk penanganan perkara sesuai sistem kamar.
Penataan Ulang Organisasi Sistem Kamar
Untuk memperkuat implementasi sistem kamar, selain melakukan penataan di bidang teknis yudisial dengan menyediakan rumusan kamar, M. Hatta Ali juga melakukan penataan di bidang organisasi sistem kamar. Pada tanggal 1 April 2013, dilakukan perubahan nomenklatur unsur pimpinan Mahkamah Agung sehingga lebih mencerminkan sistem kamar melalui Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 50 A/SK/KMA/IV/2013 tanggal 1 April 2013 tentang Perubahan Nomenklatur Unsur Pimpinan Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Perubahan nomenklatur unsur pimpinan MA berdasarkan surat keputusan tersebut adalah mengganti sebutan ketua muda menjadi ketua kamar. Sebutan ketua muda yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan Perubahan Kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 identik dengan Sistem Tim yang sejak 1 Oktober 2011 telah ditinggalkan. Perubahan sebutan dari Ketua Muda menjadi Ketua Kamar dinilai lebih merefleksikan peran dan tanggung jawab pimpinan dalam menjaga kesatuan hukum melalui implementasi sistem kamar.
Selain merubah nomenklatur, Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 50 A/SK/KMA/IV/2013 tanggal 1 April 2013 juga menetapkan unsur pimpinan Mahkamah Agung yang terdiri dari seorang Ketua Mahkamah Agung, dua orang wakil ketua yang terdiri dari Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial, Ketua Mahkamah Agung Bidang Non Yudisial, dan 7 (tujuh) orang Ketua Kamar yang terdiri Ketua Kamar Pidana, Ketua Kamar Perdata, Ketua Kamar Agama, Ketua Kamar Militer, Ketua Kamar Tata Usaha Negara, Ketua Kamar Pembinaan, dan Ketua Kamar Pengawasan. Berdasarkan kebijakan ini, ketua muda pidana khusus dan ketua muda perdata khusus yang semula menjadi bagian dari unsur pimpinan Mahkamah Agung menjadi ditiadakan.
Penataan organisasi sistem kamar lainnya adalah dengan mengubah susunan Ketua Kamar Mahkamah Agung. Kebijakan ini dituangkan dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 50 B/SK/KMA/IV/2013 tanggal 1 April 2013 tentang Perubahan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 143/KMA/SK/IX/2011 tentang Penunjukan Ketua Kamar dalam Sistem Kamar pada Mahkamah Agung Republik Indonesia. Dalam Keputusan ini ada beberapa perbedaan susunan ketua kamar, yaitu:
- Dihapuskannya ketua sub kamar;
- Pimpinan MA (Ketua dan Wakil) tidak menjadi ketua kamar;
- Dimasukannya Ketua Kamar non teknis, yaitu Ketua Kamar Pembinaan dan Ketua Kamar Pengawasan
Penyempurnaan Kembali Pedoman Sistem Kamar (SK KMA 112/KMA/SK/VII/2013 tanggal 10 Juli 2013).
Dasar hukum implementasi sistem kamar di Mahkamah Agung adalah Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 142/KMA/SK/IX/2011 tanggal 19 September 2011 tentang Pedoman Penerapan Sistem Kamar di Mahkamah Agung. Lima bulan setelah diterbitkan pedoman tersebut disempurnakan dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 017/KMA/SK/II/2012 tanggal 3 Februari 2012.
Pada tahun 2013, pedoman sistem kamar tersebut kembali dilakukan penyempurnaan melalui Surat Keputusan Nomor 112/KMA/SK/VII/2013 tanggal 10 Juli 2013 tentang . Perubahan mendasar yang diatur dalam pedoman sistem kamar ini adalah menyangkut dua hal, yaitu: Pertama, kedudukan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung dalam Sistem Kamar tidak merangkap sebagai Ketua Kamar[7]. Para Wakil Ketua Mahkamah Agung dapat bersidang di semua kamar atas dasar penunjukan Ketua Mahkamah Agung. Perkara yang ditangani oleh Ketua dan Wakil Ketua dikhususkan terhadap perkara-perkara yang membawa dampak luas kepada negara dan perekonomian negara, perkara-perkara yang akan mempengaruhi kredibilitas lembaga peradilan, atau perkara lain yang dipandang penting oleh Ketua Mahkamah Agung. Kedua, Kriteria perkara yang dibahas dalam Rapat Pleno Kamar dilakukan penyempurnaan dari peraturan sebelumnya. Dalam SK KMA Nomor 112/KMA/SK/VII/2013, diatur bahwa kriteria perkara yang dibawa ke Rapat Pleno, antara lain:
- Perkara permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang akan membatalkan putusan tingkat kasasi dimana terdapat perbedaan pendapat dalam Majelis Hakim Agung yang memeriksa perkara tersebut. (Dengan SK baru ini, maka mekanisme penambahan anggota majelis menjadi ditiadakan)
- Ketua Majelis berbeda pendapat dengan dua anggotanya dalam perkara yang menarik perhatian
Lahirnya Pedoman Final Sistem Kamar
Masa transisi sistem kamar ditetapkan berlangsung mulai 19 September 2011 sampai dengan 31 April 2014. Pada masa ini sistem kamar terus-menerus dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan Mahkamah Agung. Modifikasi sistem kamar ini terbaca dari 3 (tiga) Keputusan Ketua Mahkamah Agung tentang pedoman sistem kamar.
Setelah berakhir masa transisi implementasi sistem kamar, Ketua Mahkamah Agung M. Hatta Ali menerbitkan pedoman “baru” sistem kamar yaitu Keputusan Nomor 213/KMA/SK/XII/2014 tanggal 30 Desember 2014 tentang Pedoman Penerapan Sistem Kamar pada Mahkamah Agung RI. Keputusan ini mencabut dan menyatakan tidak berlaku pedoman penerapan sistem kamar yang diatur dalam beberapa keputusan yaitu: SK KMA Nomor 142/KMA/SK/IX/2011 tanggal 19 September 2011, SK KMA Nomor 017/KMA/SK/II/2012 tanggal 3 Februari 2012 dan SK KMA Nomor 112/KMA/SK/VII/2013 tanggal10 Juli 2013.
Pedoman penerapan sistem kamar yang diatur dalam SK KMA Nomor 213/KMA/SK/XII/2014 tanggal 30 Desember 2014 lebih komprehensif pengaturannya dibandingkan tiga peraturan sebelumnya. Lahirnya SK tersebut juga mengakhiri perbedaan penafsiran terhadap beberapa aturan sistem kamar.
Hal baru yang diatur dalam SK KMA Nomor 213/KMA/SK/XII/2014 tanggal 30 Desember 2014 adalah sebagai berikut:
- Ketentuan penanganan perkara kasasi dan peninjauan kembali dari mulai proses penerimaan berkas di Mahkamah Agung RI sampai dengan dikirimnya berkas ke pengadilan pengaju;
- Ketentuan penanganan perkara uji materiil, sengketa kewenangan mengadili, permohonan fatwa, dan permohonan grasi;
- Monitoring kepatuhan dan pelaporan;
- Pemanfaatan teknologi dan sistem informasi.
Dari sisi substansi tatalaksana sistem kamar, SK tersebut juga memuat beberapa penyempurnaan, antara lain:
- Salah satu kriteria perkara yang dibahas dalam rapat pleno kamar adalah perkara permohonan peninjauan kembali (PK) yang akan membatalkan putusan tingkat kasasi dan/atau putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, dimana terdapat perbedaan pendapat di antara anggota Majelis Hakim yang memeriksa perkara tersebut.
- Kesepakatan Rapat Pleno Kamar yang membahas substansi suatu perkara tidak mengikat Majelis Hakim dalam memutus perkara. Apabila tetap terdapat perbedaan pendapat setelah Rapat Pleno Kamar, maka perkara diputus dengan mencantumkan dissenting opinion.
- Rumusan hukum hasil Rapat Pleno Kamar yang telah disahkan oleh Ketua Mahkamah Agung RI sedapat-dapatnya ditaati Majelis Hakim.
Pembentukan Kelompok Kerja Penguatan Sistem Kamar.
Untuk efektivitas pelaksanaan program penguatan sistem kamar tersebut, Ketua Mahkamah Agung telah membentuk Kelompok Kerja Pelaksanaan Program Penguatan Sistem Kamar pada Mahkamah Agung melalui Keputusan Nomor 190A/KMA/SK/X/2017 tanggal 30 Oktober 2017.
Upaya penguatan sistem kamar yang menjadi program kelompok kerja tersebut adalah sebagai berikut.
- Penyederhanaan format putusan Mahkamah Agung
Program ini telah berhasil dilaksanakan dan disahkan dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 9 Tahun 2017 tentang Format (Template) dan Pedoman Penulisan Putusan/Penetapan Mahkamah Agung. Penyederhanaan format putusan Mahkamah Agung telah mendorong peningkatan kualitas pertimbangan hukum putusan kasasi/peninjauan kembali. Dari sisi manajemen perkara, penyederhanaan format putusan telah efektif dapat mempercepat proses minutasi perkara. Hal ini terlihat dari jumlah perkara yang diminutasi tahun 2018 meningkat sebesar 14,28% dari tahun 2017, dan publikasi putusan Mahkamah Agung meningkat sebesar 19,07% dari tahun 2017. Program ini terlaksana dengan dukungan dari JSSP/Kedutaan Besar Kerajaan Belanda. Kebijakan penyederhanaan format putusan ini akan diterapkan juga untuk pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding, dengan dukungan dari Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2).
- Penyusunan yurisprudensi Mahkamah Agung dan rumusan kaidah hukum dalam putusan-putusan penting
Program penyusunan yurisprudensi Mahkamah Agung dilaksanakan oleh tim yang dibentuk dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 14/KMA/SK/I/2018 tanggal 19 Januari 2018 dengan tujuan mendorong konsistensi putusan dan kesatuan penerapan hukum. Tim tersebut telah berhasil menyusun sebuah draft rumusan yurisprudensi Mahkamah Agung yang memuat kaidah-kaidah hukum dari setiap kamar perkara di Mahkamah Agung. Setiap rumusan kaidah hukum disertai informasi putusan-putusan yang mengikutinya. Dengan format ini, pembangunan pendapat hukum MA menuju konsistensi, menjadi lebih terlihat dan lebih mudah dipahami para hakim dan komunitas hukum lainnya. Rumusan hukum tersebut dipublikasikan, baik melalui media cetak maupun media digital pada Direktori Putusan Mahkamah Agung sehingga mudah untuk diakses oleh hakim dan masyarakat secara luas.
Berkaitan dengan penyusunan yurisprudensi, secara sinergi disusun juga klasifikasi putusan yang kegiatannya telah dimulai sejak tahun 2017.
- Penyusunan Tata Tertib dan Mekanisme Pleno Kamar
Rapat pleno kamar adalah lembaga yang sangat penting dalam sistem kamar karena menjadi instrumen untuk menjaga kesatuan penerapan hukum, mencegah kemungkinan kekeliruan dan penyimpangan, serta menjadi mekanisme kontrol dalam manajemen perkara. Ketentuan penyelenggaraan rapat pleno kamar dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 213/KMA/SK/XII/2014 Tanggal 30 Desember 2014 tidak diatur secara terperinci sehingga perlu disusun tata terbit dalam aturan tersendiri.
Pemikiran Hatta Ali untuk Penguatan Sistem Kamar
Dalam pembukaan rapat pleno kamar Mahkamah Agung tahun 2019 yang diselenggarakan tanggal 3-5 November 2019 di Bandung, Ketua Mahkamah Agung Prof. Dr. M. Hatta Ali, S.H., M.H. menyampaikan pidato pengarahan sebelum pelaksana pleno kamar. Materi pidato Ketua MA tersebut merupakan pemikiran Ketua MA untuk penguatan sistem kamar untuk efektifitas pencapaian tujuan penerapan sistem kamar.
Rapat Pleno Kamar tahun 2019 merupakan penyelenggaraan yang ke-8 sejak pertama kali diadakan pada tahun 2012 menyusul pemberlakuan secara efektif Sistem Kamar di Mahkamah Agung. Telah ada 7 (tujuh) Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang diterbitkan sebagai pedoman pelaksanaan tugas bagi pengadilan yang dihasilkan dari rumusan Kamar pada rapat Pleno tahunan ini. Pleno Kamar ini juga menjadi bagian dari implementasi Sistem Kamar, dimana Sistem Kamar diberlakukan di Mahkamah Agung dengan tujuan: untuk menjaga kesatuan penerapan hukum dan konsistensi putusan Mahkamah Agung, meningkatkan profesionalitas Hakim Agung, dan mempercepat proses penyelesaian perkara.
Menjaga kesatuan penerapan hukum dan konsistensi putusan Mahkamah Agung
Ketentuan Pasal 32 ayat (1) UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menyatakan bahwa Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawahnya dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman. Penyelenggaraan peradilan sesuai dengan asas-asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman haruslah dilakukan dengan ukuran-ukuran yang jelas. Salah satu asas penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman sebagaimana dimaksudkan dalam UU kekuasaan Kehakiman adalah Peradilan Negara menerapkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.
Prasyarat penegakan hukum dan keadilan yang baik adalah adanya kesatuan hukum yang menjamin kepastian hukum bagi masyarakat secara umum. Kebebasan Hakim dalam mengadili suatu perkara tidaklah dimaknai dengan kesewenang-wenangan bahkan tanpa mempedulikan putusan-putusan terdahulu yang telah berkontribusi dalam pembangunan hukum melalui kesatuan hukum yang diciptakannya karena dengan tindakan demikian maka implementasi kebebasan Hakim akan keluar dari hakekatnya dan malah akan merusak sistem penegakan hukum karena hilangnya kepastian hukum.
Esensi dasar dari penerapan sistem Kamar adalah bagaimana Mahkamah Agung dapat melaksanakan fungsi menjaga Kesatuan penerapan hukum, yang mana fungsi tersebut hanya dapat dijalankan apabila Mahkamah Agung memiliki pendapat hukum yang kokoh atau solid. Mekanisme rapat Pleno Kamar dimaksudkan sebagai salah satu sarana untuk membentuk pendapat hukum Mahkamah Agung yang kokoh karena Pleno Kamar mencerminkan pendapat hukum sebagian besar atau seluruh Hakim Agung di dalam Kamar Perkara yang berasal dari perkara-perkara yang ditanganinya. Namun masih ada sebagian yang dengan sengaja keluar dari Rumusan Kamar padahal rumusan tersebut dibuat dan disepakati di kamar Hakim yang bersangkutan.
Kepatuhan terhadap hasil rumusan Kamar tidaklah dimaksudkan untuk mengekang kebebasan Hakim namun semata-mata untuk melindungi kepentingan yang lebih besar yaitu kepentingan publik terhadap kepastian hukum karena salah satu indikator kredibilitas lembaga peradilan di mata publik adalah konsistensi putusan-putusan yang dihasilkan oleh lembaga peradilan. Kemandirian hakim harus diimbangi dengan tanggung jawab kepada masyarakat, dan tanggung jawab ini salah satunya terimplementasikan dari kepastian hukum yang diberikan melalui putusan-putusan Hakim. Tidaklah elok bagi seorang Hakim keluar dari kesepakatan Kamar hanya karena mengedepankan ego personalnya dengan berlindung di balik kemandirian Hakim serta terbawa opini publik untuk dijadikan kebenaran dalam putusannya.
Seorang Hakim Agung adalah seorang yang telah mencapai level kebijaksanaan tertinggi sehingga dianggap mampu mengendalikan dan menyeimbangkan ego personalnya, serta pendapat-pendapatnya dipenuhi kearifan dan mampu mendengar pendapat orang lain. Kemandirian yang harus kita tampilkan ke masyarakat adalah kemandirian institusional yang merefleksikan akuntabilitas konstitusional melalui peran lembaga peradilan sebagai sebuah sistem dalam ketatanegaraan Indonesia.
Fungsi utama Mahkamah Agung adalah sebagai lembaga Kasasi, dimana lembaga Kasasi pada dasarnya bertujuan untuk menjaga kesatuan hukum, baik melalui pengawasan penerapan hukum pada pengadilan yang lebih rendah, maupun melalui penafsiran hukum yang diberlakukan sama di seluruh Indonesia. Kasasi adalah lembaga untuk melakukan pemeriksaan terhadap kualitas putusan yang terhadapnya diajukan upaya hukum ke Mahkamah Agung baik pada aspek penerapan hukum maupun alasan-alasan hukum yang diberikan oleh pengadilan sebelumnya. Oleh karena itu, Hakim Agung sebagai pihak yang memegang peran sentral dalam pelaksanaan fungsi kasasi ini harus menyadari fungsi utama Mahkamah Agung tersebut dengan menghindari berbagai bentuk inkonsistensi khususnya inkonsistensi putusan yang akan mengacaukan sasaran yang hendak dicapai oleh lembaga Kasasi untuk menjaga kesatuan hukum.
Inkonsistensi Putusan Mahkamah Agung akan mengakibatkan timbulnya ketidakpastian hukum karena hakim-hakim pada pengadilan-pengadilan di bawah Mahkamah Agung tidak memiliki panduan dalam menafsirkan dan menyelesaikan permasalahan hukum tertentu. Dalam kondisi demikian, pencari keadilan pun akan merasa memiliki kesempatan untuk mendapatkan putusan yang sesuai dengan preferensi dan ekspektasinya sehingga terus berupaya dan mencoba semua upaya hukum yang tersedia, dan pada pada gilirannya akan menambah jumlah perkara yang masuk ke Mahkamah Agung. Para Hakim Agung harus memastikan pendapat yang diberikan pada setiap perkara yang ditanganinya diarahkan untuk menjaga kesatuan penerapan hukum secara nasional demi meningkatkan kepastian dan keadilan bagi orang banyak.
Demi mencapai tujuan kesatuan hukum dan konsistensi putusan ini pula, Mahkamah Agung telah membentuk Kelompok Kerja Pelaksanaan Program Penguatan Sistem Kamar pada Mahkamah Agung. Pokja ini telah mengadakan FGD yang menghasilkan program-program dalam rangka penguatan implementasi Sistem Kamar. Salah satu program yang terkait dengan tujuan kesatuan hukum dan konsistensi putusan adalah perumusan tata tertib Kamar dan revitalisasi Pleno Kamar. Tata tertib kamar merupakan pedoman dalam penanganan dan penyelesaian perkara sekaligus sarana monitoring kepatuhan terhadap kesepakatan-kesepakatan yang telah dicapai di Kamar.
Sistem Kamar akan kehilangan esensi pembentukannya jika anggota Kamar tidak menghargai kesepakatan yang telah dibuat di Kamar. Hal ini tentunya juga akan mempengaruhi Hakim-hakim pada pengadilan-pengadilan di bawah Mahkamah Agung karena Putusan-putusan Hakim Agung menjadi pedoman bagi mereka. Pokja penguatan sistem kamar juga sedang melakukan kajian putusan MA melalui anotasi, ringkasan dan indeksasi putusan penting. Kajian inilah yang nantinya menjadi acuan evaluasi terhadap konsistensi putusan-putusan Mahkamah Agung pada setiap Kamar perkara serta mengukur sejauh mana rumusan hasil pleno Kamar dijadikan acuan oleh Para Hakim Agung dan hakim-hakim di pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding. Selain itu, kajian ini juga dimaksudkan untuk mengetahui isu hukum yang masih belum memiliki kesepahaman di antara para Hakim Agung dan menyebabkan inkonsistensi dalam putusan-putusan Kamar Perkara.
Pokja juga sedang merampungkan penghimpunan putusan-putusan yang memuat kaidah-kaidah hukum dan penemuan hukum baru ke dalam database sebagai salah satu instrumen untuk mewujudkan kesatuan hukum. Jika database kaidah-kaidah hukum ini nantinya sudah jadi diharapkan setiap putusan Kasasi yang akan membatalkan putusan judex factie setidaknya harus menyebutkan kaidah hukum yang dilanggar.
Dalam konteks revitalisasi Pleno Kamar, maka hal ini akan berjalan paralel dengan mekanisme seleksi perkara yang sedang dibahas di Pokja Pengurangan Arus Perkara ke Mahkamah Agung. Pleno Kamar yang rutin dilakukan adalah Pleno Kamar tahunan seperti yang saat ini sedang kita laksanakan. Secara normatif berdasarkan SK KMA Nomor 213 Tahun 2014 tentang Pedoman Penerapan Sistem Kamar Pada Mahkamah Agung, dijelaskan bahwa setiap Kamar menyelenggarakan Pleno Kamar secara rutin sekurang-kurangnya sekali dalam tiga bulan pada hari yang telah ditetapkan oleh Ketua Kamar.
Pleno kamar secara rutin ini dimaksudkan untuk menjaga konsistensi putusan dalam Kamar yang bersangkutan, mencegah kemungkinan terjadinya penyimpangan, memperkecil peluang kekeliruan atau kekhilafan Hakim, meningkatkan kehati-hatian Hakim dalam memutus perkara, sebagai sarana mekanisme kontrol Ketua Kamar dalam manajemen perkara untuk mengetahui secara teratur jumlah dan status perkara yang ditangani oleh masing-masing Majelis Hakim dalam Kamar, serta sebagai mekanisme akuntabilitas Majelis Hakim yang menjadi anggota Kamar dalam memutus perkara. Dalam kenyataannya, Pleno Kamar rutin ini tidak bisa terlaksana dengan baik karena derasnya arus perkara yang masuk ke Mahkamah Agung dan tingginya beban kerja masing-masing Hakim Agung. Diharapkan ke depannya, jika mekanisme pengurangan arus perkara melalui seleksi perkara bisa berjalan secara efektif, maka Rapat Pleno Kamar secara rutin dapat dilaksanakan untuk sebagai sarana untuk membahas isu-isu hukum yang substansial dalam menjalankan fungsi Mahkamah Agung menjaga kesatuan hukum.
Meningkatkan profesionalitas Hakim Agung
Secara operasional, sistem kamar mengharuskan pemeriksaan perkara dilakukan dalam Kamar yang sesuai dengan jenis perkaranya. Hal ini memberikan konsekuensi bahwa penanganan perkara dalam sistem Kamar dilakukan dengan mengedepankan spesialisasi/keahlian dari Hakim Agung. Perkara yang diterima oleh Mahkamah Agung hanya boleh diperiksa dan diputus oleh Majelis Hakim Agung yang memiliki keahlian yang sesuai, dan untuk itu Hakim Agung dalam sistem Kamar juga ditempatkan dalam Kamar yang sesuai dengan latar belakang lingkungan peradilan serta keahliannya.
Perubahan dari sistem Tim yang membuat Hakim Agung dapat menangani berbagai jenis perkara meskipun latar belakangnya tidak sesuai menandai perubahan signifikan dalam sistem pemeriksaan perkara di Mahkamah Agung dan mencerminkan pengakuan Mahkamah Agung bahwa Hakim Agung bukan lagi profesi yang membutuhkan pengetahuan generalis tetapi profesi yang membutuhkan keahlian spesialis.
Pada dasarnya penerapan sistem Kamar dimaksudkan untuk menghasilkan Putusan yang berkualitas. Putusan yang berkualitas merupakan cerminan dari penerapan prinsip akuntabilitas yang menuntut para Hakim untuk menghasilkan Putusan yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan mencerminkan rasa keadilan. Putusan demikian sangatlah terkait dengan kompetensi Hakim karena penanganan perkara oleh Hakim yang berkompeten dari sisi latar belakang keilmuan dan pengalaman diharapkan mewujudkan penegakan hukum yang benar dan adil (akuntabel). Pengelompokan Hakim Agung ke dalam Kamar berdasarkan latar belakang keahlian dan pengalaman ini juga akan mendorong para Hakim Agung untuk fokus pada substansi hukum sesuai keahliannya sehingga akan mendukung pelaksanaan fungsi Mahkamah Agung dalam menjaga kesatuan hukum.
Profesionalisme tidak hanya sekedar dimaknai pada keahlian dalam bidang hukum tertentu namun namun bagi seorang Hakim, profesionalisme ini harus pula dimaknai pada kemampuan untuk mengidentifikasi masalah hukum pada berkas perkara yang dihadapkan kepadanya dengan cepat dan tepat. Tidak semua persoalan yang dikemukakan dalam Memori Kasasi atau PK adalah pertanyaan yang harus dijawab oleh Hakim Agung, namun jika ada isu-isu hukum yang belum dituntaskan jawabannya oleh pengadilan tingkat pertama atau banding, maka hal itulah yang dijawab oleh Hakim Agung.
Perdebatan dalam Majelis pun seharusnya dikerucutkan pada fungsi Hakim Kasasi sebagai judex jurist dan tidak terjebak sebagai judex factie. Perdebatan di dalam majelis seharusnya merupakan perdebatan yang produktif, hindarilah perdebatan yang kontra produktif termasuk perdebatan yang hanya akan menghasilkan putusan yang sama namun melalui proses yang menguras tenaga dan waktu. Volume perkara yang ditangani oleh para Hakim Agung pada Kamar tertentu sangatlah tinggi sehingga sekali lagi saya tekankan dibutuhkan kearifan dan kebijaksanaan dalam memutus perkara karena profesionalisme tidak hanya terkait kecerdasan, kepintaran, kelebihan ilmu, namun lebih dari itu profesionalisme juga bermakna kecerdasan secara emosional dan spiritual.
Mempercepat proses penyelesaian perkara
Jumlah perkara yang diterima oleh Mahkamah Agung menunjukkan peningkatan sekitar sepuluh persen atau kurang lebih sekitar seribu perkara dalam setiap tahun. Jika jumlah sisa perkara tidak berkurang setiap tahunnya, maka jumlah perkara yang masuk ini akan menjadi beban yang berat bagi Para Hakim Agung. Sistem Kamar diharapkan mampu meningkatkan produktivitas dalam memutus perkara karena perkara telah terdistribusi sesuai dengan jenis dan kewenangannya. Hal ini ditunjang pula oleh sistem membaca berkas secara serentak serta pemberlakukan kelengkapan dokumen elektronik dalam pengajukan upaya hukum Kasasi dan peninjauan Kembali. [asep nursobah]
Catatan Kaki
[1] Susunan Mahkamah Agung berdasarkan UU 13 Tahun 1965 terdiri atas seorang Ketua, seorang Wakil Ketua, beberapa orang Ketua muda dan beberapa Hakim anggota, dibantu oleh seorang Panitera dan beberapa orang Panitera pengganti.
[2] Pasal 5 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2005.
[3] Lihat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor KMA/018/SK/III/2006 tanggal 14 Maret 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia
[4] Lihat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 143/KMA/SK/IX/2011 tanggal 19 September 2011 tentang Penunjukan Ketua Kamar dalam Sistem Kamar pada Mahkamah Agung
[5] Perubahan susunan anggota kamar berdasarkan SK ini adalah diperbantukannya dua orang hakim agung kamar pidana pada kamar militer yaitu Andi Abu Ayub Saleh dan Hakim Nyak Pha serta penambahan dua anggota kamar Militer yaitu Dudu Duswara Mahmuddin dan T. Gayus Lumbun.
[6] Lihat: Bagian III angka 11 SK KMA 142/KMA/SK/IX/2011 tanggal 19 September 2011 jo SK KMA 017/KMA/SK/II/2012 tanggal 3 Februari 2012
[7]Pada awal implementasi sistem kamar, Wakil Ketua MA Bidang Yudisial, Abdul Kadir Mappong ditetapkan sebagai Ketua Kamar Perdata dan Wakil Ketua MA Bidang Non Yudisial ditetapkan sebagai Ketua Kamar Agama, lihat SK KMA Nomor 143/KMA/SK/IX/2011 tanggal 19 September 2011.