Doktrin Vicarious liability dalam sistem hukum Indonesia lebih dikenal sebagai pertanggungjawaban pengganti atau dikenal juga dengan pertanggungjawaban korporasi. Dalam perjalanan Konsep KUHP, vicarious liability merupakan pengecualian dari asas tiada pidana tanda kesalahan. Doktrin ini telah diakomodir dan dirumuskan di dalam Pasal 38 ayat (2) Konsep KUHP 2008, yang berbunyi “Dalam hal ditentukan oleh Undang-Undang, setiap orang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain”.
Vicarious liability telah diakomodir dalam Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi
“Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama”
Serupa dengan gagasan Vicarious liability adalah ketentuan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia yang dikenal dengan pertanggungjawaban komando.
"Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif, atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dan tidak dilakukan pengendalian pasukan secara patut"
Dalam konteks korporasi, doktrin Vicarious liability menetapkan apabila seseorang agen atau pekerja korporasi bertindak dalam lingkup pekerjaannya dan dengan maksud untuk menguntungkan korporasi, melakukan suatu kejahatan, maka tanggung jawab pidananya dapat dibebankan kepada perusahaan dengan tidak perlu mempertimbangkan apakah perusahaan tersebut secara nyata memperoleh keuntungan atau tidak, atau apakah aktivitas tersebut telah dilarang oleh perusahaan atau tidak.