Selamat Datang di Situs Web Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia

 

JAKARTA | (14/12/2017) - Mahkamah Agung  telah menetapkan Visi “terwujudnya badan peradilan Indonesia yang agung”, pada tahn 2035. Visi tersebut ditetapkan pada tahun 2010, tertuang dalam dokumen Cetak Biru Pembaruan Peradilan. Sejak penetapan visi tersebut, MA tidak pernah berhenti  memperbaiki pengadilan Indonesia.  Upaya perbaikan yang tiada henti tersebut itu menyasar area  kemandirian badan peradilan, pelayanan hukum yang berkeadilan, kualitas kepemimpinan,  dan peningkatkan kredibilitas dan transparansi badan peradilan.

Demikian disampaikan oleh Wakil Ketua Mahkamah Agung  Bidang Yudisial, Dr. H.M. Syarifuddin, S.H., M.H pada saat membuka acara Pembinaan dan Pengawasan Bidang Teknis dan Administrasi Yudisial yang diselenggarakan pada tanggal 12 Desember 2017 di Jakarta. Kegiatan tersebut diikuti oleh 368 orang yang terdiri dari  Pimpinan dan hakim pada  Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, dan pengadilan negeri se Jakarta yang  jumlahnya mencapai  248 orang, serta  para panitera muda perkara dan hakim yustisial Mahkamah Agung yang berjumlah  120 orang. Sejumlah nara sumber dihadirkan dalam kegiatan tersebut,  yaitu Ketua  Kamar Pembinaan MA, Ketua Kamar Pengawasan MA, dan  Mantan Wakil Ketua Mahkamah Agung, ibu Mariana Sutadi.

 

Dalam pengarahannya, Wakil Ketua MA  Bidang Yudisial, memaparkan  sejumlah  fakta yang membuktikan bahwa MA tidak pernah berhenti melakukan upaya untuk menjadikan pengadilan Indonesia lebih baik.

Penanganan Perkara Lebih Cepat dan Transparan

Salah satu  kebijakan yang dilakukan MA untuk memperbaiki sistem penanganan perkara di MA adalah penerapan sistem kamar pada tahun 2011 dan sistem pembacaan berkas serentak pada tahun 2013. Kombinasi sistem kamar dengan sistem pembacaan berkas serentak, menurut Waka MA Bidang Yudisial, berhasil meningkatkan produktifitas penyelesaian perkara.

“Di tahun 2012 (sebelum pembacaan berkas serentak diberlakukan, red)  tunggakan perkara MA berjumlah10.112. di tahun 2013 berkurang menjadi jadi 6.415, tahun 2014 berkurang menjadi 4425, tahun 2015  berkurang lagi menjadi 3.950, dan pada tahun 2016 sisa perkara berjumlah 2.357 perkara”, jelas Wakil Ketua MA Bidang Yudisial.

Wakil Ketua MA menggambarkan bagaimana sistem penanganan perkara sebelumnya, diperlakukan sistem kamar dan pembacaan serentak,   yang disinyalir kurang kondusif terhadap percepatan penanganan perkara.

Sebelum sistem kamar dan hakim baca berkas giliran. Kapan berkas mau dibaca, ya terserah hakimnya. Setelah yang satu baca, lalu dikasih ke yang kedua lalu ke yang ketiga. Kapan diputus ya terserah. Tapi dengan sistem kamar dan pembacaan serentak, tidak begitu. Sama modelnya dengan tingkat pertama. Begitu  perkara masuk, Ketua Majelis  menetapkan hari musyawarah dan ucapan.  SK KMA menetapkan paling lama tiga bulan harus dilakukan muscap, namun ternyata banyak perkara yang dua minggu kemudian sudah disidangkan”, jelas  H.M. Syarifuddin.  

Dalam pembacaan serentak, masing-masing hakim agung diberikan akses  terhadap dokumen elektronik berkas perkara melalui aplikasi SIAP. Namun bagi yang belum terbiasa dengan dokumen elektronik Kepaniteraan menyediakan  hardcopy yang dicetak dari aplikasi. Setiap hakim agung yang menjadi anggota majelis harus sudah memberikan pendapat sebelum sidang musyawarah/ucapan dilaksanakan.

Aspek keterbukaan proses penanganan perkara pun kini menjadi lebih baik. Menurut Waka MA Bidang Yudisial,  paling lama 1 x 24 jam dari perkara diputus, sudah terpublikasikan amar singkatnya di website. 

“Pihak berperkara tidak perlu mencari-cari informasi perkara melalui pegawai Mahkamah Agung, dia bisa langsung mendapatkan informasi di telpon genggamnya”, jelasnya.

Salinan putusan lengkap, kata M. Syarifuddin, akan dipublikasikan  di Direktori Putusan ketika berkas dikirim ke pengadilan pengaju. Publik dapat mengunduhnya secara gratis dari website tersebut.

Perbaikan sistem penanganan perkara juga terjadi pada pengadilan tingkat pertama dan banding. Seluruh pengadilan di Indonesia telah menggunakan sistem informasi panganan perkara yang disebut dengan SIPP.

SIPP, kata Waka MA, telah berkali-kali diupdate untuk menyesuaikan dengan kebutuhan penanganan perkara. Terakhir telah dirilis versi 3.2.0 oleh Ketua MA di Makassar beberapa minggu yang lalu.  Salah satu fitur dalam SIPP rilis terakhir adalah terintegrasi dengan SIAP MA dan Direktori Putusan.

Menurut Waka MA, keberadaan SIPP bukan saja memudahkan pengadilan, tapi juga memberikan kemudahan  kepada publik untuk mengakses informasi penanganan perkara di pengadilan.

Tata Kelola Pengadilan Lebih Baik

Dikatakan  Wakil Ketua MA Bidang Yudisial, sejak  5 tahun terakhir banyak kemajuan yang sudah dicapai dalam tata kelola pengadilan.

Pada tahun 2012,  untuk pertama kalinya MA  mendapat opini WTP dari BPK.

Saya tidak menduga kita bisa WTP, karena sejak 2008 saya adalah Kepala Badan Pengawasan. Saya tahu betul bagaimana laporan keuangan di tahun-tahunsebelumnya. Jangankan mendapatkandinilai, untuk dinilai pun tidak bisa. Ada barang milik negara yang terdaftar di MA,  juga terdaptar di satuan kerja. Belum lagi ketika itu,  kita ada peninggalan dua  atap dengan Departemen. Begitulah semrawutnya BMN kita. Tapi ternyata dengan kerja keras kita semua, opini BPK merangkak naik,  dari disclaimer menjadi WTP”,  papar  Waka MA Bidang Yudisial.

Opini WTP yang diperoleh  MA pada tahun 2012, secara terus-menerus dapat dipertahankan di tahun 2013, 2014, 2015, 2016.  Atas prestasi lima tahun berturut-turut  meraih WTP, MA mendapatkan penghargaan  dari BPK yang disampaikan oleh Presiden RI.

Pada tahun 2017, MA mendapatkan penghargaan dari Kementerian Keuangan RI,  sebagai juara I Kategori Kepatuhan Pelaporan Barang Milik Negara untuk jumlah satker lebih dari 100.

Untuk meningkatkan pelayanan pengadilan, kini telah diterapkan Akreditasi Penjaminan Mutu Peradilan. Semula sistem akreditasi ini hanya diberlakukan oleh lingkungan peradilan umum, namun kini sistem tersebut telah digunakan oleh empat lingkungan peradilan.

Meskipun banyak prestasi yang ditorehkan oleh lembaga peradilan Indonesia, namun jarang sekali hal tersebut diungkap ke publik oleh Media. Publik lebih banyak disuguhkan oleh sisi “kekurangan” pengadilan.  Media lebih suka mem-blow up berita hakim selingkuh daripada kemampuan MA mengikis sisa perkara hingga di bawah 3000. [an]