Selamat Datang di Situs Web Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia

 

Teknologi Informasi: Meningkatkan transparansi peradilan dan akses terhadap keadilan

MA: Dulu  100 Putusan Setahun, Kini 100 putusan dalam Satu Jam

JAKARTA | (02/05) -  Dulu, jika tidak ada versi braille, terbitan informasi hukum tidak bisa diakses oleh kalangan tuna netra. Namun dengan perkembangan teknologi informasi terkini, ketergantungan tuna  netra terhadap braille  tidak berlaku lagi. Mereka bisa mengakses semua informasi, asal informasi tersebut disajikan secara elektronik, seperti dengan mengunggahnya di website. Oleh karena itu, upaya  Kepaniteraan MA yang terus-menerus mendorong peningkatan publikasi putusan di Direktori Putusan,  disambut baik oleh kalangan tuna netra. Dengan demikian publikasi putusan selain merupakan perwujudan akuntabilitas dan transparansi, juga meningkatkan akses terhadap keadilan.

Ungkapan tersebut terlontar dalam salah satu sesi diskusi di rangkaian Partnership Conference hari ke dua dengan tajuk Using Technology to Increase Court Transparency and Legal Certainty yang digelar Rabu (30/04/2014) di Hotel JS Luwansa Jakarta. Tampil sebagai nara sumber dalam acara berformat talk show ini adalah perwakilan dari Mahkamah Agung  (Asep Nursobah), LeIP (Ariehta Eleison), SIGAB (Joni Yulianto), Mitra Netra (Aria Indrawati) dan UIN Bandung (Deni K. Yusup).  Sementara yang bertindak sebagai moderator,  Luke Arnold, Binziad Khadafi, dan Cucu Saidah. Ketiganya senior manager dari AIPJ.

AIPJ menggelar Konferensi Kemitraan 29-30 April 2014 di Jakarta. Dalam acara berformat talk show ini, Perwakilan Kepaniteraan MA (paling kanan) turut berpartisipasi sebagai nara sumber

Menurut Joni Yulianto dan Aria Indrawati, kehadiran informasi pengadilan yang tersaji di website telah memudahkan penyandang disabilitas (tuna netra) untuk mengaksesnya. “Pengadilan tidak perlu menyajikan informasi versi braille, Pengadilan cukup mengunggah informasi tersebut di website maka penyandang tuna netra bisa membacanya dengan mudah. Karena kini ada aplikasi pembaca layar yang dapat mengubah teks menjadi suara”,  ungka Aria Indrawati.

Menurut Aria, kehadiran informasi peradilan di website sangat dibutuhkan oleh peyandang tuna netra dan disabilitas pada umumnya.  Apalagi ketika kaum difabel ini berhadapan dengan hukum. Aria mengingatkan dalam melakukan publikasi berbasis web, agar pengadilan memperhatikan universal design yang telah diatur oleh standar aksebilitas oleh W3 Consortium. 

Dulu 100 Putusan Setahun, Kini 100 putusan dalam Satu Jam

Dari perspektif  penyedia informasi,  Mahkamah Agung telah membuktikan bahwa pemanfaatan teknologi informasi telah menimbulkan lompatan quantum dalam publikasi putusan. Dikatakan Asep Nursobah, ketika  publikasi putusan hanya mengandalkan versi cetak, jumlah putusan yang disediakan untuk diakses publik hanya berjumlah di bawah seratus dalam setahun. Namun kini, ketika publikasi putusan dilakukan secara elektronik menggunakan teknologi informasi, 100 putusan terpublikasikan dalam satu jam.

“Sebelum 2007, publikasi putusan dilakukan melalui majalah Varia Peradilan  dan Buku Yurisprudensi. Satu kali terbitan Varia Peradilan, memuat maksimal tiga putusan. Varia Peradilan terbit  12 kali dalam setahun, sehingga hanya 36 putusan. Sedangkan Buku Yurisprudensi memuat putusan pilihan paling banyak 60 sampai 70 putusan, sehingga dalam satu tahun hanya  mempublikasikan kurang lebih 100 putusan”, jelas Asep Nursobah

“Setelah menggunakan teknologi informasi, tahun 2013 ada  306.588 putusan. Ini artinya ada  sekitar 25.549 putusan per bulan datau 1.277 putusan per hari kerja atau  160 putusan  per jam kerja”, imbuhnya.
Jumlah putusan yang terpublis ini mencerminkan tingkat akses terhadap informasi peradilan. Ketika putusan dipublis hanya menggunakan media cetak, maka akses terhadap informasi menjadi terbatas. Apalagi akses bagi penyandang difabel.

“Apalagi MA tidak menyediakan varia peradilan dan buku yurisprudensi dalam  versi Braille”, ungkap Asep Nursobah.

Perkembangan Publikasi Putusan

Asep Nursobah membagi perkembangan publikasi putusan di Indonesia ke dalam tiga periode. Pertama, Publikasi cetak yaitu periode sebelum 2007. Kedua, publikasi elektronik terdesentralisasi yaitu periode 2007-2010. Ketiga, publikasi elektronik tersentralisasi, yaitu periode 2011-sekarang. Di masa publikasi cetak, putusan yang disajikan adalah putusan pilihan yang mengandung nilai yurisprudensi. Jika publik ingin mendapatkan putusan selainnya, maka yang bersangkutan harus mendatangi gedung pengadilan dan menyampaikan surat permohonan permintaan salinan atau fotokopi putusan.

Pada periode kedua, publikasi putusan dilakukan secara elektronik melalui website. Untuk MA, publikasi putusan dilakukan melalui Direktori Putusan (putusan.mahkamahagung.go.id) sedangkan untuk pengadilan, publikasi putusan dilakukan melalui website pengadilan masing-masing.

“Jika ingin mendapatkan putusan MA, harus masuk ke Direktori Putusan sedangkan jika ingin memperoleh putusan pengadilan, publik harus mengunjungi website pengadilan yang jumlahnya ratusan”, papar Asep Nursobah.
Pada periode ini jumlah putusan yang dipublis bisa mencapai 10.000-an per tahun.
Sedangkan pada periode ketiga, publikasi putusan dilakukan di satu tempat yaitu Direktori Putusan (http://putusan.mahkamahagung.go.id).

“Pada periode ini, baik MA maupun 800-an pengadilan, ketika mempublikasikan putusan tempatnya hanya satu, yaitu Direktori Putusan Mahkamah Agung”, jelasnya.

Karena publikasi putusan tersentralisasi di satu tempat, jumlah putusan yang terunggahpun meningkat tajam. Tahun 2011 berjumlah 122.629, tahun 2011,  234.380 putusan dan tahun 2013 berjumlah 306.588 putusan.

Pemanfaatan Putusan

Jumlah putusan yang setiap harinya terupload diatas 1.000 putusan, sehingga dari hari ke hari jumlah putusan yang tersedia di Direktori Putusan kian meningkat. Namun jumlah putusan yang menggunung tersebut belum diiringi dengan pemanfaatan yang maksimal. Sedikit sekali kalangan akademis atau peneliti yang menjadikan putusan sebagai objek penelitian atau bahan ajar ilmu hukum.

Melihat fenomena tersebut, LeIP sebagai lembaga penelitian yang concern terhadap dunia peradilan merasa prihatin terhadap pemubaziran putusan yang telah terunggah tersebut. Oleh karena itu LeIP membangun website index hukum (www.indekshukum.org).

“Idenya berawal dari kegelisahan mengapa putusan yang telah diunggah belum digunakan secara luas”,  ujar Ariehta Elison.

Di website ini  LeIP melakukan indexing  putusan yang diambil dari Direktori Putusan Mahkamah Agung, berdasarkan tema-tema hukum populer. Selain itu dilakukan pula klasifikasi, resume dan sehingga mudah dipahami oleh orang awam.

Untuk menggarap index hukum ini ada sejumlah lembaga dan kampus yang dilibatkan, yatu Unand, UGM, LBH Magenta, ICJR, LBH Yogyakarta, MaPPI, dan LeIP. Masing-masing lembaga tersebut memiliki memiliki 1 Anotator dan 2 Enumerator.

Bagi LeIP Semakin luas putusan dipergunakan, semakin terawasi kualitas putusan baik dari sisi konsistensi maupun legal reasoning-nya.

Lomba Analisis Putusan

Masih dalam konteks pemanfaatan Direktori Putusan, Kepaniteraan dan AIPJ menggelar lomba pencarian dan analisis putusan. Ide penyelenggaraan lomba ini, didasarkan pada asumsi bahwa rendahnya pemanfaatan karena kurangnya informasi mengenai Direktori Putusan, khususnya di kalangan akademis.

Oleh karena itu lomba ini menyasar dua aspek, pertama sosialisasi Direktori Putusan bagi kalangan akademis dan kedua analisis putusan. Kedua aspek ini menurut Deni K. Yusup—program manajer lomba dari UIN Bandung—telah tercapai dengan baik.

Indikasi tersosilisasikanya Direktori Putusan, kata Deni adalah dengan membludaknya pengunjung portal lomba. Selama periode lomba, tercatat 39.466 orang yang mengunjungi portal. Sedangkan yang mendaftar lomba berjumlah 335 pendaftar, yang terdiri dari 238 pendaftar perseorangan dan 97 pendaftar kelompok.

Yang menarik dari panelis MA, LeIP dan UIN Bandung adalah saling korelasi data yang disajikan dalam bahan presentasi masing-masing. Dalam presentasi MA disajikan data bahwa periode Desember 2013-Maret 2004 jumlah putusan yang terpublis diatas rata-rata periode sebelumnya, yaitu rata-rata 31.121 putusan per bulan. Selain itu jumlah visitor Direktori Putusan, juga mengalami peningkatan yang signifikan di periode tersebut. Sementara dalam presentasi LeIP, ditunjukkan bahwa di periode tersebut juga terdapat kenaikan pengunjung indexhukum. 
Dari presentasi UIN Bandung, diketahui bahwa ada korelasi kenaikan jumlah kunjungan dan jumlah putusan yang terpublish dengan kegiatan lomba pencarian dan analisis putusan yang dilakukan di periode tersebut.

Dari sisi penumbuhan minat terhadap analisis putusan, para finalis lomba ini tertarik untuk menjadi  kontributor anotasi putusan untuk website indekshukum.org. [an]