Kewenangan “original” Mahkamah Agung adalah mengadili permohonan kasasi, sengketa kewenangan mengadili, permohonan peninjauan kembali, dan menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Semua perkara yang menjadi kewenangan MA tersebut, kecuali permohonan hak uji meteriil (HUM), telah melewati pemeriksaan pada pengadilan tingkat pertama dan/atau pengadilan tingkat banding. Dalam perkembangannya, beberapa UU memberikan kewenangan “tambahan” kepada MA untuk mengadili perkara tertentu sebagai peradilan tingkat pertama dan terakhir. Perkara-perkara tersebut adalah sebagai berikut:
1. Sengketa Pelanggaran Administrasi Pemilihan Kepala Daerah (PAP)
Perkara PAP merupakan upaya hukum yang ditempuh dari pasangan calon kepala daerah yang terkena sanksi administrasi berupa pembatalan pencalonanya oleh Komisi Pemilihan Umum Provinsi atau Kabupaten. Perkara PAP diadili oleh Kamar Tata Usaha Negara dan secara administrasi diregister oleh Kepaniteraan Muda Tata Usaha Negara Mahkamah Agung dengan kode registrasi XX P/PAP/TAHUN (misalnya: 03 P/PAP/2017)
Dasar kewenangan MA mengadili perkara PAP adalah Pasal 135A ayat (7) UU Nomor 10 Tahun 2016. Putusan MA dalam perkara PAP bersifat final dan mengikat. Hukum acara tentang penyelesaian sengketa administrasi pemilihan telah diatur dalam Perma 11 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Tata Usaha Negara Pemilihan dan Sengketa Administrasi Pemilihan.
Pemohon dalam sengketa pelanggaran administrasi pemilihan adalah pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati atau Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota yang terkena sanksi administrasi dari KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU Kabupaten/Kota atau KIP Kabupaten/Kota tentang pembatalan sebagai pasangan calon. Sedangkan Termohon merupakan KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU Kabupaten/Kota atau KIP Kabupaten/Kota yang menerbitkan Keputusan tentang pembatalan pasangan calon peserta pemilihan
Permohonan diajukan langsung kepada Ketua MA melalui Direktur Pranata dan Tatalaksana Perkara Tata Usaha Negara untuk dilakukan penelaahan berkas. Setelah berkas dinyatakan lengkap, maka pemohon diwajibkan untuk membayar biaya permohonan. Selanjutnya berkas diserahkan kepada Panitera Muda Perkara Tata Usaha Negara MA.
Panitera Muda Perkara Tata Usaha Negara Mahkamah Agung mengirimkan surat permohonan kepada termohon untuk diberikan kesempatan mengajukan jawaban dengan melampirkan alat bukti.
Termohon wajib mengirim jawaban kepada Panitera Muda Perkara Tata Usaha Negara Mahkamah Agung, paling lambat 3 (tiga) hari sejak dikirim surat permohonan. Panitera Muda Perkara Tata Usaha Negara Mahkamah Agung menyerahkan berkas perkara kepada Ketua Mahkamah Agung, paling lambat 1 (satu) hari setelah diterima jawaban termohon.
Ketua Mahkamah Agung meneruskan berkas tersebut kepada Ketua Kamar Tata Usaha Negara pada hari itu juga untuk menetapkan majelis hakim yang akan menyidangkan perkara tersebut. Majelis hakim yang ditunjuk, memutus paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak permohonan diterima oleh Direktur Pranata dan Tatalaksana Perkara TUN.
2. Permohonan Uji Pendapat Keputusan DPRD tentang Pemberhentian Kepala Daerah
Mahkamah Agung berdasarkan ketentuan Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah diberi kewenangan untuk memeriksa, mengadili, memutus perkara uji pendapat DPRD atas keputusannya memberhentikan kepala daerah karena keadaan sebagaimana ketentuan Pasal 78 ayat (2) huruf c, d, e, dan f UU No 23 Tahun 2014. Mahkamah Agung menyebut perkara ini dengan permohonan uji pendapat.
Perkara permohonan uji pendapat diadili oleh Kamar Tata Usaha Negara dan secara administratif diregister oleh Kepaniteraan Muda Tata Usaha Negara Mahkamah Agung dengan kode registrasi XX P/KHS/TAHUN (misalnya: 03 P/KHS/2017).
Mahkamah Agung memeriksa, mengadili, dan memutus perkara uji pendapat tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) Hari setelah permintaan DPRD diterima Mahkamah Agung. Putusan Mahkamah Agung dalam perkara tersebut bersifat final
Apabila Mahkamah Agung memutuskan bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah terbukti melakukan perbuatan yang dapat menjadi alasan pemberhentian sebagaimana ketentuan Pasal 78 ayat (2) huruf c, d, e, dan f UU No 23 Tahun 2014, pimpinan DPRD menyampaikan usul kepada Presiden untuk pemberhentian gubernur dan/atau wakil gubernur dan kepada Menteri untuk pemberhentian bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota [an]