Wacana Hakim Komisaris dibahas dalam Seminar Ulang Tahun IKAHI
Jakarta | Kepaniteraan.Online (30/3)
Pengurus Pusat Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) menggelar seminar bertajuk “Kedudukan Hakim Komisaris dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia”, Selasa (29/3), di Hotel Redtop Jakarta. Perhelatan yang terkait dengan perayaan ulang tahun organisasi IKAHI yang ke 58 ini dibuka secara resmi oleh Ketua MA, Dr. H. Harifin A. Tumpa. Tidak kurang dari 600 hakim dari empat lingkungan peradilan turut serta sebagai peserta dalam kegiatan seminar ini.
Ketua MA dalam pengarahannya sebagaimana dikutip laman resmi Mahkamah Agung, www.mahkamahagung.go.id (29/3) mengingatkan bahwa Hal yang terpenting dalam membuat suatu ketentuan (termasuk RUUKUHP, red) adalah bagaimana kepentingan masyarakat luas dapat terlindungi dan hak asasi manusia tidak dilanggar. Selain itu Ketua MA mengharap benturan antara penegak hukum harus dihindari karena dapat mengakibatkan saling menyalahkan antara satu dengan yang lainnya.
Tampil sebagai pembicara pada seminar sehari ini pakar hukum pidana yang juga ketua Tim Penyusun RUU-KUHP, Prof. Dr. Andi Hamzah, SH, Hakim Agung Prof. Dr. Komariah E. Sapardjadja, SH, Guru Besar UNPAD, Prof. Dr. Romli Atmasasmita, dan Advokat Prof. Dr. O.C. Kaligis.
Meningkatkan Perlindungan Hukum
Dari paparan para narasumber tergambar bahwa institusi hakim komisaris merupakan salah satu perubahan signifikan yang diusung oleh RUU-KUHAP (2009). Hakim Komisaris nantinya akan menggantikan peranan Ketua PN atau Hakim Praperadilan. Institusi ini diharapkan bisa lebih memberi perlindungan hukum atas HAM tersangka, terdakwa, dan terpidana dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Lembaga Praperadilan yang ada saat ini yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP terlalu sempit dan hanya mengutamakan keadilan prosedural serta pelaksanaannya tidak diindahkan oleh penegak hukum.
Istilah hakim komisaris itu sendiri, menurut Andi Hamzah, dipilih oleh Menteri Hukum dan Ham, Hamid Awaluddin. Dari perspektif konsep, Prof. Dr. Andi Hamzah, SH, dalam makalahnya yang berjudul “Hakim Komisaris dalam Rancangan KUHAP” membantah bahwa ide hakim komisaris adalah “tiruan”.
“Lembaga hakim komisaris versi RUU-KUHAP bukan tiruan dari institusi serupa yang berlaku di Nederland (rechter-commisaris), Prancis (juge d’instruction), Jerman (inschuhungsrichter), ataupun Prancis (juge d’instruction)”, ungkap pakar Hukum Pidana yang juga Ketua Tim Penyusun RUU-KUHAP.
Menurut Andi Hamzah, dari segi kewenangannya hakim komisaris versi RUU KUHP sama dengan kewenangan pra-peradilan sekarang. Meski secara ide sama namun terdapat perbedaan yang cukup substansial, yakni : pertama, hakim komisaris dilepaskan dari organisasi pengadilan negeri, kedua, hakim komisaris dapat proaktif menentukan suatu penghentian penyidikan, penangkapan, dan penggeledahan; ketiga, hakim komisaris berwenang memutus suatu perkara layak atau tidak untuk diajukan ke pengadilan, dan keempat, kantor hakim komisaris berada di dekat rumah tahanan.
Mengalihkan Persoalan
Sementara itu guru besar UNPAD, Prof. Dr. Romli Atmasasmita, dalam makalahnya mengkritisi pembentukan lembaga hakim komisaris. Menurutnya kewenangan hakim komisaris yang begitu luas bisa berdampak luas dan dapat menimbulkan konflik fungsional dan konflik kelembagaan di tingkat pelaksanaannya. Romli menilai keberadaan hakim komisaris hanya mengalihkan persoalan wewenang dan tanggung jawab penyidikan dan penuntutan yang selama ini menjadi wewenang penyidik dan penuntut umum kepada hakim.
“peralihan ini jika tanpa diimbangi dengan peningkatan integritas dan akuntabilitas serta keahlian hakim komisaris hanya akan menambah ketidakpercayaan masyarakat luas kepada sistem kekuasaan kehakiman”, ungkap guru besar hukum pidana UNPAD ini.
Menurut Romli penguatan lembaga Praperadilan dalam kurun waktu sepuluh tahun kedepan masih tetap relevan dan strategis untuk membenahi implementasi KUHAP.
Bukan Adopsi Praperadilan
Berbeda dengan Prof. Romli yang kurang menyetujui pembentukan hakim komisaris, pengacara senior Prof. Dr (iur). O.C. Kaligis, melalui makalahnya yang berjudul “Hakim Investigasi/Hakim Komisaris sebagai Perluasan dari Praperadilan” mendukung pembentukan hakim komisaris. Menurut OC. Kaligis, kehadiran hakim komisaris adalah urgent demi tegaknya keadilan yang berdasarkan equality before the law melalui fair trial untuk mencapai juctice for all.
Ia mengusulkan hakim komisaris tidak hanya mengadopsi lembaga praperadilan. “harus diperluas dengan diberi kewenangan untuk membuat putusan declaratoir dan condemnatoir terhadap sub sistem peradilan pidana yang telah menyalahgunakan kekuasaan secara kriminal”, ungkap OC. Kaligis
Perubahan besar
Sementara itu, Hakim Agung Prof. Dr. Komariah Emong Sapardjaja, SH mengingatkan berdasarkan studi implementasi hakim komisaris di Belanda, Perancis, dan Italia, akan menimbulkan perubahan besar. “oleh karena itu untuk Indonesia, tidak semudah untuk hanya menyisipkan satu bab tentang hakim komisaris, karena harus mengubah sistem peradilan pidana yang sekarang dianut”, tegas Prof. Komariah.
“Harus mengubah semua perundang-undangan yang berkaitan dengan hal ini, misalnya Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah Agung, Kepolisian, Kejaksaan, dll”, imbuhnya.
Selain itu, Prof. Komariah mengingatkan bahwa Indonesia tidak menganut polisi dan jaksa dalam satu atap.
Kapan KUHAP Baru Lahir
Berbicara mengenai kapan RUU-KUHAP berwujud menjadi KUHAP (baru), pakar hukum pidana yang juga ketua tim penyususn RUU-KUHAP mengutip ucapan Prof. Dr. Nico Keijer, “ Saya kesini dua puluh tahun yang lalu, anda sedang menyusun KUHP, lima belas tahun yang lalu anda sedang menyusun KUHP, sepuluh tahun yang lalu sedang menyusun KUHP, lima tahun yang lalu sedang menyusun KUHP, sekarang, anda seang menyusun KUHP, kapan KUHP anda selesai?”, ujarnya memberi ilustrasi. Semoga penantian akan lahirnya KUHAP/KUHP segera berakhir. (an)