M AHKAMAH Konstitusi mengabulkan seluruhnya permohonan pengujian UU 49 Tahun 2009, UU 50 Tahun 2009 dan UU 51 Tahun 2009 terhadap UUD 1945 yang diajukan oleh Pengurus Pusat IKAHI. Perkara yang diregister dengan nomor 43/PUU-XIII/2015 tersebut diputus pada tanggal 26 Agustus 2016 dan dibacakan dalam sidang pleno pada Rabu kemarin (7/10/2015). Dalam putusan tersebut, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palaguna menyatskan berbeda pendapat (dissenting opinion). Dengan adanya putusan MK ini, maka proses seleksi (rekrutmen) hakim pengadilan tingkat pertama merupakan kewenangan tunggal Mahkamah Agung tanpa harus melibatkan Komisi Yudisial.
Berikut amar putusan lengkap perkara nomor 43/PUU-XIII/2015 yang diucapkan pada tanggal 7 Oktober 2015 tersebut:
Mengadili :
Menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
1.1 Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) sepanjang kata “bersama” dan frasa “dan Komisi Yudisial” Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5077) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.2 Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) sepanjang kata “bersama” dan frasa “dan Komisi Yudisial” Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5077) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
1.3 Pasal 14A ayat (2) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5077) selengkapnya berbunyi, “Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri dilakukan oleh Mahkamah Agung”, dan Pasal 14A ayat (3) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5077) selengkapnya berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur oleh Mahkamah Agung”.
1.4 Pasal 13A ayat (2) dan ayat (3) sepanjang kata “bersama” dan frasa“dan Komisi Yudisial” Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 159, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5078) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.5 Pasal 13A ayat (2) dan ayat (3) sepanjang kata “bersama” dan frasa “dan Komisi Yudisial” Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 159, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5078) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
1.6 Pasal 13A ayat (2) Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 159, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5078) selengkapnya berbunyi, “Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan agama dilakukan oleh Mahkamah Agung”, dan Pasal 13A ayat (3) Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 159, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5078) selengkapnya berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur oleh Mahkamah Agung”;
1.7 Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) sepanjang kata “bersama” dan frasa “dan Komisi Yudisial” Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5079) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.8 Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) sepanjang kata “bersama” dan frasa “dan Komisi Yudisial” Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5079) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
1.9 Pasal 14A ayat (2) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5079) selengkapnya berbunyi, “Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan tata usaha negara dilakukan oleh Mahkamah Agung”, dan Pasal 14A ayat (3) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5079) selengkapnya berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur oleh Mahkamah Agung”.
2. Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Pertimbangan Hukum
Pertimbangan hukum terhadap pokok permohonan sebagaimana termuat dalam halaman 113 s.d 120 putusan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut:
[3.6] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan kata “bersama” dan frasa “dan Komisi Yudisial” dalam Ketentuan Pasal 14A ayat (2), dan ayat (3) UU tentang Peradilan Umum, Pasal 13A ayat (2), dan ayat (3) UU tentang Peradilan Agama, Pasal 14A ayat (2), dan ayat (3) UU tentang Peradilan Tata Usaha Negara bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1), Pasal 24B ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan alasan:
1. Keterlibatan Komisi Yudisial dalam proses seleksi pengangkatan hakim pada Peradilan Umum, Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara adalah inkonstitusional, karena bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1), Pasal 24B ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
2. Bahwa “kekuasaan kehakiman yang merdeka” tidak hanya dalam konteks pelaksanaan kewenangan hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara, melainkan juga untuk melakukan proses seleksi dan perekrutan hakim yang berkualitas secara independen dan mandiri. Dengan berlakunya pasal a quo akan dapat menjadi pintu masuk bagi intervensi suatu lembaga terhadap lembaga lain yang akan merusak mekanisme checks and balances yang dibangun. Adanya keterlibatan Komisi Yudisial dalam seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri, pengadilan agama, dan pengadilan tata usaha negara akan merusak sistem kekuasaan kehakiman yang dijamin oleh konstitusi karena adanya “segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain diluar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945”;
3. Bahwa rumusan menyangkut keterlibatan Komisi Yudisial dalam proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri, pengadilan agama dan pengadilan tata usaha negara, sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan pasal-pasal a quo,menimbulkan implikasi ketidakpastian hukum dan menimbulkan persoalan konstitusionalitas.
[3.7] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan para Pemohon, keterangan Presiden, keterangan DPR, keterangan Pihak Terkait, ahli para Pemohon, ahli Presiden, ahli Pihak Terkait, bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh para Pemohon, Pihak Terkait, kesimpulan tertulis para Pemohon, dan kesimpulan tertulis Pihak Terkait sebagaimana termuat pada bagian Duduk Perkara, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
A. Tentang Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka
[3.7.1] Bahwa Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”, dan selanjutnya Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan, “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Bahwa makna yang terkandung dari kedua ayat dalam pasal tersebut merupakan pengakuan bahwa Indonesia adalah “negara demokrasi yang berdasar hukum dan negara hukum yang demokratis”;
Bahwa salah satu ciri dari negara hukum, antara lain, apabila semua warga negara diperlakukan sama di hadapan hukum tanpa kecuali (equality before the law) berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam perkara pidana mulai proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan maupun persidangan di Pengadilan sampai putusan hakim tidak satupun lembaga atau seseorang boleh melakukan intervensi atau menentukan orang bersalah atau tidak bersalah selain didasarkan atas proses peradilan;
Bahwa salah satu prinsip negara demokrasi dan negara hukum adalah adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka. Sejauhmana prinsip ini dijalankan, tolok ukurnya dapat dilihat dari adanya perundang-undangan yang memberikan jaminan mengenai kemerdekaan kekuasaan kehakiman, sebab tanpa adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka atau peradilan yang bebas, tidak akan ada negara demokrasi dan negara hukum;
Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Kemerdekaan kekuasaan kehakiman pada intinya terletak pada independensi hakim dalam memutus perkara;
Untuk menjamin terwujudnya independensi hakim, menurut Mahkamah, memerlukan kelembagaan yang independen pula, agar dapat menjamin para hakim dalam menjalankan tugas dan fungsinya dengan sebaik-baiknya, yang antara lain sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan, "Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung";
[3.7.2] Bahwa terlepas dari fakta bahwa sejak UUD 1945 ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945, kekuasaan kehakiman pernah berada dalam pengaruh Pemerintah maupun pengaruh kekuasaan lain meskipun UUD 1945 (sebelum Perubahan) sesungguhnya juga mengamanatkan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka. Pasal 24 UUD 1945 (sebelum perubahan) menegaskan: “(1) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang; (2) Susunan dan kekuasaan badan- badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang”. Kemudian Pasal 25 UUD 1945 menyatakan, “Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang”. Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 24 dan Pasal 25 UUD 1945 tersebut secara tegas menyatakan, “Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim”. Namun ternyata pembentuk Undang-Undang tidak mengikuti perintah UUD 1945 dimaksud.
Bahwa amanat Pasal 24 dan Pasal 25 UUD 1945 serta Penjelasannya tersebut tidak pernah dilaksanakan, bahkan justru yang lahir adalah Undang- Undang yang bukan saja tidak sesuai, tetapi malah bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana tercantum dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan, “Demi kepentingan revolusi, kehormatan Negara dan Bangsa atau kepentingan masyarakat yang sangat mendesak, Presiden dapat turut atau campur tangan dalam soal-soal pengadilan”. Bahkan dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan, antara lain, pengadilan adalah tidak bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan kekuasaan membuat Undang-Undang;
Demikian pula dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung menyatakan, “Dalam hal-hal dimana Presiden melakukan turun tangan, sidang dengan seketika menghentikan pemeriksaan yang sedang dilakukan dan mengumumkan keputusan Presiden dalam sidang terbuka dengan membubuhi catatan dalam berita acara dan melampirkan keputusan Presiden dalam berkas tanpa menjatuhkan putusan”;
[3.7.3] Bahwa pada tahun 1970 lahir Undang-Undang baru tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 namun tidak membawa pengaruh yang signifikan dalam mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagaimana diamanatkan Pasal 24 dan Pasal 25 UUD 1945 serta Penjelasannya, telah meletakkan dasar adanya pembagian beberapa lingkungan peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer), akan tetapi yang berkaitan dengan organisasi, administrasi dan finansial para hakim tetap berada di bawah masing-masing departemen;
[3.7.4] Bahwa salah satu tuntutan reformasi adalah menyangkut reformasi dibidang peradilan yakni adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari intervensi maupun pengaruh kekuasaan lain, termasuk dalam hal organisasi, administrasi, dan keuangan. Tuntutan tersebut kemudian ditindaklanjuti melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Melalui perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya sistem peradilan satu atap (one roof system) yaitu baik menyangkut teknis judisial maupun organisasi, administrasi, dan finansial berada di bawah satu atap Mahkamah Agung;
Bahwa usaha dalam mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam bentuk peradilan satu atap di bawah Mahkamah Agung tersebut, akhirnya benar-benar menjadi kenyataan ketika pada tahun 2001 dilakukan perubahan terhadap Pasal 24 UUD 1945 yang kemudian disusul oleh lahirnya Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
Bahwa usaha untuk menegakkan kekuasaan kehakiman yang merdeka atau peradilan yang bebas juga mendapat perhatian di tingkat internasional maupun regional melalui peran International Commission of Jurists maupun beberapa lembaga/organisasi lain, termasuk lembaga non-pemerintah, telah melahirkan beberapa deklarasi dan kesepakatan antara lain melalui: 1. Syracuse Principles (1981); 2. New Delhi Standards (1982); 3.Tokyo Principles on the Independence of the Judiciary in the Lawasia Region (1982); 4. Montreal Universal Declaration on the Independence of Justice (1983); 5. UN Basic Principles of the Independence of Judiciary (1985); 6. Beijing Statement (1995); 7. Universal Charter of the Judge (1999); 8. The Bangalore Principles of Judicial Conduct (2002);
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, sistem peradilan yang diamanatkan dan dikehendaki oleh konstitusi dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman, yang tugasnya tidak saja sekadar menegakkan hukum, tetapi sekaligus menegakkan keadilan telah terpenuhi. Dengan sistem dan mekanisme seperti itu, pencari keadilan telah dilindungi dalam mendapatkan hakim yang bebas dan tidak memihak;
B. Tentang Kewenangan Komisi Yudisial
[3.8] Menimbang bahwa Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan, ”Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain diluar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Ketentuan yang sama juga terdapat dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman sebelumnya yaitu dalam Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan, “Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”;
[3.8.1] Bahwa Komisi Yudisial yang lahir dalam perubahan UUD 1945, kewenangannya telah ditegaskan dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”;
[3.8.2] Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, bertanggal 23 Agustus 2006 Mahkamah telah menafsirkan frasa “wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim” bahwa “... walaupun dalam batas-batas tertentu dapat diartikan sebagai pengawasan, bukanlah kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap lembaga peradilan melainkan terhadap individu fungsionaris hakim. Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, baik Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya serta Mahkamah Konstitusi merupakan kekuasaan yang merdeka (Pasal 24 UUD 1945) sehingga dalam melaksanakan kewenangan justisialnya lembaga peradilan tidak dapat diawasi oleh lembaga negara lain”.
Terkait masalah pengawasan terhadap hakim oleh Komisi Yudisial, Mahkamah dalam Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 tersebut telah mempertimbangkan, antara lain, bahwa frasa “dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”, yang seharusnya hanya memberikan kewenangan pengawasan etik kepada Komisi Yudisial, secara sadar atau tidak telah ditafsirkan dan dipraktikan sebagai pengawasan terkait justisial dengan cara memeriksa putusan. Norma pengawasan yang berlaku universal di semua sistem hukum yang dikenal di dunia terhadap putusan pengadilan adalah bahwa putusan pengadilan tidak boleh dinilai oleh lembaga lain kecuali melalui proses upaya hukum (rechtsmideller) sesuai dengan hukum acara;
Dalam putusan tersebut, Mahkamah juga telah mempertimbangkan, antara lain, “bahwa KY merupakan organ yang pengaturannya ditempatkan dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman, dengan mana terlihat bahwa MA diatur dalam Pasal 24A, KY diatur dalam Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 24B, dan MK diatur dalam Pasal 24C. Pengaturan yang demikian sekaligus menunjukkan bahwa menurut UUD 1945 KY berada dalam ruang lingkup kekuasaan kehakiman, meskipun bukan pelaku kekuasaan kehakiman. Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 berbunyi, “Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden”. Pengaturan yang demikian menunjukkan keberadaan KY dalam sistem ketatanegaraan adalah terkait dengan MA”.
Menurut Mahkamah, Komisi Yudisial bukan merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman, melainkan sebagai supporting element atau state auxiliary organ, membantu atau mendukung pelaku kekuasaan kehakiman.
[3.8.3] Bahwa Pihak Terkait Komisi Yudisial dalam surat jawaban tanggal 8 Juni 2015 atas pertanyaan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi pada persidangan tanggal 20 Mei 2015 menjelaskan sebagai berikut:
Bahwa perdebatan dan pembahasan yang terjadi pada rapat-rapat Panitia Ad Hoc I BP MPR terkait dengan kewenangan untuk melakukan rekrutmen hakim dan hakim agung disampaikan antara lain oleh Pataniari Siahaan, Harjono, dan Jacob Tobing, yang ketiga-tiganya berasal dari Fraksi PDI Perjuangan secara lengkap sebagaimana telah disampaikan dalam Tanggapan Komisi Yudisial pada persidangan Mahkamah Konstitusi pada hari Rabu tanggal 20 Mei 2015, yang pada intinya menyatakan: “Perlunya lembaga lain di luar Mahkamah Agung untuk dilibatkan dalam melakukan seleksi rekruitmen tidak hanya terhadap hakim agung, tetapi juga terhadap hakim tingkat pertama dan banding. Adapun ahli Pihak Terkait Forum Kajian Hukum dan Konstitusi Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LLM berpendapat antara lain salah satu yang paling getol dan mendapatkan banyak dukungan adalah usulan Fraksi PDI-Perjuangan melalui anggota-anggotanya salah satunya oleh I Dewa Gede Palguna yang dengan panjang lebar menjelaskan pentingnya kehadiran KY yang nantinya juga akan melakukan rekrutmen hakim agung hingga di tingkat daerah untuk pengadilan negeri dan pengadilan tinggi dengan melibatkan unsur-unsur tertentu yakni misalnya praktisi hukum dan akademisi”.
[3.8.4] Bahwa ahli Pemohon, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc menyampaikan keterangan antara lain sebagai berikut: “Bahwa memang benar adanya, selama proses pembahasan amandemen tahap kedua UUD 1945, terdapat beberapa anggota MPR antara lain: Harjono, Jacob Tobing, dan Hamdan Zoelva yang membahas kemungkinan KY untuk ikut menyeleksi calon hakim tingkat pertama dan banding, namun usulan-usulan mereka itu tidak disepakati baik oleh Panitia Ad Hoc I maupun oleh sidang paripurna MPR. Apa yang disepakati adalah kewenangan KY hanyalah dalam proses seleksi hakim agung saja, tidak hakim-hakim lain”;
[3.8.5] Bahwa semua pendapat ataupun usulan yang berkembang baik pada sidang Panitia Ad Hoc maupun sidang paripurna MPR terkait kewenangan Komisi Yudisial untuk seleksi calon hakim tingkat pertama dan tingkat banding pada akhirnya ditolak;
Bahwa suatu norma yang telah dibahas dan diputus dalam rapat BP MPR maupun MPR dan kemudian ditolak, menurut Mahkamah tidak boleh dijadikan norma dalam Undang-Undang kecuali dilakukan melalui proses perubahan Undang-Undang Dasar sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 37 UUD 1945;
[3.9] Menimbang bahwa frasa “wewenang lain” dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 adalah semata dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku hakim, tidak dapat diperluas dengan tafsiran lain. UUD 1945 tidak memberi kewenangan kepada pembuat Undang-Undang untuk memperluas kewenangan Komisi Yudisial;
[3.10] Menimbang bahwa meskipun dalam Pasal 24 UUD 1945 tidak menyebutkan secara tersurat mengenai kewenangan Mahkamah Agung dalam proses seleksi dan pengangkatan calon hakim dari lingkungan peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara, akan tetapi dalam ayat (2) dari Pasal 24 telah secara tegas menyatakan ketiga Undang-Undang yang diajukan Pemohon dalam perkara a quo berada dalam lingkungan kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung. Lagipula apabila dihubungkan dengan sistem peradilan “satu atap”, menurut Mahkamah, seleksi dan pengangkatan calon hakim pengadilan tingkat pertama menjadi kewenangan Mahkamah Agung;
[3.11] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah ketentuan Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) UU tentang Peradilan Umum, Pasal 13A ayat (2) dan ayat (3) UU tentang Peradilan Agama, Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) UU tentang Peradilan Tata Usaha Negara sepanjang kata "bersama" dan frasa "dan Komisi Yudisial" adalah bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945.
[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum.