MEWUJUDKAN PUTUSAN BERKUALITAS YANG MENCERMINKAN RASA KEADILAN
Paparan Ketua Muda Mahkamah Agung RI Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Rapat Kerja Nasional di Balikpapan
Tanggal10 - 14 Oktober 2010
Assalamualaikum Wr. Wb.
Salam sejahtera bagi kita sekalian.
Dalam pertemuan di komisi lingkungan peradilan TUN, fokus materi yang akan saya sampaikan dalam kesempatan ini ialah uraian umum mengenai bagaimana usaha mewujudkan putusan berkualitas yang mencerminkan rasa keadilan, yang pada gilirannya juga menjadi salah satu komponen terwujudnya badan peradilan yang berkualitas menuju pada keunggulan peradilan (court excelllence ).
Putusan berkualitas mencerminkan kepiawaian dan kemampuan Hakim di dalam memutus perkara. Otoritas memutus perkara ada pada Hakim sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang dijamin kemerdekaannya oleh Undang¬Undang Dasar Tahun 1945.
Dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman antara "Putusan" dan "Hakim" merupakan dua hal yang tak terpisahkan, karena putusan pengadilan adalah produk Hakim maka putusan berkualitas mencerminkan Hakim yang berkualitas.
Banyak teori tentang bagaimana mewujudkan putusan Hakim yang berkualitas, namun bagi pencari keadilan yang mendambakan keadilan hukum. terhadap perkaranya pada Hakim, putusan Hakim yang berkualitas baginya tidak lain hanyalah putusan yang dapat mewujudkan keadilan atau putusan yang mencerminkan rasa keadilan yang dapat dilaksanakan dan dapat diterima atau memuaskan pencari keadilan.
Ada dua persoalan dalam hal ini yaitu bagaimana mewujudkan putusan berkualitas dan bagaimana mewujudkan keadilan hukum dalam putusan.
Saudara-saudara sekalian;
Beberapa persoalan dapat menjadi kendala untuk mewujudkan putusan berkualitas dalam proses penegakan. hukum oleh badan peradilan, karena "menegakkan hukum berarti menegakkan Undang-Undang; namun menegakkan hukum tidak sama makna dengan menegakkan keadilan".
Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Bagaimanapun hukumnya itulah yang harus berlaku, dan harus dilaksanakan serta tidak boleh menyimpang. Demikian menurut adagium fiat justicia et pereat mundus (meskipun dunia runtuh hukum harus ditegakkan), atau lex dura sedtamen scripta (hukum adalah keras, dan memang itulah bunyinya atau keadaannya, semua itu demi kepastian di dalam penegakannya).Dengan cara demikian, maka ada kepastian hukum dan kepastian hukum akan menciptakan tertib masyarakat, karena menurut Prof. Sudikno Mertokusumo tujuan hukum adalah menciptakan kepastian hukum demi ketertiban masyarakat (Sudikno, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, 1993: 1¬2).
Demi kepastian hukum itulah maka ada yang berpendapat menegakkan hukum sama artinya dengan menegakkan Undang-Undang. Pendapat ini dipengaruhi oleh pandangan bahwa hukum tidak lain dari rangkaian norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan. Kondisi ini tidak salah karena sistem hukum positif kita menganut atau dipengaruhi oleh sistem hukum Belanda yang sudah terbiasa dengan sistem tertulis, dan atas dasar konkordansi sistem hukum yang dibangun oleh negara indonesia memang menganut sistem hukum tertulis.Kondisi inipun tidak salah karena paham hukum tertulis sangat dipengaruhi oleh positivisme hukum yang memandang hakekat hukum tidak lain dari pada norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan (Anthon F.Susanto, dalam Butir-Butir Pemikiran dalam Hukum, 2008: 11).
Pandangan tentang hukum yang demikian itu, menurut Prof. Satjipto Rahardjo lalu menjadi bersifat optik perskriptif, yaitu memandang hukum hanya sebagai sistem kaidah yang penganalisisnya terlepas dari landasa kemasyarakatannya. dengan kata lain, ilmu hukum hanya dipandang sebagai sebuah eksemplar normologi saja untuk menghasilkan pola "problem solving" yang hanya menciptakan kemahiran sebagai tukang, yakni ahli-ahli hukum yang mahir menafsirkan dan menerapkan hukum positif (Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan IImu-ilmu Sosial Bagi Pengembangan IImu Hukum, 1977: 35-78).
Saudara-saudara sekalian
Akhirnya pandangan positivisme hukum berpengaruh terhadap kemerdekaan kekuasaan kehakiman dalam menegakkan hukum, karena Hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman pada saat ia melaksanakan fungsi yudisialnya didalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara terikat pada penerapan hukum positif, sehingga Hakim di dalam penegakan hukum sebatas berfungsi sebagai penegak undang-undang.
Pandangan positivisme hukum melahirkan legisme hukum pada Hakim. Di sini peran Hakim hanyalah "corong undang-undang" (Ia bouche des lois). Ia hanya subsumtie automat penerap pasal Undang-Undang, sehingga penegakan hukum oleh Hakim dalam proses peradilan tidak sarna dengan penegakan keadilan, karena Hakim hanya mengedepankan kepastian hukum melalui pendekatan legalistik formal pada ketentuan undang-undang.
Akibatnya dalam penegakan hukum jika Hakim hanya memperhatikan kepastian hukum, maka unsur keadilan akan terabaikan, disebabkan di dalam putusannya Hakim hanya menerapkan Undang-Undang dan hasilnya adalah kebenaran formal.
Dalam hal ini Hakim tinggal mencari dan menemukan hukum pada Undang-Undang untuk diterapkan dalam peristiwa konkrit yang telah dibuktikan adanya dalam proses peradilan tidak perduli apakah ketentuan hukum yang terdapat dalam pasal-pasal undang-undang yang diterapkan tersebut memenuhi rasa keadilan atau tidak, bermanfaat atau tidak bagi pencari keadilan.
Secara proses hukum (peradilan) sikap Hakim yang seperti itu tidak salah. Kecuali di dalamnya ada pelanggaran prosedur hukum acara yang dilakukan (unprofesional conduct) atau ada pelanggaran perilaku Hakim pada saat melakukan fungsi yudisialnya (misalnya menerima suap), barulah Hakim tersebut dikenai sanksi baik administrasi ataupun pidana atas kinerja dan perilakunya.
Saudara-saudara sekalian
Berdasarkan paparan tersebut, nampak bahwa menegakkan hukum tidak sama dengan menegakkan keadilan. Putusan berkualitas tidak cukup mengandalkan kemahiran Hakim dalam menafsirkan dan menerapkan Undang-Undang, karena dalam realita kehidupan yang nyata sehari-hari, hukum tidak selalu identik dengan keadilan. Sementara itu sebagaimana telah diuraikan diatas, bagi para pencari keadilan putusan Hakim yang berkualitas sarna maknanya dengan putusan yang mencerminkan keadilan.
Kemerdekaan kekuasaan kehakiman berada di tangan Hakim. Sebagai penyelenggara negara di bidang yudikatif, Hakim adalah Penerap, Penegak, dan Penemu hukum. Pada waktu memutus perkara, selaku Penegak hukum Hakim dalam proses peradilan menerapkan hukum demi ketertiban masyarakat dan kepastian hukum. Jika hukum dalam undang-undang yang akan diterapkan (ditegakkan) tidak ditemui, Hakim mencari (menemukan) atau menciptakan hukum, dan memberikan solusi hukum dalam sengketa atau perkara yang ditanganinya.
Menurut Prof. Sudikno Mertokusumo, kepastian hukum bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum kepada yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang. Sementara itu masyarakat mengharapkan ada kepastian hukum, karena dengan ada kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib.Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban hukum (Sudikno, 1993: 2).
Bersamaan dengan itu, dalam penegakan hukum dan penerapan hukum, Hakim harus dapat mewujudkan keadilan. Apabila ada ketentuan undang-undang yang dipakai sebagai dasar untuk menerapkan hukum atau undang-undang yang akan ditegakkan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan tuntutan rasa keadilan, atau jika undang-undang tidak mengatur, Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat.
Melalui penegakan hukum di dalam pengadilan diharapkan putusan Hakim disamping dapat mewujudkan ketertiban dan kepastian hukum, juga harus mewujudkan hukum yang memenuhi rasa keadilan. Konsekuensinya kemerdekaan kekuasaan kehakiman di tangan Hakim harus dimaknai dan diimplementasikan untuk mewujudkan cita hukum yang berintikan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
Di dalam proses yudisial pada saat menerapkan undang-undang dalam kasus konkrit yang diperiksa dan diadili, Hakim harus dapat mendekatkan (menjembatani) "legal justice" dengan "moral justice", sehingga dalam proses peradilan tersebut keadilan dapat diwujudkan. Kemerdekaan kekuasaan kehakiman di tangan Hakim harus diarahkan sesuai tujuan utamanya dalam proses peradilan, yakni mengadili sengketa atau perkara. Makna mengadili berarti memberi "adil" atau keadilan. Oleh karena itu putusan Hakim diberi irah-irah eksekutorial "Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Tanpa irah-irah tersebut mengtikibatkan putusan Hakim tidak mempunyai kekuatan hukum berlaku, sehingga tidak akan dapat dilaksanakan.
Putusan Hakim yang tidak dapat dilaksanakan (non eksekutable) atau putusan yang tidak memenuhi rasa keadilan sama artinya dengan tidak bermanfaat bagi pencari keadilan, karena tujuan yang diharapkan oleh pencari keadilan dalam beracara di pengadilan selain agar hukum dapat ditegakkan dan dengan cara itu keadilan dapat diwujudkan, namun jika oleh karena hal-hal tertentu putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan, maka tidak akan ada manfaatnya atau gunanya bagi pihak yang bersengketa.
Saudara-saudara sekalian
Dengan demikian nampak ada benang merah dalam penegakan hukum oleh Hakim melalui proses peradilan. Karena dalam penegakan hukum Hakim menegakkan undang-undang, namun menegakkan hukum tidak semata hanya menegakkan undang-undang.Hukum dibuat tidak semata untuk ditegakkan. Oleh karena putusan Hakim tidak dijatuhkan di ruang hampa melainkan untuk memberikan keadilan maka penegakan hukum disamping untuk mewujudkan perlindungan hukum terhadap masyarakat sehingga ada ketertiban hukum, sementara itu harus dapat mewujudkan keadilan.Oleh karenanya dalam penegakannya sensitivitas Hakim terhadap rasa keadilan harus dipergunakan agar dapat menjembatani antara kepastian hukum dengan rasa keadilan tersebut.
Saudara-saudara sekalian
Tugas pokok Hakim TUN adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara. Asas di dalam pembuktian yang berlaku pad a hukum acara TUN adalah asas pembuktian bebas terbatas.Bebas, artinya Hakim diberi kewenangan secara bebas untuk menentukan pihak mana dalam sengketa yang dibebani kewajiban untuk membuktikan di persidangan. Terbatas, artinya Hakim menggunakan alat bukti di dalam proses pembuktian terbatas pada alat bukti yang ditentukan oleh Undang-Undang (vide pasal107 dan 100 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986).
Tujuan diberikan kewenangan kepada Hakim TUN untuk menggunakan pembuktian secara bebas terbatas, sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan pasal 107 adalah dalam rangka untuk menemukan kebenaran materiil. Bahkan untuk mencegah agar dalam proses pembuktian tidak dicapai sekedar menemukan kebenaran formal, dalam penjelasan pasal1 07 terse but dinyatakan:
"berbeda dengan sistem hukum pembuktian dalam hukum acara perdata, maka dengan memperhatikan segala sesuatu yang terjadi dalam pemeriksaan tanpa bergantung pad a fakta dan hal yang diajukan oleh para pihak, Hakim peradilan TUN dapat menentukan sendiri :
a. Apa yang harus dibuktikan;
b. Siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa yang harus dibuktikan oleh pihak yang berperkara dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh Hakim sendiri;
c. Alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian;
d. Kekuatan pembuktian bukti yang telah diajukan".
Mengiringi asas pembuktian bebas terbatas, pad a hukum acara TUN berlaku asas dominus litis, yaitu Hakim aktif di dalam prose persidangan. Timbulnya asas ini dalam hukum pembuktian pada hukum acara TUN adalah sebagai konsekuensi logis dalam rangka untuk menemukan kebenaran materiil dalam penyelesaian sengketa TUN.
Penerapan asas dominus litis dalam hukum acara TUN memungkinkan Hakim menyimpangi asas larangan ultra petita di dalam putusan, yaitu Hakim dapat menjatuhkan putusan terhadap hal-hal yang tidak diminta (dituntut) oleh penggugat yang justru merugikan atau mengurangi kedudukan atau kepentingan hukum penggugat (reformatio in peius), tetapi haruslah diingat bahwa adanya kemungkinan reformatio in peius ini hanya dapat diterapkan apabila dinyatakan oleh undang-undang yang memungkinkannya.
Disamping itu, hendaknya disadari pula oleh Hakim TUN bahwa sengketa TUN adalah sengketa di bidang hukum publik yang berkaitan dengan urusan pemerintahan. Tujuan pemerintahan diurus dan dilaksanakan oleh Badan atau Pejabat TUN adalah untuk mewujudkan kesejahteraan umum. Dalam negara hukum meskipun ada jaminan kesamaan kedudukan warga negara dalam hukum, namun perlu dicatat bahwa paham negara hukum Republik Indonesia bukan paham negara hukum yang berpijak pada individualisme yang mengutamakan kepentingan individu sebagaimana yang dianut pada negara-negara liberal, melainkan paham negara hukum Pancasila, sehingga di dalam setiap tindak hukum pemerintahan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum senantiasa harus diupayakan terciptanya asas proporsionalitas dalam kaitannya antara kepentingan perseor:angan dengan kepentingan masyarakat maupun kepentingan umum.
Pembentuk undang-undang mengingatkan arti pentingnya asas proporsionalitas ini di dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang menyatakan :
"Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bertujuan mewujudkan tata kehidupan bernegara dan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram, serta tertib. Dalam tata kehidupan yang demikian itu dijamin persamaan kedudukan warga masyarakat dalam hukum. Akan tetapi, pelaksanaan pelbagai fungsi untuk menjamin kedudukan tersebut dan hak-hak perseorangan dalam masyarakat harus disesuaikan dengan pandangan hidup serta kepribadian negara dan bangsa yang berdasarkan Pancasila, sehingga tercapai keserasian, keseimbangan, dan keselarasan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan masyarakat atau kepentingan umum".
Arti pentingnya asas proporsionalitas bagi Hakim TUN yang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN adalah apabila menghadapi kasus-kasus tertentu harus ditimbang berat-ringan bobot kepentingan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan msyarakat atau kepentingan umum. Diingatkan dalam undang-undang bahwa meskipun dalam kedudukan warga masyarakat dalam hukum dijamin (termasuk di dalamnya hak-haknya dalam hukum) akan tetapi di dalam pelaksanaannya senantiasa harus mengingat kepentingan umum.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka dalam proses peradilan Mahkamah Agung senantiasa mengingatkan bahkan menyusun rambu-rambunya dalam juklak-juklak maupun buku pedoman teknis peradilan, yaitu meskipun terdapat keadaan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan jika keputusan TUN tersebut dilaksanakan, namun Hakim TUN dilarang untuk mengeluarkan penetapan penundaan apabila ada kepentingan umum dalam rangka pembangunan mengharuskan dilaksanakannya keputusan TUN tersebut (vide pasal 67 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986).
Saudara-saudara sekalian
Sebagaimana paparan di atas, asas-asas atau kaidah-kaidah hukum acara peradilan TUN lebih memungkinkan bagi Hakim TUN untuk mewujudkan putusan berkualitas yang mencerminkan rasa keadilan, karena dalam proses peradilan Hakim yang menetapkan beban pembuktian dan Hakim aktif di dalam proses agar kebenaran materiil dapat ditemukan.
Keadilan hukum yang harus diwujudkan dalam putusan Hakim tidak semata melindungi kepentingan individu, namun harus mengingat bahwa tindakan pemerintahan adalah untuk mewujudkan kesejahteraan umum, sehingga di dalam setiap akan memutus sengketanya Hakim harus menimbang berat-ringan bobot kepentingan antara kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat atau kepentingan umum dalam hal ini yang mana yang lebih besar.
Hendaknya kita senantiasa ingat pada filosofi dan ratio legis yang terkandung dalam penjelasan umum pembentukan peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia sebagaimana dicantumkan dalam undang-undang yang melahirkan Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.
Dalam kasus-kasus tertentu yang menarik atau mendapat sorotan masyarakat, atau menyentuh rasa keadilan masyarakat, dan bobot kepentingan umumnya lebih besar seperti kasus-kasus atau keputusan TUN yang kenyangkut kebijakan publik di bidang pertambangan, kehutanan, perikanan, pilkada, diperlukan sensitivitas Hakim pad a waktu memutus sengketa. Dalam hal ini Hakim jangan semata hanya mempertimbangkan kepentingan penggugat dengan mengorbankan kepentingan umum atau kepentingan yang lebih besar dengan tidak mempertimbangkan rasa keadilan.
Terlebih pula bagi saudara-saudara yang diberi kepercayaan menduduki Jabatan Pimpinan Pengadilan dimana saudara dianggap yang dituakan, atau sebagai "primus inter pares", hendaknya tugas ini dilaksanakan dengan penuh "wisdom" (kebijaksanaan berpikir) dan semangat "leadership" (kepemimpinan) yang menjadi tumpuan jalannya peradilan dan badan pengadilan yang saudara pimpin. Dengan dilandaskan pada semangat "wisdom" dan "leadership" tersebut, maka saudara diharapkan secara profesional memenuhi tugas-tugas saudara, sehingga ibaratnya bahtera peradilan yang saudara kemudikan sebagai nahkoda dapat dengan selamat berlabuh di pantai, sekalipun telah melalui arus dan gelombang kehidupan yang harus diatasi.
Terima kasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Ketua Muda Mahkamah Agung
Urusan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara
Prof. DR. Paulus E. Lotulung, SH