Selamat Datang di Situs Web Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia

 

 

Delegasi Mahkamah Agung  melakukan diskusi seputar layanan pidana percobaan dengan lembaga Reclassering Nederland, Jum’at (16/6/2023), bertempat di Kantor CILC (Center for International Legal Cooperation), Den Haag.  Narasumber dari Reclassering Netherland memaparkan bagaimana sistem hukum di Belanda menerapkan hukuman non pemenjaraan kepada pelaku pidana yang diancam dengan pidana di bawah 6 tahun. Hukuman tersebut diantaranya berupa hukuman kerja sosial.  Pemidanaan yang tidak bertumpu pada pemenjaraan ini telah berhasil menurunkan tingkat keterisian LP di Belanda.  Bahkan, di beberapa wilayah keterisian LP tersebut  hanya 70%.

Hal ini berbeda dengan kondisi di Indonesia. Tingkat hunian Lapas di atas kapasitas yang seharusnya (over capacity).  Hal ini karena pemidanaan berorientasi pada “pemenjaraan”.

Sekilas tentang Reclassering (Probation Service) di Belanda

Reclassering adalah lembaga independen yang dibiayai oleh Departemen Kehakiman dan Keamanan (Ministry of Justice and Security) Belanda yang diatur dalam Reclasseringsregeling (stb. 199 No.875). Lembaga ini memiliki 3 (tiga) tugas utama, yaitu:

  1. Melakukan eksekusi dan pengawasan pelaksanaan hukuman kerja sosial dan syarat khusus dalam pidana bersyarat (14c KUHP);
  2. Memberikan pertimbangan kepada Jaksa dan Hakim terkait tindakan serta hukuman yang perlu dilakukan terhadap tersangka dan atau terdakwa. Dari website resmi eclassering, terkesan pertimbangan (advice) tersebut di diberikan berdasarkan permintaan dari jaksa atau hakim. Belum diketahui pasti apakah advice hanya dapat dilakukan atas permintaan jaksa atau hakim atau dapat dilakukan atas inisiatif reclassering sendiri;
  3. Melakukan pengawasan terhadap terpidana yang mendapatkan pelepasan bersyarat.

Di Indonesia, kelembagaan Reclassering ini dapat dipadankan dengan Badan Pemasyarakatan (Bapas) dibawah Kementerian Hukum dan HAM. Kemiripan fungsi Reclassering dan apas semakin terlihat pasca berlakunya KUHP baru pada awal tahun 2023. Hal ini disebabkan adanya 2 jenis pemidanaan baru yang pelaksanaannya diatur serupa dengan pelaksanaan pemidanaan tersebut di Belanda yang melibatkan peran Reclassering, yaitu pidana kerja sosial dan pidana pengawasan. KUHP baru mengatur bahwa Bapas berperan dalam melakukan pembimbingan pidana kerja sosial dan Bapas juga memiliki tanggung jawab untuk memberikan pertimbangan kepada Jaksa yang nantinya akan disampaikan kepada Hakim mengenai pelaksanaan pidana pengawasan, sama seperti tugas-tugas Reclassering di atas.

Namun, walaupun pelaksanaannya lebih banyak bersinggungan dengan pelaksanaan tugas Bapas dan Jaksa sebagai pelaksana putusan pidana, pengadilan tetap memiliki peran penting dalam pemidanaan baru ini. Hal ini dikarenakan jenis pidana ini hanya dapat dilakukan berdasarkan dan apabila tercantum dalam putusan pengadilan sebagai alternatif dari pidana penjara sepanjang memenuhi syarat-syarat tertentu. Untuk itu, menarik untuk mengetahui lebih lanjut mengenai karakteristik kasus-kasus yang pelakunya lazim dan seharusnya dijatuhi pidana pengawasan atau kerja sosial oleh pengadilan di Belanda, terlebih apabila kemudian berhasil menekan angka kejahatan serupa oleh orang lain atau residivisme. Terlepas dari KUHP baru sudah mengatur beberapa hal yang wajib dipertimbangkan hakim dalam menjatuhkan pidana pengawasan dan kerja sosial (Pasal 51, 54, dan 70 KUHP baru), hal ini penting untuk menjadi modal pengetahuan bagi Hakim-hakim Indonesia terkait karakteristik-karakteristik kasus tertentu yang belum diatur dalam KUHP baru, namun lazim dipertimbangkan hakim-hakim belanda, sehingga dapat mempertimbangkan dengan lebih komprehensif ketika KUHP baru nantinya berlaku pada tahun 2026 dan ingin menjatuhkan pidana pengawasan dan kerja sosial kepada seorang terdakwa.

Selain itu, ketentuan pidana pengawasan mengatur peran pengadilan yang lebih besar daripada penjatuhan jenis pidana tersebut. Pasal 76 ayat (5) KUHP baru mengatur bahwa dalam hal terpidana melanggar syarat khusus tanpa alasan yang sah, jaksa berdasarkan pertimbangan pembimbing kemasyarakatan mengusulkan kepada hakim agar terpidana menjalani pidana penjara atau memperpanjang masa pengawasan yang ditentukan oleh hakim yang lamanya tidak lebih dari pidana pengawasan yang dijatuhkan. Sebaliknya, apabila terpidana menunjukkan kelakuan yang baik selama menjalani pidana pengawasan, jaksa dapat mengusulkan pengurangan masa pengawasan kepada hakim berdasarkan pertimbangan pembimbing kemasyarakatan (Pasal 76 ayat (6) KUHP baru). Dari sini, terlihat jelas hubungan pelakanaan tugas pembimbing kemasyarakatan (berada di bawah Bapas) dengan pengadilan dimana Bapas berwenang memberikan pertimbangan kepada jaksa mengenai pelaksanaan pidana pengawasan untuk kemudian jaksa dapat meminta pengurangan, penambahan, atau pembatalan pelaksanaan pidana pengawasan kepada Hakim. Hal ini pada dasarnya sama dengan tugas Reclassering dalam memberikan advice kepada jaksa dan hakim terkait pelaksanaan pidana.

Oleh karena itu, terlepas dari pelaksanaan hal ini yang perlu menunggu ketentuan lebih lanjut dalam peraturan pemerintah (Pasal 76 ayat (7) KUHP baru), penting untuk mengetahui bagaimana praktik hubungan pelaksanaan tugas Reclassering dan pengadilan di Belanda, khususnya dalam pelaksanaan pidana pengawasan. Terlebih, website Reclassering belum memberikan informasi lengkap apakah advice dari Reclassering hanya dapat dilakukan atas permintaan jaksa/hakim atau dapat dilakukan atas inisiatif reclassering sendiri. Selain itu, penting pula untuk mengetahui poin-poin advice yang bisa dan biasa diberikan oleh reclassering dan sejauh mana advice tersebut dipergunakan oleh jaksa dan hakim dalam pengambilan keputusan mengenai pelaksanaan pidana. Lebih dari itu, penting pula untuk mengetahui perkembangan terkini mengenai kesiapan Bapas dan Kementerian Hukum dan HAM dalam pelaksanaan pidana pengawasan dan kerja sosial ini mengingat saat ini Reclassering memiliki kerja sana dengan Bapas, sehingga para hakim dapat mengukur apakah pidana pengawasan dan kerja sosial yang nantinya akan dijatuhkan hakim dapat dilaksanakan dengan baik dan mencapai tujuan pemidanaan dalam KUHP baru secara maksimal.

Selain ketiga fungsi utama di atas, saat ini Reclassering juga memiliki fungsi lainnya, khususnya terkait restorative justice, yaitu:

  1. Melakukan mediasi penal (mediation in strafzaken) antara tersangka dengan korban,
  2. Melakukan mediasi restoratif (herstelbemiddeling).

Dalam pelaksanaannya, terdapat perbedaan antara mediasi penal dengan mediasi restorasi. Mediasi penal dilakukan dilakukan selama persidangan belum dilakukan yang mana apabila terjadi kesepakatan, maka hasil kesepakatannya dapat menjadi pertimbangan hakim. Sementara itu mediasi restorasi tidak terkait dengan proses penanganan perkara, namun berfokus pada memperbaiki hubungan antara pelaku dengan korban. Karena tidak terkait dengan proses penanganan perkara, maka mediasi restorasi dapat dilakukan setelah pelaku menjalani hukuman atau telah selesai menjalani hukuman.

Secara umum, konsep penerapan restorative justice di Indonesia hanya berfokus pada penghentian perkara. Padahal, secara umum, termasuk di Belanda, konsep restorative justice lebih mengedapankan pada pemulihan kerugian korban akibat tindak pidana dan hubungan antara korban dan pelaku pasca tindak pidana. Pada dasarnya, konsep tersebut sudah dapat diterapkan saat ini oleh pengadilan Indonesia dengan menggunakan mekanisme pidana percobaan dengan syarat khusus dalam Pasal 14c KUHP, yang kemudian dianut kembali dalam KUHP baru sebagai bagian dari pidana pengawasan.

Untuk itu, penting untuk mengetahui bagaimana Reclassering memastikan pelaksanaan pidana yang memerintahkan pelaku untuk mengembalikan kerugian korban. Selain itu, dikarenakan mediasi penal oleh aparat penegak hukum, termasuk pengadilan, sedang menjadi perbincangan hangat di Indonesia terkait dengan pelaksanaan restorative justice, penting pula untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan mediasi penal (mediation in strafzaken) antara pelaku dengan korban dan hubungannya dengan proses perkara. Tujuannya, untuk mengetahui langkah-langkah apa yang perlu dilakukan dalam mediasi penal, siapa saja pihak yang terlibat, dan apakah kesepakatan dalam mediasi penal dapat menghentikan proses penyelesaian perkara, sehingga Mahkamah Agung memiliki modal pengetahuan terkait hal-hal tersebut dalam pembahasan-pembahasan mengenai mediasi penal ke depannya. [an/Tim LeIP)