Selamat Datang di Situs Web Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia

 

JAKARTA | (21/02/2018) Ketua Mahkamah Agung M. Hatta Ali dan Menteri Luar Negeri Retno L.P Marsudi  menandatangani Nota Kesepahaman Penanganan Permintaan Bantuan Teknis Hukum Dalam Masalah Perdata, Selasa (20/02/2018) di Ruang Kusumah Atmadja, gedung MA, Jakarta.  Selain Nota Kesepahaman, pada acara tersebut ditandatangani pula beberapa dokumen turunannya yakni satu surat keputusan bersama dan tiga perjanjian kerjasama. Acara penandatanganan dihadiri oleh  Wakil Ketua MA Bidang Yudisial, para Ketua Kamar MA, Wakil Menteri Luar Negeri, para Pejabat Eselon I dan II Mahkamah Agung dan Kementerian Luar Negeri, dan  para Ketua/ Panitera Pengadilan tingkat pertama dan banding se Jabodetabek.

Prosesi penandatanganan diawali oleh laporan Dirjen Hukum dan Perjanjian Internasional Kemlu, Damos Dumoli Agusman yang dilanjutkan dengan sambutan  Menteri Luar Negeri.  Dalam sambutannya, Menteri Luar Negeri sekaligus melakukan launching situs web Rogatori Online Monitoring (ROM) versi 2018. Simbolisasi peluncuran ROM dilakukan dengan pemutaran video teaser tentang website ROM.  

 

Ketua Mahkamah Agung menyampaikan sambutan sebelum dilakukan penandatanganan MoU. Ketua MA menyampaikan pentingnya keberadaan nota kesepahaman ini  dalam penyelenggaraan peradilan perdata di Indonesia.   

“Kita belum memiliki regulasi nasional  yang mengatur  penyampaian bantuan teknis hukum lintas yurisdiksi negara dalam bidang perdata baik penyampaian dokumen pengadilan maupun surat rogatory, sehingga keberadaan Nota Kesepahaman ini sangat penting”, kata Ketua MA. 

Dalam proses ini, lanjut Ketua MA,  Kementerian Luar Negeri memiliki peran yang sangat strategis, karena berdasarkan Konvensi Wina Tahun 1963, penyampaian  dokumen pengadilan dan surat rogatory menjadi  salah satu tugas kekonsuleran.  Hal ini karena Indonesia bukan menjadi  pihak dalam 3 Konvensi Internasional yang mengatur penyampaian dokumen dan surat rogatory  antar pengadilan lintas yurisdiksi negara yaitu: Hague Convention Abolishing the Requirement of Legalisation for foreign Public Documents (1961), Hague Service Convention  (1965); dan  Hague Evidence Convention (1970).         

Menurut Ketua MA, peradilan harus dilaksanakan dengan azas  Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan.  Pengadilan juga harus aktif membantu pencari keadilan  dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan  untuk dapat  tercapainya  peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Dalam konteks tersebut,  keberadaan Nota Kesepahaman  Penanganan Permintaan Bantuan Teknis Hukum dalam Masalah Perdata Lintas Yurisdiksi Negara adalah bagian dari upaya mewujudkan azas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan.

Nota Kesepahaman Tahun 2018 yang ditandatangani Ketua MA dan Menteri Luar Negeri adalah perpanjangan dari Nota Kesepahaman tanggal 19 Februari 2013. Berbeda dengan nota kesepahaman sebelumnya,  pada nota kesepahaman tahun 2018  Ketua MA dan Menteri Luar Negeri menandatangani pula 4 dokumen turunannya, yaitu:

1.      Keputusan Bersama tentang Pembentukan  Tim Penanganan Permintaan  Bantuan Teknis Hukum dalam Masalah Perdata;

2.      Perjanjian Kerjasama antara MA dan Kemlu tentang Mekanisme Pengiriman Surat Rogatori dan Penyampaian Dokumen Peradilan dalam Masalah Perdata;

3.      Perjanjian Kerjasama antara MA dan Kemlu tentang Standardisasi Surat Rogatori dan Surat Penyampaian Dokumen Peradilan dalam Masalah Perdata;

4.      Perjanjian Kerjasama antara MA dan Kemlu tentang Standardisasi Surat Rogatori dan Surat Penyampaian Dokumen Peradilan dalam Masalah Perdata;

5.      Perjanjian Kerjasama antara MA dan Kemlu tentang Pendidikan dan Pelatihan Penanganan Permintaan Bantuan Teknis Hukum dalam Masalah Perdata.   

 3 Substansi Perubahan

Ketua Mahamah Agung dalam pidatonya mengingatkan  kepada jajaran pengadilan di Indonesia agar memperhatikan segala ketentuan baru yang diatur dalam Nota Kesepahaman ini, terutama hal-hal sebagai berikut.

1.      Perubahan Alur Penyampaian Surat.

Dalam praktik sebelumnya, pengadilan menyampaikan surat bantuan panggilan luar negeri  ditujukan  ke Kementerian Luar Negeri. Dalam “MoU  Baru“,  prosedur tersebut diubah. Surat harus dikirim  oleh pengadilan  kepada Panitera Mahkamah Agung.  Tim Kepaniteraan Mahkamah Agung akan melakukan  pemeriksaan kelengkapan dokumen dan persyaratan. Dokumen yang tidak memenuhi syarat, misalnya tidak disertai terjemahan bahasa Inggris, maka berkas tersebut akan dikembalikan.

2.      Diberlakukan Standarisasi Dokumen

Untuk menyampaikan panggilan/pemberitahuan ke luar negeri, Pengadilan wajib  menggunakan format dokumen yang telah ditentukan yang diadopsi dari praktik internasional dan menjadi lampiran dari MoU ini.

3.      Biaya ditanggung oleh Pihak Berperkara

Dalam praktik sebelumnya, pihak berperkara hanya membiayai pengiriman dokumen dari pengadilan ke Kantor Kementerian Luar Negeri di Jakarta.  Dalam MoU yang baru, pembiayaan merujuk kepada prinsip pembiayaan perkara perdata, yang dibebankan kepada pihak berperkara tanpa  “bantuan” uang negara. Oleh karena itu pihak berperkara akan menanggung seluruh  biaya  proses pengiriman dokumen dari  pengadilan tingkat pertama  sampai dengan alamat pihak di luar Negeri dan kembalinya dokumen tersebut dari Luar Negeri  ke pengadilan di Indonesia.

Menjadi Mata Ajar Diklat

Disampaikan Ketua MA bahwa kelancaran penanganan bantuan teknis hukum dalam masalah perdata, khususnya penyampaian dokumen pengadilan dari pengadilan Indonesia kepada pihak yang berada di luar negeri, salah satunya bergantung pada terpenuhinya semua persyaratan yang telah ditetapkan dalam Nota Kesepahaman. 

“Oleh karena itu, Mahkamah Agung  akan menjadikan materi yang terkait dengan penyampaian dokumen pengadilan dan surat rogatory  sebagai mata ajar dalam program pendidikan dan pelatihan di Pusdiklat MA” pungkas Ketua MA.

Kegiatan seremoni penandatanganan Nota Kesepahaman diakhiri dengan joint press statement antara Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Luar Negeri[an]