JAKARTA (18/3/2021) | Ketua MA, Prof. Dr. H.M. Syarifuddin, S.H., M.H, menyampaikan pengarahan dalam acara puncak peringatan hari ulang tahun Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) ke 68 Tahun 2021 yang dilaksanakan secara virtual, Kamis (18/3/2021). Acara yang bertajuk Silaturahmi Nasional tersebut mengusung tema “Soliditas IKAHI dalam Mengawal Modernisasi Peradilan di Era Pandemi Covid-19 Menuju Peradilan yang Agung. Ketua MA selaku pelindung IKAHI menyampaikan 7 pesan penting bagi para “pengadil” dalam acara yang diikuti oleh seluruh hakim di Indonesia tersebut.
Berikut 7 (tujuh) pesan penting Ketua MA bagi seluruh hakim Indonesia.
Pertama, sesama Hakim harus senantiasa saling mengingatkan satu sama lain, agar tidak melakukan perbuatan yang dapat merugikan diri sendiri dan lembaga. Sikap saling mengingatkan untuk tujuan kebaikan harus menjadi budaya di kalangan para hakim, karena itulah wujud soliditas yang sebenarnya. Pesan ini disampaikan oleh Ketua MA karena profesi hakim adalah profesi yang mengandung banyak godaan, baik dari luar maupun dari dalam lingkungan peradilan.
“Bahkan godaan itu, bisa saja datang dari lingkungan kita sendiri”, ujar Ketua MA.
Kedua, Hakim harus berhati-hati dalam mengekspresikan pikiran, ucapan, dan tindakan di media sosial. Menurut Ketua MA, belum tentu apa yang kita anggap baik, ditafsirkan baik oleh publik.
“ Bisa saja apa yang kita unggah justru menimbulkan kegaduhan di ruang publik atau menimbulkan ketersinggungan bagi orang lain dan sekelompok orang tertentu”, tegas Ketua MA.
Ketiga, Hakim tidak perlu ikut beropini dan memberikan pendapat di media sosial terhadap kondisi sosial atau peristiwa hukum yang terjadi di masyarakat, karena bukan tidak mungkin peristiwa tersebut suatu saat akan menjadi perkara di pengadilan. Hakim juga tidak perlu menumpahkan keluh kesah dan amarah di media sosial, karena bisa jadi keluh kesah dan amarah yang diunggah terbaca oleh pihak yang sedang berperkara di pengadilan yang perkaranya sedang kita tangani.
Keempat, Hakim harus selalu bersikap arif dan bijaksana, baik ketika di dalam persidangan, maupun dalam kehidupan sehari-hari, terutama ketika menggunakan media sosial. Ketua MA mengingatkan apa yang kita unggah di media sosial akan menjadi milik publik dan publik berhak untuk menilai apapun tentang apa yang kita publikasikan.
Kelima, Hakim harus memiliki akhlak dan prilaku yang lebih baik, dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya. Hal ini karena hakim adalah orang-orang yang dipilih untuk mengemban tugas dan jabatan sebagai Wakil Tuhan di dunia. Hakim harus senantiasa menunjukan sikap rendah hati dan santun dalam bertindak serta bertutur kata, karena apa yang kita ucapkan dan apa yang kita lakukan akan menjadi contoh bagi aparatur penegak hukum yang lain.
Keenam, Panggilan “Yang Mulia” bukan untuk dibangga-banggakan, melainkan harus menjadi pengingat bagi hakim. Kemuliaan dari jabatan hakim tidak diukur dari kewenangan dan kekuasaanya yang besar, melainkan diukur dari sikap dan prilaku hakim itu sendiri.
“Sikap dan prilaku kitalah yang akan menentukan, layak atau tidak untuk dipanggil Yang Mulia”, tegas Ketua MA.
Ketujuh, Seorang hakim harus membiasakan diri untuk tidak mengatakan semua yang dipikirkannya, jika itu akan menimbulkan gangguan bagi kemandirian hakim yang lain. Hakim harus lebih banyak menuangkan pemikirannya di dalam pertimbangan putusan, bukan di media sosial, atau di ruang publik lainnya.
“Kecuali dalam kaitannya dengan kajian-kajian ilmiah di forum akademik”, pungkas Ketua MA. [an]