Selamat Datang di Situs Web Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia

 

M AHKAMAH Konstitusi mengabulkan seluruhnya permohonan pengujian UU 49 Tahun 2009, UU 50 Tahun 2009 dan UU  51 Tahun 2009 terhadap UUD 1945 yang diajukan  oleh Pengurus Pusat IKAHI.  Perkara yang diregister dengan nomor 43/PUU-XIII/2015 tersebut diputus pada tanggal 26 Agustus 2016 dan dibacakan dalam  sidang pleno pada Rabu kemarin (7/10/2015).  Dalam putusan tersebut, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palaguna menyatskan berbeda pendapat (dissenting opinion). Dengan adanya putusan MK ini, maka proses seleksi (rekrutmen) hakim pengadilan tingkat pertama merupakan kewenangan tunggal Mahkamah Agung tanpa  harus melibatkan Komisi Yudisial.

Berikut amar putusan lengkap perkara nomor 43/PUU-XIII/2015 yang diucapkan pada tanggal 7 Oktober 2015 tersebut:

Mengadili :

Menyatakan:

1.   Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;

1.1   Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) sepanjang kata   “bersama” dan frasa “dan Komisi Yudisial” Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan  Umum  (Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  2009 Nomor  158,  Tambahan  Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Nomor  5077)  bertentangan  dengan  Undang-Undang  Dasar  Negara  Republik Indonesia Tahun 1945;

1.2   Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) sepanjang kata “bersama” dan frasa “dan Komisi Yudisial” Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan  Umum  (Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  2009 Nomor  158,  Tambahan  Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Nomor 5077) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

1.3  Pasal 14A ayat (2) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan  Umum  (Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  2009 Nomor  158,  Tambahan  Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Nomor  5077) selengkapnya berbunyi, “Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri dilakukan oleh Mahkamah Agung”, dan Pasal 14A ayat (3) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5077) selengkapnya berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur oleh Mahkamah Agung”.

1.4   Pasal 13A ayat (2) dan ayat (3) sepanjang kata “bersama” dan frasa“dan Komisi Yudisial” Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7  Tahun 1989 tentang Peradilan Agama  (Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  2009 Nomor  159,  Tambahan  Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Nomor 5078)  bertentangan  dengan  Undang-Undang  Dasar  Negara  Republik Indonesia Tahun 1945;

1.5   Pasal 13A ayat (2) dan ayat (3) sepanjang kata   “bersama” dan frasa “dan Komisi Yudisial” Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama  (Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  2009 Nomor  159,  Tambahan  Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Nomor  5078) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

1.6   Pasal  13A  ayat  (2)  Undang-Undang  Nomor  50  Tahun  2009  tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang  Peradilan Agama  (Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  2009  Nomor  159,  Tambahan  Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Nomor 5078) selengkapnya berbunyi, “Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan agama dilakukan oleh Mahkamah Agung”, dan Pasal 13A ayat (3) Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 159, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5078) selengkapnya berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur oleh Mahkamah Agung”;

 1.7   Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) sepanjang kata “bersama” dan frasa “dan Komisi Yudisial” Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata  Usaha  Negara  (Lembaran  Negara  Republik  Indonesia Tahun   2009   Nomor   160,   Tambahan   Lembaran   Negara   Republik Indonesia Nomor 5079) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

 1.8   Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3)   sepanjang kata “bersama” dan frasa “dan Komisi Yudisial” Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata  Usaha  Negara  (Lembaran  Negara  Republik  Indonesia Tahun   2009   Nomor   160,   Tambahan   Lembaran   Negara   Republik Indonesia Nomor 5079) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

1.9  Pasal 14A ayat (2) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata  Usaha  Negara  (Lembaran  Negara  Republik  Indonesia Tahun   2009   Nomor   160,   Tambahan   Lembaran   Negara   Republik Indonesia Nomor 5079) selengkapnya berbunyi, “Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan tata usaha negara dilakukan oleh Mahkamah Agung”, dan Pasal 14A ayat (3) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik  Indonesia  Tahun  2009  Nomor  160,  Tambahan  Lembaran Negara   Republik   Indonesia   Nomor   5079)   selengkapnya   berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur oleh Mahkamah Agung”.

 2. Memerintahkan  untuk  memuat  putusan  ini  dalam  berita  Negara  Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Pertimbangan Hukum

Pertimbangan hukum terhadap pokok permohonan sebagaimana termuat dalam halaman 113 s.d 120 putusan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut:

[3.6]     Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan kata “bersama” dan frasa “dan  Komisi  Yudisial”  dalam  Ketentuan  Pasal  14A  ayat  (2),  dan  ayat  (3)  UU tentang Peradilan Umum, Pasal 13A ayat (2), dan ayat (3)  UU tentang Peradilan Agama, Pasal 14A ayat (2), dan ayat (3) UU tentang Peradilan Tata Usaha Negara bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1), Pasal 24B ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan alasan:

 1. Keterlibatan Komisi Yudisial dalam proses seleksi pengangkatan hakim pada Peradilan Umum, Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara adalah inkonstitusional, karena bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1), Pasal 24B ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;

 2. Bahwa  “kekuasaan  kehakiman  yang  merdeka”  tidak  hanya  dalam  konteks pelaksanaan kewenangan hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara, melainkan juga untuk melakukan proses seleksi dan perekrutan hakim yang berkualitas secara  independen  dan mandiri.  Dengan  berlakunya  pasal a quo akan dapat menjadi pintu masuk bagi intervensi suatu lembaga terhadap lembaga lain yang akan merusak mekanisme checks and balances yang dibangun. Adanya keterlibatan Komisi Yudisial dalam seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri, pengadilan agama, dan pengadilan tata usaha negara akan merusak sistem kekuasaan kehakiman yang dijamin oleh konstitusi karena adanya “segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain diluar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945”;

3. Bahwa rumusan menyangkut keterlibatan Komisi Yudisial dalam proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri, pengadilan agama dan pengadilan tata usaha  negara,  sebagaimana  yang  tercantum  dalam  ketentuan  pasal-pasal a quo,menimbulkan implikasi ketidakpastian hukum dan menimbulkan persoalan konstitusionalitas.

[3.7]   Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan para Pemohon, keterangan Presiden, keterangan DPR, keterangan Pihak Terkait, ahli para Pemohon, ahli Presiden, ahli Pihak Terkait, bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh para Pemohon, Pihak Terkait, kesimpulan tertulis para Pemohon, dan kesimpulan tertulis Pihak Terkait sebagaimana termuat pada bagian Duduk Perkara, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:

 A. Tentang Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

 [3.7.1] Bahwa Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”, dan selanjutnya Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan, “Negara Indonesia adalah negara hukum”.

 Bahwa makna yang terkandung dari kedua ayat dalam pasal tersebut merupakan pengakuan bahwa Indonesia adalah “negara demokrasi yang berdasar hukum dan negara hukum yang demokratis”;

Bahwa salah satu ciri dari negara hukum, antara lain, apabila semua warga negara diperlakukan sama di hadapan hukum tanpa kecuali (equality before the law) berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam perkara pidana mulai proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan maupun persidangan di Pengadilan sampai putusan hakim tidak satupun lembaga atau seseorang boleh melakukan intervensi atau menentukan orang bersalah atau tidak bersalah selain didasarkan atas proses peradilan;

Bahwa salah satu prinsip negara demokrasi dan negara   hukum adalah adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka. Sejauhmana prinsip ini dijalankan, tolok ukurnya dapat dilihat dari adanya perundang-undangan yang memberikan jaminan mengenai kemerdekaan kekuasaan kehakiman, sebab tanpa adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka atau peradilan yang bebas, tidak akan ada negara demokrasi dan negara hukum;

Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Kemerdekaan kekuasaan kehakiman pada intinya terletak pada independensi hakim dalam memutus perkara;

Untuk  menjamin  terwujudnya  independensi hakim,  menurut  Mahkamah, memerlukan  kelembagaan  yang  independen  pula,  agar  dapat  menjamin  para hakim  dalam  menjalankan  tugas  dan  fungsinya  dengan  sebaik-baiknya,  yang antara lain sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48

Tahun  2009  tentang  Kekuasaan  Kehakiman  yang  menyatakan,  "Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung";

[3.7.2]   Bahwa terlepas dari fakta bahwa sejak UUD 1945 ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945, kekuasaan kehakiman pernah berada dalam pengaruh Pemerintah maupun pengaruh kekuasaan lain meskipun UUD 1945 (sebelum Perubahan) sesungguhnya juga mengamanatkan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka. Pasal 24 UUD 1945 (sebelum perubahan) menegaskan: “(1) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang; (2) Susunan dan kekuasaan badan- badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang”. Kemudian Pasal 25 UUD  1945 menyatakan, “Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang”. Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 24 dan  Pasal  25  UUD  1945  tersebut  secara  tegas  menyatakan,  “Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan dalam undang-undang  tentang  kedudukan  para  hakim”.  Namun  ternyata  pembentuk Undang-Undang tidak mengikuti perintah UUD 1945 dimaksud.

Bahwa amanat Pasal 24 dan Pasal 25 UUD 1945 serta Penjelasannya tersebut tidak pernah dilaksanakan, bahkan justru yang lahir adalah Undang- Undang yang bukan saja tidak sesuai, tetapi malah bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana tercantum dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan, “Demi kepentingan revolusi, kehormatan Negara dan Bangsa atau kepentingan masyarakat yang sangat mendesak, Presiden dapat turut atau campur tangan dalam soal-soal pengadilan”. Bahkan dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan, antara lain, pengadilan adalah tidak bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan kekuasaan membuat Undang-Undang;

Demikian pula dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung menyatakan,  “Dalam hal-hal  dimana  Presiden  melakukan  turun  tangan, sidang dengan seketika menghentikan pemeriksaan yang sedang dilakukan dan mengumumkan keputusan Presiden dalam sidang terbuka dengan membubuhi catatan dalam berita acara dan melampirkan keputusan Presiden dalam berkas tanpa menjatuhkan putusan”;

[3.7.3]     Bahwa pada tahun 1970 lahir Undang-Undang baru tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 namun tidak membawa pengaruh yang signifikan dalam mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagaimana diamanatkan Pasal 24 dan Pasal 25 UUD 1945 serta Penjelasannya, telah meletakkan dasar adanya pembagian beberapa lingkungan peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer), akan tetapi yang berkaitan dengan organisasi, administrasi  dan  finansial  para  hakim  tetap  berada  di  bawah  masing-masing departemen;

[3.7.4]     Bahwa  salah  satu  tuntutan  reformasi  adalah  menyangkut  reformasi dibidang peradilan yakni adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari intervensi maupun pengaruh kekuasaan lain, termasuk dalam hal organisasi, administrasi, dan keuangan. Tuntutan tersebut kemudian ditindaklanjuti melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor   14   Tahun   1970   tentang   Ketentuan-Ketentuan   Pokok   Kekuasaan Kehakiman. Melalui perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya sistem peradilan satu atap (one roof system) yaitu baik menyangkut teknis judisial maupun organisasi, administrasi, dan finansial berada di bawah satu atap Mahkamah Agung;

Bahwa usaha dalam mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam bentuk peradilan satu atap di bawah Mahkamah Agung tersebut, akhirnya benar-benar menjadi kenyataan ketika pada tahun 2001 dilakukan perubahan terhadap  Pasal  24  UUD  1945  yang  kemudian  disusul  oleh  lahirnya  Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang dicabut dan dinyatakan  tidak  berlaku  oleh  Undang-Undang  Nomor  48  Tahun  2009  tentang Kekuasaan Kehakiman;

Bahwa usaha untuk menegakkan kekuasaan kehakiman yang merdeka atau peradilan yang bebas juga mendapat perhatian di tingkat internasional maupun regional melalui peran International Commission of Jurists maupun beberapa lembaga/organisasi lain, termasuk lembaga non-pemerintah, telah melahirkan beberapa deklarasi dan kesepakatan antara lain melalui: 1. Syracuse Principles (1981); 2. New Delhi Standards (1982); 3.Tokyo Principles on the Independence of the Judiciary in the Lawasia Region (1982); 4. Montreal Universal Declaration on the Independence of Justice (1983); 5. UN Basic Principles of the Independence of Judiciary (1985); 6. Beijing Statement (1995); 7. Universal Charter of the Judge  (1999); 8. The Bangalore Principles of Judicial Conduct (2002);

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, sistem peradilan yang diamanatkan dan dikehendaki oleh konstitusi dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman, yang tugasnya tidak saja sekadar menegakkan hukum, tetapi sekaligus menegakkan keadilan telah terpenuhi. Dengan sistem dan mekanisme seperti itu, pencari keadilan telah dilindungi dalam mendapatkan hakim yang bebas dan tidak memihak;

B. Tentang Kewenangan Komisi Yudisial

[3.8]     Menimbang bahwa Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan, ”Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain diluar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Ketentuan yang sama juga terdapat dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman sebelumnya yaitu dalam Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan, “Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”;

[3.8.1] Bahwa Komisi Yudisial yang lahir dalam perubahan UUD 1945, kewenangannya telah ditegaskan dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi,   “Komisi   Yudisial   bersifat   mandiri   yang   berwenang   mengusulkan pengangkatan  hakim  agung  dan  mempunyai  wewenang  lain  dalam  rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”;

[3.8.2] Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, bertanggal 23 Agustus 2006 Mahkamah telah menafsirkan frasa “wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim” bahwa “... walaupun dalam batas-batas tertentu dapat diartikan sebagai pengawasan, bukanlah kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap lembaga peradilan melainkan terhadap individu fungsionaris hakim. Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, baik Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya serta Mahkamah Konstitusi merupakan kekuasaan yang merdeka (Pasal 24 UUD 1945) sehingga dalam melaksanakan kewenangan justisialnya lembaga peradilan tidak dapat diawasi oleh lembaga negara lain”.

Terkait masalah pengawasan terhadap hakim oleh Komisi Yudisial, Mahkamah dalam Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 tersebut telah mempertimbangkan, antara lain, bahwa frasa “dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”, yang seharusnya hanya memberikan kewenangan pengawasan etik kepada Komisi Yudisial, secara sadar atau tidak telah ditafsirkan dan dipraktikan sebagai pengawasan terkait justisial dengan cara memeriksa putusan. Norma pengawasan yang berlaku universal di semua sistem hukum yang dikenal di dunia terhadap putusan pengadilan adalah bahwa putusan pengadilan tidak boleh dinilai oleh lembaga lain kecuali melalui proses upaya hukum (rechtsmideller)  sesuai dengan hukum acara;

Dalam putusan tersebut, Mahkamah juga telah mempertimbangkan, antara lain, “bahwa KY merupakan organ yang pengaturannya ditempatkan dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman, dengan mana terlihat bahwa MA diatur dalam Pasal 24A, KY diatur dalam Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 24B, dan MK diatur dalam Pasal 24C.  Pengaturan  yang  demikian  sekaligus  menunjukkan  bahwa  menurut  UUD 1945   KY berada dalam ruang lingkup kekuasaan kehakiman, meskipun bukan pelaku kekuasaan kehakiman. Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 berbunyi, “Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden”. Pengaturan yang demikian menunjukkan keberadaan KY dalam sistem ketatanegaraan adalah terkait dengan MA”.

Menurut   Mahkamah,   Komisi   Yudisial   bukan   merupakan   pelaksana kekuasaan kehakiman, melainkan sebagai supporting element atau state auxiliary organ, membantu atau mendukung pelaku kekuasaan kehakiman.

[3.8.3]   Bahwa Pihak Terkait Komisi Yudisial dalam surat jawaban tanggal 8 Juni 2015  atas  pertanyaan  Majelis  Hakim  Mahkamah  Konstitusi  pada  persidangan tanggal 20 Mei 2015 menjelaskan sebagai berikut:

Bahwa perdebatan dan pembahasan yang terjadi pada rapat-rapat Panitia Ad Hoc I BP MPR terkait dengan kewenangan untuk melakukan rekrutmen hakim dan hakim agung disampaikan antara lain oleh Pataniari Siahaan, Harjono, dan Jacob Tobing, yang ketiga-tiganya berasal dari Fraksi PDI Perjuangan secara lengkap sebagaimana telah disampaikan dalam Tanggapan Komisi Yudisial pada persidangan Mahkamah Konstitusi pada hari Rabu tanggal 20 Mei 2015, yang pada intinya menyatakan: “Perlunya lembaga lain di luar Mahkamah Agung untuk dilibatkan dalam melakukan seleksi rekruitmen tidak hanya terhadap hakim agung, tetapi juga terhadap hakim tingkat pertama dan banding. Adapun ahli Pihak Terkait Forum Kajian Hukum dan Konstitusi Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LLM berpendapat antara lain salah satu yang paling getol dan mendapatkan banyak dukungan adalah usulan Fraksi PDI-Perjuangan melalui anggota-anggotanya salah satunya oleh I Dewa Gede Palguna yang dengan panjang lebar menjelaskan pentingnya kehadiran KY yang nantinya juga akan melakukan rekrutmen hakim agung hingga di tingkat daerah untuk pengadilan negeri dan pengadilan tinggi dengan  melibatkan  unsur-unsur  tertentu  yakni  misalnya  praktisi  hukum  dan akademisi”.

[3.8.4] Bahwa ahli Pemohon, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc menyampaikan keterangan antara lain sebagai berikut: “Bahwa memang benar adanya,  selama  proses  pembahasan  amandemen  tahap  kedua  UUD  1945, terdapat beberapa anggota MPR antara lain: Harjono, Jacob Tobing, dan Hamdan Zoelva  yang  membahas  kemungkinan  KY  untuk  ikut  menyeleksi  calon  hakim tingkat pertama dan banding, namun usulan-usulan mereka itu tidak disepakati baik oleh Panitia Ad Hoc I maupun oleh sidang paripurna MPR. Apa yang disepakati adalah kewenangan KY hanyalah dalam proses seleksi hakim agung saja, tidak hakim-hakim lain”;

 [3.8.5]     Bahwa semua pendapat ataupun usulan yang berkembang baik pada sidang Panitia Ad Hoc maupun sidang paripurna MPR terkait kewenangan Komisi Yudisial untuk seleksi calon hakim tingkat pertama dan tingkat banding pada akhirnya ditolak;

Bahwa suatu norma yang telah dibahas dan diputus dalam rapat BP MPR maupun MPR dan kemudian ditolak, menurut Mahkamah tidak boleh dijadikan norma   dalam   Undang-Undang   kecuali  dilakukan   melalui  proses   perubahan Undang-Undang Dasar sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 37 UUD 1945;

[3.9]     Menimbang bahwa frasa “wewenang lain” dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 adalah semata dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku hakim, tidak dapat diperluas dengan tafsiran lain. UUD 1945 tidak memberi kewenangan  kepada pembuat Undang-Undang untuk memperluas kewenangan Komisi Yudisial;

 [3.10]   Menimbang bahwa meskipun dalam Pasal 24 UUD 1945 tidak menyebutkan secara tersurat mengenai kewenangan Mahkamah Agung dalam  proses seleksi dan pengangkatan calon hakim dari lingkungan peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara, akan tetapi dalam ayat (2) dari Pasal 24 telah secara tegas menyatakan ketiga Undang-Undang yang diajukan Pemohon dalam perkara a quo berada dalam lingkungan kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung. Lagipula apabila dihubungkan dengan sistem peradilan “satu atap”, menurut Mahkamah,  seleksi  dan  pengangkatan  calon  hakim  pengadilan  tingkat  pertama menjadi kewenangan Mahkamah Agung;

[3.11]   Menimbang    bahwa    berdasarkan    pertimbangan    tersebut,    menurut Mahkamah ketentuan Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) UU tentang Peradilan Umum, Pasal 13A ayat (2) dan ayat (3) UU tentang Peradilan Agama, Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) UU tentang Peradilan Tata Usaha Negara sepanjang kata "bersama" dan frasa "dan Komisi Yudisial" adalah bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945.

 [3.12]   Menimbang  bahwa  berdasarkan  seluruh  pertimbangan  hukum  di  atas, menurut Mahkamah permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum.