Selamat Datang di Situs Web Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia

 

Pertanggungjawaban Pidana Menurut Ajaran Dualistis

(Ringkasan Desertasi)

Penulis : Prayitno Iman Santosa

 


 

ABSTRAK

Korupsi di Indonesia terindikasi terjadi di semua lini, padalembaga penyelenggara negara, baik di pusat maupun di daerah meliputi lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif baik yang ada di pusat maupun di daerah dan  swasta.

Tindak pidana korupsi bersifat transnasional, berdampak buruk pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Kerugian keuangan negara mencapai ratusan trilun rupiah, kepercayaan rakyat kepada penguasa menurun, biaya ekonomi menjadi tinggi, proyek-proyek penting pemerintah terbengkalai, biaya pendidikan tinggi tidak terjangkau lagi oleh rakyat biasa, hal itulah sehingga korupsi disebut sebagai extraordinary crime dan oleh sebab itu penanganan tindak pidana korupsi harus bersifat khusus.

Koruptor dijatuhi pidana sebagai wujud pertanggungjawaban atas korupsi yang dilakukannya. Pertanggungjawaban tindak pidana dikenal ada dua ajaran yakni ajaran monistis dan dualistis. Hakim dalam menjatuhkan hukuman pada umumnya mengikuti ajaran monistis, tindak pidana dan kesalahan dipandang sebagai unsur tinak pidana. Kesalahan dipandang hanya sebagai sikap bahtin pelaku sesuai teori psikologis, berupa kesengajaan atau kealpaan yang tertuju kepada tindakan tercela yang dirumuskan sebagai delik. Setelah semua unsur delik terbukti, terdakwa dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman antara batas minimal dan maksimal yang ditentukan oleh undang-undang. Berat ringannya hukuman secara absolute diserahkan kepada hakim. Kewenangan hakim yang absolut tersebut dapat menyebabkan putusan yang bersifat koruptif, korupsi tetap merajalela, hingga perlu memikirkan alternatif lain dalam memutus perkara, yaitu dengan menerapkan ajaran dualistis.

Menurut ajaran dualistis, tindak pidana dipisahkan dari pertanggungjawaban pidana. Kesalahan sebagai penentu utama berat ringannya pidana yang dijatuhkan meliputi dua hal, yakni menunjuk kepada tindakan yang tercela atau actus reus yaitu dilanggarnya standar etis masyarakat yang telah diformulasikan dalam undang-undang sebagai delik, dan pertanggungjawaban pidana atau mens rea, yaitu sikap bathin atau keadaan psikologis pelaku diukur menurut nilai-nilai yang berlaku dalam  masyarakat, yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan oleh pelaku, tetapi dilanggar.

Hubungan kesalahan dengan pemidanaan menurut ajaran dualistis dapat digambarkan sebagai berikut:

1.      Kesalahan actus reus menentukan batas minimal dan maksimal yang dibolehkan oleh undang-undang;

2.      Kesalahan pada mens rea menentukan range pemidanaan;

3.      Hal-hal lain yang memberatkan maupun yang meringankan menentukan pemidanaan antara batas range bawah sampai range atas.

Pertanggungjawaban pidana menurut ajaran dualistis tersebut di atas, dapat mewujudkan legal justice tercermin dari pertimbangan actus reus, moral justice tercermin dari pertimbangan mens rea dan social justice tercermin dari pertimbangan hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan.


 

Versi Ringkasan | download