JAKARTA (02/01/2018) - Mahkamah Agung dan BNI Syariah melakukan penandatanganan Perjanjian Kerjasama (PKS) Penggunaan Layanan BNI e-collection untuk Pembayaran Biaya Perkara Kasasi, Peninjauan Kembali dan Hak Uji Materiil, Jum’at (28/12/2017), bertempat di Ruang Mujono Gedung Mahkamah Agung, Jakarta. Pejabat yang menandatangani PKS dari pihak Mahkamah Agung diwakili oleh Panitera MA, Made Rawa Aryawan, sedangkan dari pihak BNI Syari’ah diwakili oleh Direktur Bisnis, Dhias Widhiyati. Acara penandatanganan tersebut dihadiri pula oleh Sekretaris Kepaniteraan MA, Para Panitera Muda Perkara, Pejabat Struktural Kepaniteraan MA dan para pejabat BNI Syariah.
Panitera MA dalam sambutannya menyampaikan bahwa perjanjian kerjasama penggunaan layanan BNI e-Collection merupakan upaya untuk modernisasi penyetoran biaya perkara Mahkamah Agung. Modernisasi sistem penyetoran biaya perkara merupakan pengejawantahan salah satu fungsi Kepaniteraan MA yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2005, yaitu “koordinasi urusan keuangan perkara di lingkungan Mahkamah Agung”.
Dikatakan Made Rawa Aryawan, ide modernisasi penyetoran biaya perkara menggunakan virtual account didasarkan pada hasil evaluasi sistem transfer yang tidak memberikan informasi real time mengenai penyetor biaya perkara.
Berdasarkan base line data perkara tahun 2016, MA menerima perkara kasasi perdata umum, perdata khusus, perdata agama dan TUN sebanyak 6339 perkara. Sedangkan perkara peninjauan kembali sebanyak 3114 perkara. Biaya perkara kasasi ditetapkan oleh MA sebesar Rp500.000, kecuali untuk perkara niaga sebesar Rp5.000.000. Biaya perkara PK ditetapkan Rp2.500.000 kecuali perkara niaga sebesar Rp.10.000.000.
“Dengan keadaan tersebut, biaya perkara yang disetor oleh pengadilan tingkat pertama ke MA per tahunnya tidak kurang dari 13 Milyar. Namun, Kepaniteraan Mahkamah Agung tidak dapat mengetahui secara real time asal-usul uang yang disetor tersebut, dari perkara nomor berapa, siapa pemohon kasasinya dan dari pengadilan mana”, kata Panitera MA.
Hal tersebut menurut Panitera MA dikarenakan sistem penyetoran biaya perkara yang dilakukan dengan cara transfer ke rekening penampung, kelengkapan informasi penyetor (nama, nomor perkara, nama pengadilan) terkait dengan upaya hukum tidak menjadi keharusan dalam transaksi tersebut. Selain itu, penyetoran biaya dilakukan mendahului pengiriman berkas, sehingga uang sudah diterima di rekening, namun berkas perkara baru satu atau dua bulan kemudian diterima di MA.
“Akibatnya, uang dalam rekening penampung tercampur antara uang yang perkaranya belum didaftar, uang yang perkaranya sedang dalam proses pemeriksaan, dan uang yang perkaranya sudah selesai”, ujar Panitera MA.
Keadaan demikian mendorong Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan rekomendasi kepada Panitera Mahkamah Agung untuk mencari solusi atas persoalan tersebut. Rekomendasi BPK tersebut kemudian dipertegas oleh perintah Ketua Mahkamah Agung Nomor 23.a/KMA/HK.01/IV/2015 tanggal 15 April 2015.
Untuk menindaklanjuti rekomendasi BPK dan Perintah Ketua MA tersebut, Panitera Mahkamah Agung menerbitkan surat nomor 1393/PAN/OT.00/9/2015, kemudian dipertegas lagi dengan surat nomor 1661/PAN/OT.00/9/2016 tanggal 20 September 2016 yang ditujukan kepada seluruh pengadilan tingkat pertama. Kedua surat tersebut pada pokoknya meminta agar pengadilan tingkat pertama mengirimkan copy bukti setor biaya perkara dilengkapi dengan informasi nomor perkara pengadilan tingkat pertama dan banding serta nama pihak berperkara paling lama 1 x 24 Jam dari waktu transaksi melalui e-mail
Namun setelah dikeluarkannya kebijakan ini, Kepaniteraan Mahkamah Agung tetap belum bisa melakukan apa yang menjadi rekomendasi dari BPK tersebut. Hal ini karena kepatuhan pengadilan terhadap surat Panitera tersebut sangat rendah dan rekapitulasi atas informasi setoran biaya perkara tersebut dilakukan secara manual dan masih perlu melakukan rekonsiliasi dengan data rekening koran di Bank.
Inspirasi dari e-Commerce
Dalam rangkaian diskusi untuk mencari solusi atas persoalan penyetoran biaya perkara, muncul inspirasi pemanfaatan rekening virtual yang biasa digunakan dalam transaksi e-commerce, belanja online.
Kondisi penyetoran biaya perkara mirip dengan proses transaksi e-commerce. “Pelanggan” Kepaniteraan MA tidak kurang dari 14.000 yang tersebar di 850 satuan kerja pengadilan tingkat pertama di seluruh Indonesia. Setengah dari jumlah tersebut adalah perkara rumpun perdata sehingga wajib menyetor biaya perkara ke rekening penampung.
“Kami butuh informasi pelanggan yaitu pihak berperkara secara real time ketika uang diterima di rekening penampung, tanpa harus menunggu berkas diterima”, tegas Panitera MA.
Setelah berdiskusi dengan Tim BNI Syariah, akhirnya layanan BNI e-Collection dapat menjadi solusi untuk penggunaan rekening virtual dalam pembayaran biaya perkara kasasi dan peninjauan kembali. Dalam waktu yang sangat singkat, kolaborasi Tim IT Kepaniteraan MA dan Tim IT BNI Syariah berhasil menciptakan komunikasi data antara Sistem Informasi Perkara MA dan Sistem BNI e-Collection.
Virtual Account Sudah Berjalan sejak Akhir Agustus 2017
Untuk menguji coba sistem, Kepaniteraan MA telah menerbitkan surat bernomor 2167/PAN/KU.00/8/2017 tanggal 23 Agustus 2017 yang ditujukan kepada seluruh ketua pengadilan tingkat banding dan ketua pengadilan tingkat pertama se-Indonesia, termasuk ketua pengadilan pajak yang pada pokoknya meminta agar penyetoran biaya perkara dilakukan menggunakan rekening virtual. Rekening virtual itu sendiri diproduksi oleh Aplikasi Direktori Putusan, sebuah aplikasi yang sudah sangat familier di kalangan pengadilan.
Respon pengadilan terhadap penggunaan rekening virtual ini sangat positif. Hingga sore kemarin, untuk lingkungan peradilan umum telah ada 58 pengadilan negeri yang menggunakan dengan jumlah transaksi (upaya hukum) sebanyak 207 kali. Lingkungan peradilan agama, telah ada 47 pengadilan agama dengan 70 transaksi, dan lingkungan peradilan tata usaha negara telah ada 14 PTUN dengan 55 transaksi upaya hukum.
Respon pengadilan yang positif atas pemanfaatan rekening virtual, padahal belum dilakukan sosialisasi, menunjukan bahwa sistem ini mudah digunakan dan dari perspektif lain menjadi bukti bahwa modernisasi manajemen perkara telah menjadi jiwa dari pembaruan peradilan Indonesia.
Tanggapan Positif dari BPK
Kepaniteraan MA juga meminta tanggapan kepada BPK atas pemanfaatan rekening virtual ini. BPK RI telah memberikan dukungan tertulis atas penggunaan rekening virtual dalam suratnya tertanggal 419/S/XVI/11/2017 tanggal 20 November 2017. BPK menilai pemanfaatan rekening virtual sejalan dengan hasil pemeriksaan BPK untuk dapat meningkatkan ketertiban, transparansi dan akuntabilitas atas penatausahaan biaya perkara di Mahkamah Agung.
Panitera MA dalam penutup sambutannya mengharapkan sistem pembayaran biaya perkara menggunakan virtual account dapat diikuti oleh pengadilan tingkat pertama dan banding.
“Sejalan dengan cetak biru pembaruan peradilan Indonesia, pembayaran biaya perkara secara elektronik (e-payment) berbasis rekening virtual ini dapat direplikasi oleh pengadilan tingkat pertama dan banding”, pungkas Panitera MA. [an]