Banjarmasin | (30/8) - Ketua MA mengingatkan hakim dan aparatur peradilan untuk menjaga integritas. Salah satunya dengan menjauhkan diri dari perbuatan tercela. Selain itu, Ketua MA mengingatkan aparaturnya mengenai 6 persoalan teknis yudisial, yaitu praperadilan, perhitungan nilai keuangan negara, upaya hukum kasasi dan PK secara elektronik, panggilan/pemberitahuan menggunakan surat tercatat, aplikasi baru Mahkamah Agung, dan penguatan sistem pengawasan.
Hal tersebut disampaikannya saat mengawali pembinaan teknis dan administrasi judisial di Banjarmasin, Senin (28/8). Setelah pengarahan oleh Ketua MA, seluruh jajaran pimpinan MA lainnya, Wakil Ketua MA Bidang Yudisial dan para Ketua Kamar, menyampaikan pembinaan dengan materi yang sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing.
Mengenai 6 persoalan yang menjadi perhatian Ketua MA, hal tersebut selain karena adanya inkonsistensi dalam praktik, beberapa lainnya merupakan hal baru. Oleh karena itu, hakim dan aparatur peradilan diminta untuk memperhatikan aturan dan petunjuk yang telah digariskan oleh Mahkamah Agung, diantaranya adalah rumusan kamar.
Praperadilan
Ketua MA menyampaikan bahwa lembaga praperadilan saat ini banyak mengalami perkembangan, khususnya sejak terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang telah memperluas kewenangan praperadilan. Dengan adanya dinamika hukum terkait praperadilan, Ketua MA mengingatkan para hakim di lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Syar ’iyah yang juga memiliki kewenangan mengadili perkara praperadilan agar tidak keluar dari batasan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
“agar konsisten pada batas-batas kewenangan yang telah ditentukan oleh undang- undang, supaya kepastian hukum tetap dapat terjaga dengan baik, tanpa mengurangi kebebasan para hakim untuk berkreasi dan menuangkan pemikirannya dalam setiap penyelesaian suatu perkara”, tegas Ketua MA.
Menurut Ketua MA, lembaga praperadilan saat ini menjadi tumpuan bagi para pencari keadilan untuk memperjuangkan haknya atas tindakan pro justitia dalam proses penegakan hukum pidana. Oleh karena itu, Ketua MA mengingatkan hakim yang mengadili pra peradilan untuk menjaga konsistensi pada ruang lingkup kewenangan pra peradilan.
“Agar tidak menimbulkan disparitas dan perlakuan yang berbeda antara satu perkara praperadilan dengan perkara praperadilan yang lain, maka para hakim harus tetap menjaga konsistensi pada ruang lingkup kewenangan pemeriksaan praperadilan yang telah digariskan dalam undang-undang dan Putusan Mahkamah Konstitusi”, jelas Ketua MA.
Ketua MA berpesan agar para hakim harus memahami dan mencermati berbagai ketentuan yang mengatur tentang praperadilan. Selain itu, para hakim juga harus membaca putusan-putusan yang pernah dijatuhkan sebelumnyaa. Hal ini, kata Ketua MA, agar hakim memiliki referensi dalam mengadili perkara yang serupa sehingga tercipta konsistensi dan kesatuan penerapan hukum.
“semakin banyak perbedaan sikap dan pendirian dari pengadilan terhadap suatu perkara yang sama akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para pencari keadilan”, ujar Ketua MA.
“Setiap hakim memiliki kebebasan untuk memutuskan perkara sesuai dengan keyakinannya, namun jangan sampai putusan yang kita jatuhkan dapat menimbulkan kebingungan bagi masyarakat dan para pencari keadilan akibat mengandung inkonsistensi serta melanggar hukum acara yang berlaku”, imbuh Ketua MA.
Perhitungan Nilai Kerugian Negara
Ketua MA membaca adanya inkonsistensi dalam penanganan perkara yang memerlukan adanya perhitungan nilai kerugian negara pada perkara Tipikor. Ada beberapa putusan yang berbeda satu sama lainnya dalam menyikapi keberadaan lembaga yang melakukan perhitungan kerugian negara.
Perbedaan pandangan tersebut dipicu pemahaman yang kurang utuh yang mempertentangkan SEMA Nomor 4 Tahun 2016 dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/ PUU-X/2012.
SEMA Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, pada Poin 6 Rumusan Kamar Pidana menyebutkan, sebagai berikut
“Instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan Negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan/Inspektorat/ Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan Negara namun tidak berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan negara. Dalam hal tertentu Hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian Negara dan besarnya kerugian Negara.”
Menurut Ketua MA, rumusan SEMA tersebut seakan bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/ PUU-X/2012, yang memberikan kewenangan kepada BPKP untuk melakukan perhitungan kerugian negara. Namun, jika para hakim mencermati secara utuh bunyi rumusan poin 6 dalam SEMA Nomor 4 tahun 2016 tersebut maka tidak akan terjadi pertentangan.
“Hal ini karena dalam kalimat terakhir pada poin 6 tersebut disebutkan “Dalam hal tertentu Hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian Negara dan besarnya kerugian Negara.” Artinya, hakim tetap dapat menentukan ada atau tidaknya kerugian negara berdasarkan fakta di persidangan sekalipun perhitungan kerugian negara tersebut tidak dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)”, jelas Ketua MA
Menurut Ketua MA pada tingkat kasasi maupun PK sudah banyak putusan Mahkamah Agung yang mengakomodir kerugian negara yang perhitungannya dilakukan oleh BPKP atau lembaga lain yang diberikan wewenang oleh peraturan perundang-undangan.
Ketua MA meminta para Hakim untuk meneliti dan melakukan cross cek atas setiap nilai kerugian yang diajukan berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan.
“Hakim tidak hanya menerima begitu saja nilai kerugian yang diajukan oleh penuntut umum, karena nilai yang diajukan baru bersifat bukti dan hakim yang akan menentukan secara final ada atau tidaknya kerugian negara tersebut dan berapa nilai kerugiannya”, kata Ketua MA [mrgp].