Ketua MA Tandatangani Lampiran MoU dengan FCA dan FCoA
Brisbane | Kepaniteraan.mahkamahagung.go.id (3/10)
Ketua Mahkamah Agung RI, Yang Mulia Dr. H. Hatta Ali, SH, MH, melakukan penandatanganan Lampiran Nota Kesepahaman (MoU Annex) dengan Federal Court of Australia (FCA) dan Family Court of Australia (FCoA), hari ini (Rabu, 3/10), bertempat di Harry Gibbs Commonwealth Law Courts Building, Gedung FCA, Brisbane, Queensland, Australia. Dari pihak FCA penandatanganan dilakukan oleh Chief Justice PA. Keane sedangkan dari FCoA dilakukan oleh Chief Justice Diana Bryant.
MoU antara MA, FCA, dan FCoA terakhir dilakukan pada tanggal 21 Juli 2008 dan diperbaharui setiap tahun melalui penandatanganan lampiran MoU (annex). Sedangkan MoU pertama antar tiga pengadilan ini dilakukan pada tahun 2004. Lampiran MoU berisi tentang kerjasama yudisial bidang tertentu yang berlaku selama satu tahun sebagai penerjemahan dari MoU. Ruang lingkup lampiran MoU tahun ini meliputi bidang mediasi, small claim court, bisnis process reengineering, program magang dan class action.
Ketua MA, Dr. H. Hatta Ali, SH, MH, dalam sambutan setelah seremoni penandatanganan MoU memberikan apresiasi kepada pihak Federal Court dan Family Court yang dalam delapan tahun terakhir ini telah menjalin kerjasama yudisial yang baik dengan MA. Kerjasama yang terjalin dengan baik ini, kata Ketua MA, terjadi ditengah-tengah perbedaan budaya, bahasa, dan sistem hukum. “Meskipun berbeda, kita sama-sama lembaga peradilan, sehingga sama-sama menjunjung supremasi hukum”, ujar Ketua MA.
Ketua MA berharap kerjasama judisial antar tiga pengadilan ini, selain manajemen perkara juga diperluas ke bidang access to Justice. “masalah access to justice merupakan masalah mendasar yang dihadapi pencari keadilan di Indonesia”, ungkap Ketua MA. Dijelaskan Ketua MA, minimnya sarana dan prasarana, lemahnya manajemen organisasi, proses penganggaran, dan politik legislasi yang tidak responsif memaksa peradilan Indonesia untuk lebih kreatif dan proaktif dalam menjembatani masalah access to justice ini.
Berdasarkan hal tersebut, lanjut ketua MA, kerjasama yang dipayungi MoU ini akan mengusung isu access to justice yang meliputi penguatan mediasi pada hukum keluarga, gugatan kelas, dan small claim court. “persoalan tersebut sangat aktual bagi peradilan Indonesia”, tegasnya.
Ketua MA pun menilai program magang tiga orang hakim di FCA sebagai langkah yang positif untuk mendukung business process reengineering yang diamanatkan oleh cetak biru. “business process reengineering ini sangat penting karena akan menjadikan penanganan perkara yang lebih responsif, ramah pengguna, dan mampu menghadapi tantangan beban kerja”, jelas Ketua MA.
Sementara itu, Chief Justiece P.A Keane dalam pidatonya mengungkapkan dirinya sangat terhormat diberi kesempatan untuk memberi dukungan pembaruan peradilan di Mahkamah Agung. “Meskipun dukungan kami kecil, kami mengucapkan terima kasih atas nama seluruh staf”, ungkapnya.
Chief Justice FCA ini memberikan penegasan terhadap mediasi yang akan dijadikan salah satu fokus dalam lampiran MoU tahun ini. Menurutnya kedudukan mediasi sangat strategis dalam proses manajemen perkara, khususnya dalam penyelesaian perkara. “Mediasi efektif dalam proses access to justice”, tegas CJ PA Keane.
Soal access to justice ini juga mendapat perhatian dalam sambutan Chief Justice Family Court of Australia, CJ Diana Bryant. Diana Bryant memberi apresiasi atas capaian access to justice yang diraih oleh peradilan di Indonesia. Menurutnya dengan program access to justice ini, sejumlah orang yang dikategorikan tidak mampu dan marginal bisa mengakses pengadilan, khususnya untuk mendapatkan pengesahan nikah, dan mendapatkan akta kelahiran. Program ini pun, lanjut Diana Bryant, telah berhasil memberikan akses keadailan terhadap perempuan.
Diana Bryant menyebutkan bahwa keberhasilan access to justice di Indonesia, khususnya akses perempuan terhadap peradilan dan pembebasan biaya perkara telah menarik dua jurnal internasional untuk menerbitkan laporannya mengenai kedua hal tersebut.
Hubungan Terunik
Prof. Tim Lindsley, Direktur Asian Law Center Melbourne University, yang bertindak sebagai pembicara pengantar dalam seremoni tersebut menyatakan bahwa pola hubungan kerjasama MA-RI dengan Pengadilan Australia (FCA dan FCoA) adalah hubungan terunik di dunia. “hubungan ini terjalin dengan baik lebih dari dua dekade, padahal terjadi diantara dua negara yang berbeda bahasa, agama mayoritas, budaya, bahkan sistem hukum”, jelas Prof. Lindsley.
“Hubungan ketiga pengadilan tetap baik bahkan disaat hubungan politik Indonesia-Australia mengalami dinamika yang cukup memanas”, imbuh Tim Lindley menguatkan argumentasinya.
Prof. Tim menyampaikan langgengnya jalinan kerjasama MA dengan Pengadilan Australia karena sifat hubungan yang universal, sehingga tidak terkendala perbedaan. “Yang berlawanan bisa saling tertarik”, ungkapnya mengutip pernyataan seorang Ilmuwan. (an)