Persoalan Teknis Yudisial dibedah di Sidang Komisi
Balikpapan | kepaniteraan online (13/10)
Memasuki hari kedua Rakernas, Selasa (12/10), para peserta mulai melakukan sidang komisi. Dalam sidang komisi ini, para peserta melakukan pembahasan seputar persoalan teknis yustisial maupun administrasi yang muncul dalam dinamika pelaksanaan tugas. Pembahasan di tingkat komisi ini dilakukan melalui bedah makalah yang sebagian besar disajikan oleh ketua muda masing-masing.
Mengenai pembagian kelompok sidang komisi, Panitia membagikannya berdasarkan pada pembidangan tugas, yudisial dan non yudisial. Atas dasar ini, peserta Rakernas dikelompokan kepada 6 komisi. Lima diantaranya adalah komisi bidang yudisial.
Komisi I.A bidang Pidana Umum dan Pidana Khusus yang dipimpin oleh Tuada Pidana dan Tuada Pidana Khusus. Komisi I.B bidang Perdata dan Perdata Khusus yang dipimpin oleh Tuada Pidana dan Pidana Khusus. Komisi II bidang Urusan Lingkungan Peradilan Agama yang dipimpin oleh Tuada Urusan Lingkungan Peradilan Agama. Komisi III bidang Urusan Lingkungan Lingkungan Peradilan Militer yang dipimpin oleh Tuada Uldilmil, Komisi IV bidang Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara yang dipimpin oleh Tuada Urusan Lingkungan Peradilan Militer. Komisi V bidang Khusus yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah Agung, dan Komisi VI bidang Pembinaan Administrasi yang dipimpin oleh Tuada Pembinaan, Sekretaris MA, dan Kepala BUA.
Restorative Justice
Ketua Muda Pidana MARI, Dr. Artidjo Alkostar, SH, LLM, dalam paparannya yang mengambil judul “Dinamika dan Interaksi Hukum Lokal, Nasional, dan Global” mengangkat soal restrorative justice. Menurut Dr. Artidjo, lembaga pengadilan sebagai institusi yang memiliki kompetensi solusi autoritatif dapat merespon restorative justice dalam rangka memenuhi asas pengadlan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
“dalam konteks ini, hubungan sinergis dengan penegak hukum lain (seperti: kepolisian, kejaksaan, dan advokat) akan memperlancar tujuan hakiki dari kebenaran dan keadilan”, tulis Artidjo dalam makalahnya yang disajikan di Komisi I-A bidang Pidana dan Pidana Khusus.
Restorative justice atau proses peradilan yang memulihkan, menurut Tuada Pidana, sejatinya mencari win-win solution dalam mempertemukan silang sengketa hak dan kewajiban pelaku dan korban. Indonesia, lanjut Dr. Artidjo, selaku anggota PBB yang telah meratifikasi konvensi Internasional memiliki konsekuensi untuk mempertimbangkan nilai-nilai dan norma konvensi internasional dalam memeriksa dan memutus perkara, seperti restorative justice.
Ia memisalkan perkara KDRT dan perkara yang diproses dalam Pengadilan Anak dapat dipertimbangkan menggunakan prinsip-prinsip restorative justice.
Sementara itu dalam menyikapi persinggungan antara hukum nasional dan hukum adat, Tuada yang juga mantan Ketua LBH Jogja ini menegaskan bahwa dalam memutus perkara pidana hakim dalam menjatuhkan putusan dapat mengadopsi nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat, sebagai sebuah kearifan lokal.
Pembuktian dalam Pemeriksaan Verstek
Sementara itu, dalam Komisi I.B Bidang Perdata dan Perdata Khusus, dikupas persoalan verstek, sita atas harta kekayaan BUMN/BUMD Persero, dan imbalan jasa (fee) kurator.
Mengenai pemeriksaan verstek, mengemuka dua pandangan. Pertama, tidak perlu melakukan pembuktian. Argumennya adalah bahwa wajib bukti timbul apabila pihak Tergugat membantah gugatan. Dalam hal Tergugat tidak hadir, apalagi membantah, maka tidak ada kewajiban Penggugat untuk mengajukan pembuktian. Sedangkan pendapat kedua, perlu dipertimbangkan bukti-bukti yang diajukan Penggugat. Pendapat kedua ini sejalan dengan kesimpulan yang dirumuskan dalam Rakernas MARI 2009 di Palembang.
Penerapan pendapat kedua ini, berdasarkan hasil rumusan yang disampaikan oleh jurubicara Komisi 1.B, dilaksanakan dalam kasus-kasus tertentu. Misalnya, dalam kasus tanah atau perkawinan. “Hal ini untuk menghindari adanya penyelundupan hukum”, tegas Andi Samsan Nganro saat menyampaikan hasil rumusan Komisi, Rabu (13/10).
Sementara mengenai persoalan sita atas harta kekayaan BUMN/BUMD, Komisi I.B, menyimpulkan bahwa hakim tidak dibenarkan memerintahkan sita atas barang milik negara yang dikelola oleh BUMN/BUM Persero dan barang-barang yang dikelola BUMN/BUM Persero yang dibeli atau diperoleh dengan dana APBN atau APBD. Dasar hukumnya adalah UU No 1 Tahun 2004 (Pasal 1 butir 10 dan 11 dan Pasal 50).
Sedangkan terhadap harta benda BUMN/BUMD Persero yang merupakan hasil usahanya, yang modal dasarnya merupakan inbreng Negara, baik berupa uang maupun berupa barang yang berasal atau dibeli dari dana APBN/APBD maka hakim boleh memerintahkan sita jaminan maupun sita eksekusi.
Ahli Waris Pengganti
Sementara itu di komisi 2 bidang Urusan Lingkungan Peradilan Agama Hakim dicapai beberapa kesimpulan setelah melalui proses elaborasi pemikiran yang sangat dinamis. Salah satu yang mengemuka adalah persoalan ahli waris pengganti.
Ahli Waris Pengganti, menurut Komisi II, sebagaimana tersebut dalam Psal 185 KHI pelaksanaannya dibatasi kepada keturunan garis lurus kebawah sampai dengan derajat cucu, garis lurus keatas sampai dengan derajat Kakek / Nenek dan garis kesamping sampai dengan derajat Keponakan.
Selain tentang ahli waris pengganti, Komisi II menyoal tentang dasar pertimbangan hukum perkara perceraian dan hadhonah. Menurutnya, dalam mengambil keputusan terhadap perkara perceraian dan atau hadlonah, disamping mempertimbangkan KHI, UU No. 1 tahun 1974, Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 juga harus memperhatikan tentang UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT serta UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Persoalan lainnya, adalah tentang Itsbat Nikah. Menurut Komisi II untuk menghindari terjadinya penyalah gunaan penetapan itsbat nikah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 7 ayat (3) huruf (a) KHI agar penetapan itsbat nikah tersebut dibuat dalam satu kesatuan dengan cerai gugat / ikrar talak dan dalam pertimbangan hukumnya dipertegas dengan pernyataan bahwa itsbat nikah tersebut hanya untuk proses perceraian. (asnoer)