Ketua MA:
Untuk Mewujudkan Badan Peradilan Yang Agung Tidak Perlu Menunggu 2035
Batam | (08/03/2014) - Ketua Mahkamah Agung RI, Hatta Ali, mengemukakan bahwa untuk mewujudkan badan peradilan yang agung tidak perlu menunggu tahun 2035. Meski menurut cetak biru pencapaian visi tersebut akan dicapai dalam rentang waktu 2010-2035, namun Ketua MA meyakini visi tersebut dapat dicapai dalam waktu 10 sampai 15 tahun.
Ketua Mahkamah Agung menyampaikan hal tersebut dalam acara pembinaan teknis dan administrasi yustisial terhadap para ketua, wakil ketua, hakim dan panitera/sekretaris pengadilan tingkat pertama dan banding dari 4 (empat) lingkungan peradilan se-wilayah hukum Provinsi Riau dan Kepulauan Riau, Jum'at (07/03/2014). Hadir dalam acara pembinaan yang diselenggarakan oleh Kepaniteraan Mahkamah Agung tersebut, para Wakil Ketua MA, para Ketua Kamar, sejumlah Hakim Agung, Panitera MA, dan para pejabat eselon I dan II Mahkamah Agung.
Terkait dengan harapan tercapainya visi mewujudkan badan peradilan yang agung tanpa menunggu tahun 2035, Ketua MA menyampaikan beberapa syarat.
"Seluruh jajaran pengadilan harus mempedomani cetak biru dan menuangkannya dalam rencana program", harap Ketua MA.
Ketua MA meminta jajaran pengadilan mereplikasi program-program pembaruan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung, seperti "one day publish" dan percepatan jangka waktu penanganan perkara.
"One Day Publish" adalah maklumat pelayanan dari mahkamah agung untuk mempublikasikan amar singkat putusan pada hari pertama putusan tersebut diucapkan dan mempublikasikan putusan pada hari yang sama dengan salinan putusan tersebut dikirim kembali ke pengadilan pengaju.
Sedangkan percepatan jangka waktu penanganan perkara dilakukan dengan melakukkan penataan ulang prosedur penanganan perkara.
"Kami telah menerbitkan SK KMA Nomor 119/KMA/SK/VII/2013, yang menentukan waktu memutus perkara di MA paling lama 3 bulan", tegas Ketua MA.
Menurut ketentuan baru yang berlaku mulai 1 Agustus 2013 ini, setiap perkara kasasi/peninjauan kembali yang telah diterima oleh ketua majelis, maka ketua majelis harus menetapkan hari musyawarah dan ucapan perkara tersebut paling lama 3 bulan ke depan.
SK ini menurut Ketua MA adalah SK Revolusioner. Pertama, dengan SK tersebut MA telah merubah sistem membaca berkas dari bergiliran yang terlangsung puluhan tahun menjadi membaca serentak. Kedua, waktu pemeriksaan perkara menjadi terukur karena ketua majelis berkewajiban untuk menentukan pelaksanaan hari musyawarah dan ucapan di muka. Ketiga, waktu pemeriksaan perkara oleh majelis menjadi lebih cepat, yaitu 3 (tiga bulan).
Ketua MA meminta pengadilan untuk menyusun prosedur pemeriksaan perkara yang dapat mempercepat penyelesaian perkara di bawah 6 (enam) bulan. Terkait hal ini, MA sedang menggodog perubahan aturan jangka waktu penyelesaian perkara di pengadilan tingkat pertama dan banding yang terakhir diatur dengan SEMA Nomor 6 Tahun 1992. Nantinya, MA akan mengatur jangka waktu maksimal penyelesaian perkara di tingkat banding adalah empat bulan sedang di tingkat pertama adalah lima bulan.
Tingkat Banding Bukan Pengadilan Penguat
Sementara itu Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Non Yudisial, H. Suwardi, meminta agara para hakim tinggi dalam melakukan pemeriksaan perkara di tingkat banding memberikan pertimbangan yang cukup dalam setiap putusan yang dijatuhkan.
"Setelah pertemuan ini tidak ada lagi hakim tinggi yang hanya mengambil alih pertimbangan pengadilan tingkat pertama. Pengadilann Tinggi harus memberikan pertimbangan hukum yangn menjadi dasar penguatan putusan", ujar mantan Ketua Kamar Perdata ini.
Persoalan lain yang disorot dalam pembinaan yang disebut Ketua MA sebagai pengganti Rakernas ini adalah titik singgung kewenangan. Isu ini disampaikan oleh Wakil Ketua MA Bidang Yudisial, Mohammad Saleh. Menurutnya, beberapa kasus yang terjadi hingga ke pemeriksaan kasasi terjadi adanya pengadilan yang mencaplok kewenangan absolut pengadilan lainnya. Ia mencontohkan pengadilan negeri yang memeriksa perkara yang menjadi kewenangan tata usaha negara. Atau, ada pengadilan tata usaha negara yang membatalkan sertifikat hak milik sedangkan atas dasar sertifikat tersebut pengadilan negeri menetapkan hak kepemilikan yang disengketakan.
Wakil Ketua Bidang Yudisial ini meminta masing-masing pengadilan mengetahui masing-masing kewenangannya sehingga tidak terjadi titik singgung kewenangan ini. [an]