Selamat Datang di Situs Web Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia

 

Akta Pemberian Hak Tanggungan adalah akta PPAT yang berisi pemberian Hak Tanggungan kepada kreditor tertentu sebagai jaminan untuk pelunasan piutangnya.

 

Rujukan: Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

Rujukan: Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah

Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah.

JAKARTA | (16/10/2025) Mahkamah Agung menyempurnakan  visualisasi  Salinan putusan  bertanda tangan elektronik yang diterapkan mulai  Kamis tanggal 16 Oktober 2025.   Tampilan  baru  tersebut ditandai dengan adanya  penambahan header pada setiap halaman dalam bentuk kombinasi logo BSRE dan QR Code SIMARI serta text yang menyatakan bahwa dokumen telah ditandatangani secara digital menggunakan sertifikat  yang diterbitkan oleh BSRE. Sebelumnya visualisasi tersebut hanya terdapat pada halaman terakhir putusan dalam bentuk footer.

Demikian disampaikan Panitera MA, Heru Pramono, di Jakarta, Kamis (16/10/2025).  Menurut Heru Pramono,  penyempurnaan visualisasi Salinan  Putusan MA tersebut sebagai upaya autentikasi dan pengamanan dokumen ketika salinan putusan elektronik disampaikan dalam bentuk cetak.  Pada versi sebelumnya,  kata Panitera MA, visualisasi hanya ditampilkan  pada halaman terakhir  salinan putusan.  Dengan kondisi ini,  salinan  putusan  rentan dilakukan modifikasi oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

Dikatakan Panitera MA,  penyempurnaan visualisasi Salinan Putusan Elektronik mengikuti pola  autentikasi salinan putusan manual.

 “Dalam salinan putusan manual, pada halaman akhir dibubuhi legalisasi  yang ditandatangani oleh Panitera Muda MA dan dibubuhi stempel. Sedangkan pada tiap-tiap halaman sebelumnya dibubuhi paraf dan stempel.  Hal ini dalam praktik peradilan  sebagai  metode autentikasi Salinan putusan”, ujar Panitera Mahkamah Agung.

Lebih lanjut Panitera MA menjelaskan bahwa dalam salinan  putusan elektronik, paraf dan stempel  tersebut diganti dengan header dalam bentuk  logo BSRE dan QR Code SIMARI serta text yang menyatakan bahwa dokumen telah ditandatangani secara digital menggunakan sertifikat  yang diterbitkan oleh BSRE.

Berikut ini  visualisasi  versi baru  Salinan Putusan bertanda tangan elektronik.

  

Metode Verifikasi TTE

Namun demikian, Panitera MA mengingatkan  bahwa visualisasi dalam bentuk footer di lembar akhir putusan dan header di lembar lainnya bukan metode utama untuk memastikan autentikasi dokumen putusan bertanda tangan elektronik.   Metode verifikasi salinan putusan bertanda tangan elektronik harus dilakukan secara elektronik juga.

Langkah  menguji validitas salinan putusan bertanda tangan elektronik, menurut Koordinator Data dan Informasi Kepaniteraan, dilakukan  dengan  mengunggah file pdf salinan putusan ke dalam sistem yang disiapkan oleh  Kementerian Komdigi (https://tte.komdigi.go.id/verifyPDF)

“Setelah file pdf  diunggah sistem akan menginformasikan siapa yang menandatangani  dokumen,  waktu dan tempat penandatanganan, keterangan  apakah dokumen telah dimodifikasi atau belum, sejak dokumen tersebut ditandatangani. Serta informasi lainnya yang berkaitan ”, ujar  Asep Nursobah

Selain itu, Mahkamah Agung juga telah menyediakan  sistem serupa   yang tersedia  dalam sistem SIMARI dengan link sebagai berikut:  https://simari.mahkamahagung.go.id/cek_tte .

Cara kerja verifikator yang disediakan oleh SIMARI  serupa yang sistem Komdigi. Pengguna mengunggah file pdf melalui  tautan  https://simari.mahkamahagung.go.id/cek_tte.

Dokumen Telah DImodifikasi

Apabila  dokumen  bertanda tangan elektronik dilakukan perubahan, meskipun  hanya menambah atau mengurangi satu karakter, maka sistem verifikator akan  memberikan informasi bahwa  integritas dokumen tidak  lagi  utuh dan  keaslian tidak  dapat dijamin.

A screenshot of a computer

AI-generated content may be incorrect.

JAKARTA | (28/7) - Panitera MA Heru Pramono menjelaskan adanya perubahan mekanisme pembayaran biaya perkara kasasi/PK dan pengiriman surat rogatory melalui virtual account. Jika sebelumnya selain  membayar biaya  sejumlah yang ditagihkan, pihak juga dibebankan biaya layanan transaksi sebesar Rp.3.000 (tiga ribu rupiah). Mulai saat ini,  pihak berperkara tidak dikenai biaya transaksi, alias gratis!. Pihak berperkara hanya membayar biaya sesuai nominal tagihan yang muncul dalam notifikasi.

“Sebelumnya, jika pihak mendaftarkan kasasi Ia akan membayar biaya sebesar Rp. 503.000,00. Jumlah biaya tersebut terdiri atas Rp.500.000 sebagai biaya perkara kasasi dan Rp.3.000,00 sebagai biaya transaksi menggunakan VA.  Mulai saat ini, pihak tidak perlu menambahkan Rp.3.000, sehingga  cukup membayar Rp.3.000,00”,  ujar Panitera MA memberikan ilustrasi.

Menurut Panitera MA, pihak berperkara akan dikenakan biaya selain dari biaya yang ditagihkan  manakala pembayaran biaya kasasi/PK dilakukan melalui transaksi antar bank. 

“Seperti diketahui, rekening penampung biaya ditempatkan pada bank BSI. Jika penyetor menggunakan bank selain BSI, maka dikenakan biaya transaksi antar bank”, jelas Panitera MA.

Peniadaan biaya transaksi virtual account sebagaimana dijelaskan Panitera MA tersebut hanya berlaku kode biller 5701 (Biaya Perkara MA, untuk biaya perkara kasasi dan peninjauan kembali serta perkara lainnya) dan kode biller 5512 (Kepaniteraan Mahkamah Agung RI untuk biaya pengiriman surat rogatori).

Pembebasan biaya layanan VA tersebut merupakan kesepakatan antara Kepaniteraan MA dan Bank Syariah Indonesia berdasarkan surat dari PT Bank Syariah Indonesia Tbk. Nomor 05/1740-3/BG tanggal 27 Juli 2025. [an]

 

Ikuti Sosial Media Kami