Peninjauan Kembali oleh Jaksa
Sistem PK di Indonesia perlu dibahas ulang secara utuh dan visioner, berpijak kondisi empirik, perkembangan hukum, serta prinsip dan doktrin yg relevan. Sekadar mengatur kewenangan jaksa ajukan PK tidak banyak berarti.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan baru saja diamendemen dengan UU No 11/2021. Ketentuan yang banyak disorot adalah pemberian kewenangan kepada jaksa untuk mengajukan peninjauan kembali (PK). Pasal 30C Huruf h UU tersebut mengatur: ”Selain melaksanakan tugas dan wewenang… Kejaksaan:... h. mengajukan peninjauan kembali”.
Kritik disuarakan. Argumennya adalah pertentangan ketentuan itu dengan putusan MK, di samping ketentuan ini dianggap akan membuat suatu perkara pidana tidak berujung. Kontroversi lama hidup kembali.
PK oleh jaksa dalam perundang-undangan
PK sendiri baru dikenal dalam hukum nasional lewat UU No 19/1964 tentang Kekuasaan Kehakiman dan UU No 13/1965 tentang Mahkamah Agung (MA). Meski hanya mengintroduksi PK secara umum, kedua UU mendelegasikan pengaturan lebih lanjut pada hukum acara. Lantaran pemerintah dan DPR tak kunjung melahirkan hukum acara, MA berinisiatif mengisi kekosongan hukum. Peraturan MA (Perma) No 1/1969 dan Perma No 1/1980 yang diterbitkan MA mengatur bahwa PK terhadap putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap harus diajukan oleh terpidana atau Jaksa Agung.Jaksa Agung dapat memohonkan PK bagi terpidana yang telah meninggal, juga ketika terdapat salah satu alasan PK yang dikenal saat itu: ”adanya putusan pidana di mana suatu perbuatan pidana dinyatakan terbukti, namun tanpa diikuti oleh pemidanaan”.
Akhirnya pada 1981 pemerintah dan DPR berhasil mengesahkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). KUHAP dengan asas akusatornya (yang menempatkan terdakwa sebagai subyek) membawa dua prinsip baru terkait PK. Prinsip pertama, pemajuan hak individu saat berhadapan dengan negara. PK menjadi hak terpidana atau ahli warisnya (sesuai Pasal 1 Angka 12 dan Pasal 263 Ayat (1) KUHAP). PK juga harus menguntungkan terpidana (isi putusannya tak boleh memberi konsekuensi lebih berat dari putusan asal). Prinsip kedua, perlindungan terhadap finalitas putusan bebas dan lepas. Putusan bebas dan lepas tak dapat dimintakan banding, kasasi atau PK (meski dalam praktiknya dan berdasarkan sebuah putusan MK, putusan bebas masih bisa dikasasi). Melalui dua prinsip itu, pembentuk KUHAP seperti sengaja mengecualikan hak jaksa untuk mengajukan PK.
Namun, paradoksnya, KUHAP juga memuat Pasal 263 Ayat (3) bahwa PK dapat diajukan terhadap putusan yang menyatakan suatu dakwaan terbukti tetapi tanpa disertai pemidanaan. Ketentuan ini tak termasuk tiga alasan PK dalam Pasal 263 Ayat (2), yaitu: novum; putusan saling bertentangan; dan kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata. Inilah yang kemudian menimbulkan kerancuan. Jika KUHAP mengecualikan hak jaksa memohonkan PK melalui Pasal 1 Angka 12 dan Pasal 263 Ayat (1), lalu mengapa KUHAP juga mengatur Pasal 263 Ayat (3), yang seolah merupakan alasan PK yang diperuntukkan bagi Jaksa?
Ditambah lagi, UU Kekuasaan Kehakiman 1970 mengatur bahwa PK diajukan oleh ”pihak-pihak yang berkepentingan”. Menurut sebagian kalangan, ”yang berkepentingan” dalam perkara pidana ada dua, yaitu: (1) terpidana atau ahli warisnya; dan (2) Jaksa yang mewakili kepentingan negara.
PK oleh jaksa dalam praktik hukum
Ambiguitas norma di atas jadi alasan jaksa tetap mengajukan PK. Pasca-KUHAP, PK pertama kali dimohonkan jaksa pada perkara Muchtar Pakpahan. Jaksa berhasil menganulir putusan bebas Pakpahan di kasasi, hingga dipidana empat tahun penjara oleh Majelis PK (Putusan No 55 PK/Pid/1996).
PK oleh jaksa juga dikabulkan MA untuk putusan bebas Ram Gulumal (Putusan No 3 PK/Pid/2001) dan putusan lepas Soetyawati (Putusan No 15 PK/Pid/2006). Di perkara Pollycarpus Budihariyanto (Putusan No 109 PK/Pid/2007), PK Jaksa dikabulkan MA dengan memperberat pidana di kasasi.
Pertimbangan putusan Pakpahan banyak dirujuk oleh putusan yang menerima dan mengabulkan permohonan PK jaksa. Pertimbangan tersebut juga terefleksikan dalam PK yang menganulir putusan bebas Djoko S Tjandra (Putusan No 12 PK/Pid.Sus/2009). Majelis PK berargumen: (1) ada aturan tentang hak Jaksa mengajukan PK, meski tidak jelas; (2) hakim dapat menafsirkan ketentuan UU yang tidak jelas; (3) hukum acara, meski bersifat imperatif, dapat dilenturkan; dan (4) kepentingan negara, umum, terdakwa, dan korban harus diseimbangkan.
Menariknya, di banyak perkara lain MA mengusung sikap tak menerima PK jaksa. Dalam perkara Mulyar bin Samsi (Putusan No 84 PK/Pid/2006) dan Anggodo Wijoyo (Putusan No 152 PK/Pid/2010), PK jaksa tak diterima karena UU tegas menentukannya sebagai hak terpidana atau ahli warisnya. Menurut Majelis PK, itu bentuk ”due process of law” guna membatasi tindakan negara pada warganya.
Kadang MA tak menerima PK jaksa karena pertimbangan berbeda. Dalam perkara Roedyanto (Putusan No 57 PK/Pid/2009) dan Ahmad Kudri Moekri (Putusan No 173 PK/Pid. Sus/2011), jaksa dinyatakan tak mampu menunjukkan kepentingan publik yang harus dilindungi lewat permohonan PK-nya. Menariknya, di banyak perkara lain MA mengusung sikap tak menerima PK jaksa.
Sesungguhnya perdebatan mengenai PK oleh jaksa telah ditutup ketika MK melalui Putusan No 33/PUU-XIV/2016 mengabulkan permohonan uji materiil Anna Boentaran, istri Djoko S Tjandra, terhadap Pasal 263 Ayat (1) KUHAP. MK menyatakan pasal itu tak punya kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai berbeda dari norma yang tersurat. Tidak seorang pun, termasuk jaksa, dapat memohonkan PK kecuali terpidana atau ahli warisnya.
Sejak putusan MK tersebut, tak ada lagi PK oleh jaksa. Selain tidak dapat diajukan oleh jaksa, MK dalam pertimbangannya juga menegaskan bahwa PK tidak dapat dimintakan terhadap putusan bebas atau lepas.
Perbandingan dengan Belanda
Mari kita membuat perbandingan dengan Belanda. Negara itu layak ditilik karena Indonesia mewarisi sistem PK-nya yang telah berubah sesuai konteks di sana. Awalnya putusan bebas di Belanda juga dilindungi dengan finalitas absolut. Argumentasinya, tak adil jika negara bisa terus menuntut warga negara, termasuk lewat PK, setelah yang bersangkutan bebas dari dakwaan (Van Hattum, 2012).
Namun, argumen ini hanya persuasif bagi terdakwa yang memang tak bersalah. Sama sekali tak persuasif bagi pelaku kejahatan yang lolos dari jerat hukum lewat penipuan dan intimidasi (Miller, 1927). Butuh waktu lama hingga PK terhadap putusan bebas diadopsi di Belanda. Meski sudah dibahas kalangan ahli hukum sejak 1873, baru pada 1 Oktober 2013 hal itu diakui hukum acara pidana Belanda. Yang berhak memohonkan adalah Procureur General (PG), melalui prosedur superketat, hanya dengan alasan novum dan falsum.
Novum dalam PK terhadap putusan bebas dibatasi berupa: (1) pengakuan kredibel terdakwa yang bebas dari tuduhan pembunuhan, bahwa dia pelaku sesungguhnya; atau (2) hasil penelitian teknis berupa ”hard evidence” mengenai kesalahan terdakwa. Sementara falsum adalah kejahatan yang mencemari lahirnya suatu putusan bebas. Falsum terdiri dari: (1) bukti palsu; (2) keterangan palsu; (3) kejahatan terhadap pejabat atau individu yang terkait dengan suatu proses pidana; atau (4) hakim yang disuap.
PG juga berwenang mengajukan PK bagi terpidana dengan kriteria tertentu. PG bisa membantu terpidana mencari bukti dan memperkuat argumentasi jika terdapat alasan untuk memohonkan PK (Brants & Field, 2011). Namun patut dicatat, PG tak sama dengan Kejaksaan. PG mengepalai sebuah kantor di Mahkamah Agung Belanda (Hoge Raad) yang bertanggung jawab menuntut tindak pidana yang dilakukan pejabat publik, serta menyampaikan pendapat kepada Hoge Raad atas setiap perkara kasasi. PG juga mengajukan kasasi demi kepentingan hukum, termasuk mengajukan permohonan PK.
Yang sebaiknya dituju
Lalu apa yang hendak dituju lewat Pasal 30C Huruf h amendemen UU Kejaksaan? Melihat berbagai persoalan dalam praktik PK, perubahan kebijakan yang lebih mendasar layak jadi tujuan. Sekadar mengatur kewenangan jaksa mengajukan PK mungkin tidak berarti banyak, malah berpotensa menimbulkan benturan norma. Sistem PK di Indonesia perlu dibahas ulang secara utuh dan visioner, berpijak pada kondisi empirik, perkembangan hukum, serta prinsip dan doktrin yang relevan.
Untuk itu, amendemen KUHAP perlu digulirkan. Ruang keterlibatan para pemangku kepentingan, terutama ahli hukum, perlu disediakan secara luas. Sebab, di KUHAP-lah diatur berbagai pilar PK, mulai dari syarat formal, alasan materiil, hingga prosedur. Apabila sistem PK di dalam KUHAP didesain dengan baik, niscaya tercipta sistem peradilan yang berprinsip, yang putusannya akurat sekaligus berkepastian.
BINZIAD KADAFI ( Anggota Komisi Yudisial RI, Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera)
Artikel ini dimuat dalam Kompas (11 Juni 2022). Penambahan Hyperlink Putusan oleh Asep Nursobah