Pleno Kamar Mahkamah Agung yang diikuti oleh kamar pidana, kamar perdata, kamar agama, kamar militer, dan kamar TUN telah berakhir Jumat siang (11/12/2015). Sebelum Ketua MA menutup secara resmi rapat pleno kamar, masing-masing kamar yang diwakili oleh “juru bicaranya” membacakan hasil rumusan kamar di hadapan rapat paripurna. Rumusan hukum yang dilahirkan dalam rapat pleno kamar tersebut telah ditandatangani oleh anggota kamar. Selanjutnya, oleh jurubicara secara simbolis diserahkan kepada Ketua Mahkamah Agung.
Berdasarkan Pedoman Sistem Kamar di Mahkamah Agung, Rumusan hukum hasil Rapat Pleno Kamar yang telah disahkan oleh Ketua Mahkamah Agung sedapat-dapatnya ditaati Majelis Hakim. Untuk melegitimasi hasil rumusan rapat pleno kamar sebagai pedoman pelaksanaan tugas, Ketua MA akan menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang menegaskan pemberlakuan rumusan hukum sebagai pedoman bagi Kamar dan juga bagi pengadilan tingkat pertama dan banding.
Seperti pelaksanaan rapat pleno tiga tahun sebelumnya, rumusan hukum hasil rapat pleno kamar selalu ditindaklanjuti dengan SEMA. SEMA 7 Tahun 2012, memberlakukan rumusan hukum hasil Rapat Pleno Kamar Tahun 2012, SEMA 4 Tahun 2014, memberlakukan rumusan hukum hasil Rapat Pleno Kamar Tahun 2013, dan SEMA 5 Tahun 2014, memberlakukan rumusan hukum hasil Rapat Pleno Kamar Tahun 2014.
Kamar Pidana
Rumusan Hukum Kamar Pidana disampaikan oleh Hakim Agung Dr. H. Suhadi, SH, MH. Dalam pengantarnya, Suhadi menerangkan bahwa dalam Kamar Pidana, ada 4 (empat) isu hukum yang mengemuka yaitu: narkotika, titik singgung antara perkara tata usaha negara dan perkara tindak pidana korupsi, illegal fishing, dan penyitaan terhadap asset negara.
Narkotika
Dalam hal penjatuhan pidana dengan Pasal yang tidak didakwakan, contoh Pasal 127 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Hakim memeriksa dan memutus perkara harus didasarkan kepada Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum (Pasal 182 ayat 3, dan 4 KUHAP), namun apabila berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan Terdakwa terbukti sebagai pemakai dan jumlahnya relatif kecil, maka Hakim memutus sesuai surat dakwaan tetapi dapat menyimpangi ketentuan pidana minimum khusus dengan membuat pertimbangan yang cukup.
Titik singgung antara perkara TUN dan Tipikor
Pasal 21 Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menegaskan bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara berwenang memeriksa dan memutuskan ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang yang dilakukan pejabat pemerintahan. Ketika proses perkara Tindak Pidana Korupsi berjalan dan diajukan pula permohonan tentang ada atau tidak adanya unsur penyalahgunaan wewenang ke , maka proses pemeriksaan perkara Tindak Pidana Korupsi tetap berjalan sedangkan permohonan di Pengadilan Tata Usaha Negara harus merujuk kepada PERMA No. 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Dalam Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang pada Pengadilan Tata Usaha Negara.
Perikanan (Illegal Fishing)
Dalam perkara Illegal Fishing di wilayah ZEEI terhadap Terdakwa hanya dapat dikenakan pidana denda tanpa dijatuhi kurungan pengganti denda.
Penyitaan Terhadap Aset Negara
Dalam hal ada permohonan ijin penyitaan terhadap Aset Negara maka Ketua Pengadilan Negeri dapat menerbitkan ijin penyitaan dalam hal Aset Negara tersebut merupakan alat untuk melakukan tindak pidana, atau merupakan hasil dari tindak pidana atau berhubungan langsung dengan tindak pidana yang bersangkutan. Barang bukti tersebut dapat dipinjam pakai untuk kepentingan lembaga yang bersangkutan.
Kamar Perdata
Rumusan hukum Kamar Perdata disampaikan oleh Hakim Agung Syamsul Maarif, SH, LLM, P.HD. Menurutnya fokus rumusan hukum kamar perdata adalah merumuskan ulang beberapa permasalahan hukum yang sering memicu adanya disparitas, baik dalam ranah perdata umum maupun perdata khusus, yaitu:
Verstek
Putusan yang dijatuhkan secara verstek sesuai ketentuan Pasal 125 ayat (1) HIR dengan melakukan pembuktian secara sepihak tidak batal demi hukum. Jika putusan demikian diajukan upaya hukum Kasasi/PK, maka dalam pertimbangannya Majelis Hakim Kasasi atau PK, perlu menyatakan pada intinya, bahwa dalam hal Tergugat tidak hadir ke persidangan setelah dipanggil secara sah dan patut maka Hakim menjatuhkan putusan secara verstek dengan tanpa melakukan pembuktian. Meskipun demikian, untuk mengabulkan gugatan, maka gugatan didukung dengan minimal alat bukti tertulis.
Khusus perkara perceraian berlaku ketentuan Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Amar Putusan
Dalam hal putusan pengadilan tingkat banding menyatakan permohonan banding tidak dapat diterima karena Pemohon terlambat mengajukan permohonan banding, maka isi amar Putusan Kasasi adalah : MENOLAK KASASI, karena putusan pengadilan tingkat pertama telah berkekuatan hukum tetap. Upaya hukum yang tersedia terhadap putusan tersebut adalah Peninjauan Kembali.
Untuk perkara kasasi, Hakim Agung sepakat bahwa terhadap permohonan kasasi yang tidak memenuhi syarat formil, maka isi amar putusan adalah permohonan kasasi tidak dapat diterima. Sedangkan untuk perkara Peninjauan Kembali isi amar putusan Peninjauan Kembali terhadap permohonan Peninjauan Kembali yang tidak memenuhi syarat formil adalah : MENYATAKAN PERMOHONAN PEMOHON PK TIDAK DAPAT DITERIMA.
Dalam hal amar putusan Kasasi/PK yang mengabulkan permohonan pernyataan pailit, Majelis Hakim Kasasi/PK menunjuk kurator sesuai dengan permohonan Pemohon dan memerintahkan Ketua Pengadilan Niaga untuk menunjuk Hakim Pengawas.
Kamar Perdata merumuskan bahwa Tidak ada upaya hukum apapun terhadap :Putusan PKPU Sementara (Pasal 235); Putusan PKPU Tetap (Pasal 235); Putusan PKPU Tetap tidak disetujui oleh Kreditur, kemudian Debitur dinyatakan Pailit (Pasal 290) ; Putusan Penolakan perdamaian dalam PKPU (Pasal 285 ayat (4) dan Putusan atas permohonan Rehabilitasi terhadap Debitor (ahli waris) setelah berakhirnya kepailitan (Pasal 220)
Jika terhadap putusan kepailitan/PKPU yang tidak tersedia upaya hukum apapun sebagaimana dimaksud dalam huruf A di atas tetap diajukan ke MA, maka isi amar putusan adalah TIDAK DAPAT DITERIMA.
Merek
Gugatan pembatalan terhadap merek yang memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek pihak lain untuk barang atau jasa yang tidak sejenis maka amar putusan adalah GUGATAN TIDAK DAPAT DITERIMA.
Sesuai dengan prinsip legistik, ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek belum berlaku efektif, karena Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut belum diundangkan.
Perselisihan Hubungan Industrial
Dalam hal terjadi PHK terhadap pekerja/buruh karena alasan melakukan kesalahan berat ex Pasal 158 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Pasca Putusan MK Nomor 012/PUU-I/2003, tanggal 28 Oktober 2004), maka PHK dapat dilakukan tanpa harus menunggu putusan pidana berkekuatan hukum tetap (BHT).
Perkawinan
Dalam hal terjadi perkawinan yang dilakukan di luar negeri yang tidak dicatatkan di kantor pencatat perkawinan di Indonesia, maka perkawinan itu dianggap tidak pernah ada.
Jual Beli
Kriteria pembeli yang beritikad baik yang perlu dilindungi berdasarkan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata adalah melakukan jual beli atas obyek tanah tersebut dengan tata cara/prosedur dan dokumen kepemilikan yang sah sebagaimana telah ditentukan peraturan perundang-undangan, yaitu :Pembelian tanah melalui pelelangan umum, atau; Pembelian tanah di hadapan PPAT (sesuai ketentuan PP Nomor 24 Tahun 1997), atau; Pembelian terhadap tanah yang belum terdaftar yang dilaksanakan menurut ketentuan hukum adat yaitu dilakukan secara tunai dan terang (di hadapan/diketahui Kepala Desa setempat). Selain itu harus dilakukan penelitian terhadap status kepemilikan tanah (kepemilikan dan bebas dari sita).
Kamar Agama
Juru bicara yang menyampaikan rumusan hukum hasil pleno pada Kamar Agama adalah hakim agung Dr. H. Purwosusilo, SH, MH. Kamar Agama mengelompokkan rumusan hukum ke dalam tiga kelompok, yaitu masalah beda pendapat dalam majelis, masalah judex facti yang belum melaksanakan hasil rapat pleno kamar dan permasalahan hukum baru.
Masalah Beda Pendapat Dalam Majelis
Permohonan peninjauan kembali yang tidak memenuhi ketentuan formil, maka bunyi amarnya “Menyatakan permohonan peninjauan kembali tidak dapat diterima/N.O. (Niet Ontvankelijke Verklaard)”
Perkara kumulasi antara persoon recht dan zaken recht dapat diajukan bersama-sama atau setelah terjadi perceraian, hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 66 ayat (5) jo. Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009.
Pemeriksaan secara verstek terhadap perkara perceraian tetap harus melalui proses pembuktian (Pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah RI Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan), sedangkan pemeriksaan perkara selain perceraian tidak perlu pembuktian, tetapi gugatan tersebut harus menunjukkan adanya alas hak dan tidak melawan hukum (Pasal 125 HIR/Pasal 149 RBg).
Dalam perkara permohonan peninjauan kembali dengan alasan telah ditemukan bukti baru (novum), maka yang disumpah adalah pihak yang mengajukan permohonan peninjauan kembali, karena dia yang memiliki kepentingan hukum, sekalipun Pasal 69 huruf (b) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tidak menyebut secara terang siapa yang diambil sumpahnya.
Alasan/risalah peninjauan kembali harus diserahkan pada tanggal yang sama dengan pendaftaran permohonan peninjauan kembali di pengadilan pengaju sesuai dengan ketentuan Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009.
Masalah Judex Facti Belum Seluruhnya Melaksanakan Hasil Rapat Pleno Kamar
Putusan pengadilan tinggi agama yang menyatakan batal demi hukum terhadap putusan pengadilan agama, maka harus memberikan status gugatan tersebut dengan menyatakan gugatan tidak dapat diterima/NO (Niet Ontvankelijke Verklaard).
Penyelesaian perkara perceraian dengan alasan syiqaq menurut Pasal 76 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, sejak awal diajukan gugatan harus berdasarkan alasan syiqaq. Oleh karena itu keluarga wajib dijadikan saksi di bawah sumpah.
Perkawinan bagi Warga Negara Indonesia di luar negeri yang tidak didaftarkan setelah kembali ke Indonesia lebih dari satu tahun, maka dapat diajukan itsbat nikah ke pengadilan agama yang mewilayahi tempat tinggal Pemohon.
Menurut hasil Rakernas 2010 di Balikpapan telah dirumuskan bahwa waris pengganti hanya sampai dengan derajat cucu, jika pewaris tidak mempunyai anak tetapi punya saudara kandung yang meninggal lebih dahulu, maka anak laki-laki dari saudara kandung sebagai ahli waris, sedangkan anak perempuan dari saudara kandung diberikan bagian dengan wasiat wajibah.
Masalah Hukum Baru
Penetapan hak hadhanah sepanjang tidak diajukan dalam gugatan/permohonan, maka Hakim tidak boleh menentukan secara ex officio siapa pengasuh anak tersebut.
Nafkah anak merupakan kewajiban orang tua, tetapi amar putusan yang digantungkan pada harta yang akan ada sebagai jaminan atas kelalaian pembayaran nafkah anak tersebut tidak dibenarkan.
Dalam amar putusan cerai talak, tidak perlu menambahkan kalimat “Memerintahkan Pemohon untuk membayar atau melunasi beban akibat cerai sesaat sebelum atau sesudah pengucapan ikrar talak”, karena menimbulkan eksekusi premature.
Pengukuran terhadap obyek pemeriksaan setempat (descente) berupa tanah tidak harus dilakukan oleh petugas dari Kantor Badan Pertanahan Nasional, akan tetapi dapat dilakukan oleh pegawai pengadilan agama bersama aparat desa/kelurahan setempat.
Amar mengenai pembebanan nafkah anak hendaknya diikuti dengan penambahan 10% sampai dengan 20% per tahun dari jumlah yang ditetapkan, di luar biaya pendidikan dan kesehatan.
Kamar Tata Usaha Negara
Hakim Agung Dr. H. Supandi, SH, MH didaulat oleh anggota Kamar TUN untuk menyampaikan rumusan hukum hasil pleno kamar TUN. Dalam pengantarnya, Supandi menyampaikan ada empat permasalahan yang menjadi rumusan hukum, yaitu: tenggang waktu pengajuan gugatan, tentang keputusan hasil uji kemampuan dan kelayakan (fit and proper test), tentang legal standing dalam sengketa tata usaha negara pemilihan, tentang sumpah ditemukannya bukti baru (novum), tentang pengajuan peninjauan kembali
Tentang Tenggang waktu pengajuan gugatan
Tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari untuk mengajukan gugatan bagi pihak ketiga yang tidak dituju oleh keputusan tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang semula dihitung “sejak yang bersangkutan merasa kepentingannya dirugikan oleh keputusan tata usaha negara dan sudah mengetahui adanya keputusan tata usaha negara tersebut”diubah menjadi dihitung “sejak yang bersangkutan pertama kali mengetahui keputusan tata usaha negara yang merugikan kepentingannya”.
Tentang Keputusan Hasil Uji Kemampuan dan Kelayakan (Fit and Proper Test)
Keputusan hasil fit and proper testmerupakan keputusan tata usaha negara, akan tetapi Peradilan Tata Usaha Negara tidak berwenang untuk menguji keputusan tersebut karena:
- keputusan tata usaha negara tersebut diterbitkan oleh lembaga independen, dan
- substansinya tidak hanya berisi tindakan hukum semata akan tetapi juga aspek-aspek lain non hukum seperti moralitas, profesionalitas, akademis, integritas, rekam jejak (track record) dan prinsip kehati-hatian.
Tentang Legal Standing dalam Sengketa Tata Usaha Negara Pemilihan
Yang mempunyai Legal standing untuk mengajukan gugatan adalah :
a. Peserta yang dinyatakan tidak lolos sebagai pasangan calon,
b. Peserta yang lolos dan telah ditetapkan sebagai pasangan calon akan tetapi masih mempersoalkan pasangan calon lain, karena pasangan calon yang dimaksud tidak memenuhi syarat sebagai pasangan calon.
Tentang Sumpah Ditemukannya Bukti Baru (Novum)
Dalam hal permohonan peninjauan kembali didasarkan karena adanya novum, yang disumpah adalah pihak yang menemukan novum karena hal ini berkaitan dengan kualitas pembuktian, dan yang bersumpah haruslah orang yang mengalaminya sendiri dalam menemukan novum tersebut.
Tentang Pengajuan Peninjauan Kembali
Lembaga hukum peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa yang dapat diajukan hanya satu kali sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, namun dalam hal terdapat dua putusan peninjauan kembali yang saling bertentangan terhadap satu objek sengketa yang sama dapat diajukan permohonan peninjauan kembali untuk membatalkan putusan peninjauan kembali yang kedua, karena dalam sengketa tata usaha negara menganut asas erga omnes sehingga peninjauan kembali yang kedua itu tidak diperlukan lagi.
Kamar Militer
Rumusan hukum hasil pleno kamar militer disampaikan oleh Hakim Agung Mayjen Burhan Dahlan, SH, MH. Dalam pengantarnya, ia menyampaikan bahwa Kamar Militer merumuskan 4 (empat) persoalan yang mengemuka di kamar militer, yaitu: penjatuhan pidana tambahan pemecatan, narkotika, perniakahan siri, penerapan ketentuan Pasal 45A Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, dan kesusilaan
Penjatuhan Pidana Tambahan Pemecatan
Secara yuridis landasan untuk menjatuhkan pidana tambahan pemecatan oleh Hakim adalah Pasal 26 KUHPM yang menegaskan Terdakwa dipandang tidak layak dan tidak pantas lagi sebagai prajurit TNI. KUHPM tidak menentukan parameter/ukuran seseorang dipandang tidak layak/pantas, dalam praktek diserahkan pada pendapat dan penafsiran Hakim.
Untuk menghindari subyektifitas Hakim dalam menjatuhkan pidana tambahan pemecatan, yang dapat dijadikan tolok ukur didasarkan pada aspek pelaku (subyektif), perbuatan (obyektif), aspek akibat, dan keadaan-keadaan yang menyertai perbuatan Pelaku.
Aspek subyektif, yaitu kepangkatan dan jabatan pelaku ketika melakukan tindak pidana, yaitu apakah dalam level kepangkatan dan jabatan tersebut Terdakwa layak/pantas melakukan tindak pidana in casu.
Aspek obyektif, yaitu tindak pidana yang dilakukan Terdakwa, lama pidana yang dijatuhkan dan dampak yang mungkin ditimbulkan menjadi ukuran penjatuhan pidana tambahan pemecatan.
Dampak terhadap nama baik satuan dan pembinaan disiplin prajurit di kesatuan apakah perbuatan Terdakwa berdampak pada citra kesatuan dan menyulitkan dalam pembinaan prajurit di kesatuan.
Keadaan-keadaan yang menyertai perbuatan Terdakwa sebagai pengulangan atau sebelumnya pernah melakukan pelanggaran.
Narkotika
Bahwa perbuatan Terdakwa yang berulang kali mengkonsumsi narkotika dan menunjukkan ada indikasi ketagihan, Hakim dalam pemeriksaan di persidangan dapat memerintahkan agar Terdakwa dilakukan pemeriksaan oleh seorang Dokter ahli, dan apabila hasil pemeriksaannya dapat membuktikan bahwa kondisi Terdakwa sudah memasuki tahap kecanduan (ketagihan), Hakim dalam putusannya dapat memerintahkan Terdakwa dilakukan rehabilitasi dengan berpedoman ketentuan Pasal 127 Ayat (1) juncto Ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009. Penerapan rehabilitasi terhadap prajurit TNI tidak menyalahi tugas pokok sebagai alat pertahanan negara. Bila prajurit TNI penyalah guna/pecandu Narkotika harus dijatuhkan pidana penjara dan pidana tambahan pemecatan, Hakim dalam putusannya dapat menerapkan rehabilitasi terhadap Terdakwa dengan pertimbangan rehabilitasi tersebut merupakan hak konstitusional Terdakwa untuk mendapatkan penyembuhan.
Bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan Laboratorium Forensik Polri, diketahui urin Terdakwa positif (+) mengandung Metamphetamine. Terdakwa diserahkan ke Denpom untuk dilakukan pemeriksaan, namun Terdakwa menyangkal telah mengkonsumsi Narkotika, tidak ada saksi yang mengetahui/melihat Terdakwa mengkonsumsi Narkotika. Seorang dokter/ahli telah diminta keterangannya dan menjelaskan bahwa apa yang ada dalam urin Terdakwa adalah menunjukkan yang dikonsumsi Terdakwa adalah Narkotika. Bahwa perbuatan Terdakwa tidak dapat dipersalahkan melanggar Pasal 127 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 183 KUHAP yakni sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah. Keterangan seorang dokter/ahli in casu lebih merupakan asumsi atau dugaan semata. Kesaksian Dokter ahli harus dilengkapi ahli farmakologi yang mengetahui proses peracikan zat-zat kimia, bila terdapat keraguan atas hasil keterangan para ahli tersebut dapat dilanjutkan kepada pemeriksaan oleh BNN karena BNN mempunyai ukuran-ukuran tertentu untuk memastikan apakah dalam tubuh seseorang telah terpenuhi ukuran-ukuran narkotika yang dikategorikan sebagai seorang pengguna.
Pernikahan Siri
Bahwa prajurit yang akan melangsungkan perkawinan, sesuai Peraturan Panglima TNI Nomor : Perpang/11/VII/2007 tanggal 4 Juli 2007, harus mendapatkan izin dari atasan yang berwenang, dan bila Terdakwa akan melangsungkan perkawinan pertamanya in casu secara agama Katholik dengan calon isterinya tanpa mendapat izin dari atasannya terlebih dahulu, tidak melanggar Pasal 103 Ayat (1) KUHPM yakni militer yang dengan sengaja tidak mentaati perintah dinas, karena berdasarkan Peraturan Panglima TNI tersebut bahwa perkawinan pertamanya tanpa izin komandan satuan dinyatakan sebagai pelanggaran disiplin. Karenanya putusan Judex Facti dalam perkara in casu harus membebaskan Terdakwa dari dakwaan Pasal 103 Ayat (1) KUHPM.
Bahwa perkawinan seorang prajurit yang dilakukan menurut agamanya (kawin siri) tanpa izin atasan yang berwenang, perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat formil dalam hukum administrasi personil. Apabila prajurit tersebut melangsungkan perkawinan kedua menurut agama dan atas izin atasan yang berwenang, perkawinan terdahulu (perkawinan siri) bukan merupakan penghalang (melanggar Pasal 279 KUHP) karena perbuatan melangsungkan perkawinannya sebelum Terdakwa masuk menjadi prajurit TNI, dan selanjutnya Terdakwa melangsungkan perkawinan secara sah menurut agama dan Satuan tidak dapat dipersalahkan melanggar Pasal 279 Ayat (1) ke-1 KUHP tetapi perbuatan tersebut telah melanggar hukum administrasi personil dan secara administrasi harus diberhentikan dengan tidak hormat dari dinas keprajuritan.
Bahwa perbuatan seorang prajurit yang melangsungkan perkawinan secara siri sebanyak 4 (empat) kali (tanpa dicatat oleh pejabat yang berwenang), perkawinan-perkawinan siri yang telah dilakukannya tersebut harus dipersalahkan melanggar Pasal 279 Ayat (1) ke-1 KUHP. Melakukan perkawinan-perkawinan siri harus dianggap perkawinan tersebut sah secara agama Islam dan apabila perkawinan-perkawainan siri tersebut dapat dibuktikan di Pengadilan maka putusan Pengadilan harus menganggap bahwa telah terjadi kawin ganda yang tidak dibenarkan dalam kehidupan prajurit TNI.
Ketentuan Pasal 45A Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004
Dalam hal Terdakwa didakwa dengan dakwaan alternatif yaitu dakwaan Pertama melanggar Pasal 281 ke-1 KUHP, atau Kedua melanggar Pasal 284 Ayat (1) ke-1 huruf a KUHP. Terhadap perkara tersebut dapat diajukan permohonan pemeriksaan kasasi meskipun Judex Facti menyatakan Terdakwa terbukti melanggar dakwaan Kedua Pasal 284 Ayat (1) ke-1 huruf a KUHP yang ancaman hukumannya paling lama 9 (sembilan) bulan. Karena dalam hal perkara in casu, ada kemungkinan Judex Facti salah dalam menerapkan hukum.
Kesusilaan
Seorang prajurit yang telah beristri melakukan perzinahan dengan seorang Kowad dan kemudian istri prajurit tersebut mengadukan prajurit kowad ke POM, dan kemudian oleh penyidik terhadap berkas perkara kowad dan prajurit tersebut telah diproses dalam berkas perkara secara terpisah. Berkas perkara Kowad telah disidangkan lebih dahulu dan dijatuhi pidana penjara dan pidana tambahan pemecatan, dan bila kemudian untuk berkas perkara prajurit disidangkan belakangan, namun kemudian oleh isterinya pengaduan tersebut telah dicabut, maka terhadap pencabutan pengaduan tersebut tidak menjadikan pemeriksaan perkara prajurit dihentikan. Pemeriksaan perkara tersebut harus dilanjutkan, mengingat perkara kowad telah diputus dalam pemeriksaan perkara tingkat Kasasi. Dalam hal ini pencabutan pengaduan tidak dapat dibenarkan, dan perkara prajurit tersebut harus dilanjutkan.
Komitmen Panglima TNI terhadap pelanggaran kesusilaan yang melibatkan Keluarga Besar TNI (KBT) yakni antara sesama prajurit TNI, dengan istri anggota TNI, dengan anak anggota TNI, yang tertulis dalam Surat Telegram Panglima TNI adalah menjatuhkan hukuman yang berat dengan pemecatan dari dinas militer. Surat Telegram tersebut merupakan kebijakan dalam pembinaan prajurit di kesatuan, bukan merupakan landasan hukum untuk menghukum Terdakwa atau sebagai pertimbangan untuk menjatuhkan pidana tambahan pemecatan di pengadilan. Oleh karenanya Terdakwa yang melakukan tindak pidana susila dengan Keluarga Besar TNI tidak serta merta harus dijatuhi pidana tambahan pemecatan tetapi dilihat semuanya secara kasuistis. [an]