Pemanggilan pihak berperkara oleh pengadilan untuk hadir di persidangan merupakan upaya untuk menegakkan asas audi et alteram partem dan equality before the law. Pengadilan diwajibkan memanggil pihak berperkara, baik Penggugat maupun Tergugat di tempat domisilinya atau di tempat tinggalnya. Kewajiban pemanggilan pihak berperkara tetap melekat meskipun pihak berperkara tersebut bertempat tinggal di luar wilayah hukum pengadilan yang memeriksa perkara, tidak diketahui tempat tinggalnya atau bahkan berada di luar di wilayah hukum negara.
Ketidakhadiran pihak berperkara dalam persidangan setelah dipanggil dengan sah dan patut akan berakibat pada gugurnya tuntutan atau dikabulkannya tuntuan tanpa kehadiran Tergugat. Berdasarkan Pasal 124 HIR, jika penggugat tidak datang menghadap pengadilan pada hari yang bersangkutan, padahal telah dipanggil dengan sah, dan tidak pula menyuruh orang lain mengadap sebagai wakilnya, maka tuntutannya dianggap gugur. Sementara itu, berdasarkan Pasal 125 HIR, jika Tergugat yang telah dipanggil dengan sah tidak datang pada hari yang ditentukan, dan tidak menyuruh orang lain menghadap sebagai wakilnya, maka tuntutannya dapat dikabulkan tanpa hadirnya Tergugat (verstek), kecuali dipastikan oleh pengadilan tuntutannya tersebut melawan hak atau tidak beralasan.
Berdasarkan hal tersebut, status pemanggilan para pihak merupakan informasi yang sangat penting bagi hakim dalam memeriksa perkara. Suatu perkara akan diproses dari satu tahapan ke tahapan berikutnya hingga perkara tersebut diputus didasarkan pada informasi status pemanggilan para pihak yang disajikan oleh jurusita dalam relaas panggilan. Oleh karena itu, status pemanggilan para pihak akan mempengaruhi cepat atau lambatnya proses penanganan perkara.
Selain pemanggilan, instrumen pengadilan untuk berkomunikasi dengan pihak berperkara adalah pemberitahuan. Pemberitahuan merupakan jenis instrumen administrasi yudisial untuk menyampaikan informasi produk pengadilan, misalnya pemberitahuan putusan atau penetapan pengadilan. Selain itu, pemberitahuan juga digunakan untuk menyampaikan dokumen pengadilan kepada para pihak dalam penyelesaian perkara maupun dalam sebuah proses upaya hukum, misalnya memori kasasi, atau kontra memori kasasi.
Penyampaian kedua dokumen tersebut, pemanggilan dan pemberitahuan, merupakan tugas Jurusita/Jurusita Pengganti atas perintah Majelis Hakim. Sebagai pejabat yang mendapat otoritas berdasarkan peraturan perundang-undangan, informasi yang disampaikan oleh Jurusita selayaknya akta otentik yang mengikat hakim. Hakim dapat memutus perkara dengan verstek berdasarkan informasi relaas panggilan bahwa jurusita telah memanggil Tergugat dengan sah dan patut namun tidak hadir di persidangan yang ditentukan. Hakim juga dapat menyatakan gugatan penggugat gugur karena penggugat tidak datang menghadap pengadilan pada hari yang ditentukan, padahal berdasarkan informasi pada relaas Penggugat telah dipanggil dengan sah, dan tidak pula menyuruh orang lain mengadap sebagai wakilnya. Demikian juga pengadilan dapat menyatakan suatu perkara telah berkekuatan hukum tetap atas informasi bahwa putusan telah diberitahukan kepada pihak berperkara dan dalam tenggang waktu tertentu sejak putusan diberitahukan tidak diajukan upaya hukum.
Peraturan perundang-undangan di bidang hukum acara perdata (HIR/RBG) telah cukup memberikan aturan mengenai prosedur pemanggilan pihak berperkara yang berada di wilayah hukum pengadilan yang memeriksa maupun pihak berperkara yang tempat tinggalnya tidak diketahui di seluruh wilayah hukum negara Republik Indonesia. Prosedur pemanggilan pihak yang berada di luar pengadilan yang memeriksa perkara (delegasi panggilan), meskipun HIR/RBG tidak mengatur, namun hal ini telah berjalan dalam praktik peradilan Pengaturannya didasarkan pada Reglement op de Rechtvordering (RV) dan panduan teknis yang diatur dalam Surat Edaran Nomor 6 Tahun 2014 tentang Penanganan Bantuan Panggilan/Pemberitahuan.
Yang menjadi persoalan adalah prosedur pemanggilan pihak berperkara yang berada di luar negeri. Peraturan perundang-undangan tidak mengatur mengenai hal tersebut kecuali pengaturan yang bersifat umum, antara lain dalam Pasal 100 Rv, Pasal 66 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan Pasal 20 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Ketiga peraturan tersebut pada pokoknya menentukan bahwa seseorang yang berada di luar negeri, bahkan seorang warga negara asing, dapat dijadikan pihak dalam perkara yang diadili oleh pengadilan di Indonesia. Mereka dipanggil melalui jalur diplomatik dengan melibatkan peran kementerian luar negeri. Akan tetapi bagaimana tata cara pemanggilan atau pemberitahuan pihak berperkara yang berada di luar negeri tersebut belum mendapat pengaturan yang rinci. Hal ini berbeda dengan perkara pidana yang telah diatur secara terperinci dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana.
Kekosongan aturan hukum mengenai bantuan teknis hukum dalam perkara perdata lintas yurisdiksi negara menjadi pendorong bagi Mahkamah Agung dan Kementerian Luar Negeri untuk membuat nota kesepahaman (Memorandum of Understanding). Pertama kali, nota kesepahaman tersebut ditandatangani pada tanggal 19 Februari 2013 antara Panitera Mahkamah Agung dan Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional. Nota Kesepahaman tersebut bernomor NK/HI/01/02/2013/58 dan Nomor 162/PAN/HK.00/II/2013 tanggal 19 Februari 2013. Lima tahun kemudian, 20 Februari 2018, nota kesepahaman tersebut diperpanjang. Kali ini pejabat penandatangan dokumen nota kesepahaman adalah pimpinan tertinggi dari kedua lembaga tersebut yaitu Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Luar Negeri. Dokumen nota kesepahaman antara Mahkamah Agung dan Kementerian Luar Negeri tahun 2018 ini bernomor 01/NK/MA/2/2018 - PRJ/HI/102/02/2018/01 tanggal 20 Februari 2018. Selain nota kesepahaman, MA dan Kemlu juga menandatangani 1 (satu) Surat Keputusan Bersama dan 4 (empat) peranjian kerjasama.
Nota kesepahaman terakhir, dilaksanakan pada tahun 2023 dengan masa berlaku hingga tahun 2028. Dokumen nota kesepahaman ini ditandatangani oleh Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Luar Negeri dengan nomor 02/KMA/NK/IV/2023 tanggal 6 April 2023 dan nomor PRJ/HK/00001/04/2023/22 tanggal 11 April 2023. Selain nota kesepahaman, telah ditandatangani pula 5 (lima) perjanjian kerja sama dari 6 (enam) perjanjian kerja sama yang direncanakan. Satu perjanjian kerjasama yang masih dalam proses pembahasan terkait dengan mekanisme bantuan teknis hukum dalam perkara perdata lintas negara secara elektronik. Salah satu materi muatan yang diatur berkaitan dengan penanganan permintaan pemeriksaan saksi dan/atau ahli secara elektronik dalam perkara perdata lintas negara.
Perkembangan terkini prosedur pemanggilan maupun pemberitahuan pihak berperkara yang berada di luar negeri berkaitan dengan perkara yang didaftarkan secara e-court. Mahkamah Agung mengatur hal ini dalam Pasal 17 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2022 yang menetapkan bahwa pemanggilan/pemberitahuan terhadap para pihak yang berkediaman di luar negeri dan Domisili Elektroniknya telah diketahui, dilakukan secara elektronik.
☑️ ARTIKEL SELENGKAPNYA KLIK DISINI
Penulis adalah Hakim Yustisial Kepaniteraan MA/Sekretaris Tim Penyempaian Bantuan Teknis Hukum dalam Perkara Perdata Mahkamah Agung RI-Kementerian Luar Negeri
S