BANYUWANGI | (26/07/2017) Ketua Mahkamah Agung, Prof. DR. M. Hatta Ali, SH, MH, membeberkan berbagai pengaduan yang ditujukan kepada aparatur peradilan. Informasi pengaduan tersebut berasal dari surat yang langsung ditujukan kepada Ketua MA maupun dari SIWAS Mahkamah Agung. Prilaku aparatur yang menjadi sumber aduan publik tersebut, secara garis besar dipicu oleh pelanggaran etik dan unprofessional conduct. Berkaitan dengan hal tersebut, Ketua MA mendorong kepada aparatur peradilan untuk terus-menerus meningkatkan kapasitas dan integritas.
Ketua MA menyampaikan hal tersebut dalam acara pembinaan teknis dan administrasi yudisial bagi jajaran pengadilan empat lingkungan peradilan se-wilayah hukum Provinsi Jawa Timur , Senin (24/7/2017) bertempat di Pendopo Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Selain Ketua MA, hadir pula Wakil Ketua MA Bidang Yudisial, Ketua Kamar Pidana, Ketua Kamar Perdata, Ketua Kamar Agama, Ketua Kamar Militer, Ketua Kamar Pembinaan , Ketua Kamar Pengawasan, beberapa hakim agung, Hakim Ad Hoc MA, Panitera MA, pejabat eselon I, pejabat eselon II, Panmud dan beberapa hakim yustisial MA.
Para pimpinan MA menyampaikan materi pembinaan yang terkait dengan kewenangannya masing-masing. Sementara Panitera MA dan pejabat eselon I dijadwalkan menyampaikan pembinaan di waktu terpisah pada hari Selasa (24/7/2017 di tempat yang sama. Mereka yang menjadi peserta pembinaan adalah para Ketua, Wakil Ketua, Hakim, Hakim Ad Hoc, Panitera dan Sekretaris pengadilan tingkat banding dan tingkat pertama empat lingkungan peradilan se-wilayah hukum provinsi Jawa Timur.
Update Kebijakan MA
Ketua MA mencontohkan beberapa prilaku penyimpang aparatur peradilan yang terkait pelanggaran kode etik/prilaku, diantaranya : bertemu pihak berperkara, menerima gratifikasi, meminta THR, meminta biaya salinan putusan melebihi ketentuan, menghilangkan berkas, dan lain-lain.
Mengenai hal tersebut, Mahkamah Agung telah mengeluarkan berbagai produk peraturan untuk mencegah prilaku “menyimpang” aparatur peradilan..
“MA menerbitkan SEMA No 3 Tahun 2010 untuk mencegah hakim /aparatur peradilan menerima tamu pihak berperkara MA telah”, jelas Ketua MA memberikan contoh
MA juga melarang pejabat pengadilan untuk menerima pemberian parsel dengan penerbitan SEMA Nomor 2 Tahun 2013 . Sebelumnya MA juga telah menerbitkan larangan serupa dengan SEMA Nomor 9 Tahun 2010.
Ketua MA menduga salah satu penyebab adanya prilaku aparatur peradilan yang tidak sesuai norma yang digariskan adalah karena mereka tidak pernah membaca kebijakan-kebijakan Mahkamah Agung., seperti SEMA, PERMA, SK KMA dan lain-lain.
“Semua kebijakan MA kini sangat mudah diakses karena telah tersedia versi elektroniknya di website. Aparatur peradilan wajib mengetahui dan memahami seluruh kebijakan MA”, ungkap Ketua MA.
Urgensi aparatur peradilan khususnya hakim untuk memahami produk kebijakan MA adalah untuk menghindari kekeliruan penerapan hukum acara yang bisa dikategorikan unprofessional conduct. Dalam paparan Ketua MA, disebutkan beberapa prilaku hakim/aparatur peradilan yang menunjukkan hal ini. seperti eksekusi yang tidak didahului oleh proses aanmaning, berita acara tidak tepat memuat peristiwa hukum, keterangan ahli tidak dipertimbangkan dalam putusan, Tidak membuat Berita Acara Penyerahan Obyek Sengketa kepada Para Pihak sehingga pihak mengalami kesulitan pengurusan balik nama di BPN, dan lain-lain.
Wakil Ketua MA Bidang Yudisial, Dr. H. M. Syarifuddin, SH, MH, memperkuat yang disampaikan Ketua MA terkait kewajiban mengupdate produk kebijakan MA.
“Setiap akhir tahun MA selalu mengadakan rapat pleno kamar yang menghasilkan rumusan hukum. Banyak rumusan hukum yang merupakan petunjuk MA terhadap problematika hukum kontemporer. Rumusan hukum ini kemudian diberlakukan oleh SEMA “, jelas Wakil Ketua MA Bidang Yudisial.
“Seluruh hakim wajib membaca SEMA rumusan hukum pleno kamar “, pungkasnya.