Selamat Datang di Situs Web Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia

 

Merasakan Menjadi “Pegawai” Pengadilan Federal Australia

Peserta Magang diikutkan seolah menjadi anggota majelis dalam persidangan yang dipimpin oleh Justice Murphy

Melbourne | (3/10) Kegiatan magang Mahkamah Agung RI (Internship Program 2014) memasuki hari ke-3 (1/10). Setelah dua hari memperoleh informasi tentang e- lodgment  dan manajemen perubahan di Federal Court of Australia (FCA)  New South Wales,  Sidney, Tim Magang mendatangi FCA Victoria di Kota Melbourne. Di FCA Melbourne,  Tim Magang akan  mendalami proses pemasukan berkas secara elektronik. FCA Melbourne dipilih karena merupakan pengadilan percontohan.

Kegiatan magang di FCA Melbourne dimulai dengan  acara coffee morning, Rabu (1/10).  Sia Lagos, Panitera Kepala FCA Kepaniteraan Victoria  menyambut tim magang  dan memperkenalkan dengan sejumlah hakim dan staf.

Dalam acara coffee morning yang penuh dengan nuansa kekeluargaan, tanpa diduga Justice Bernard Murphy menawarkan kepada dua orang anggota tim yaitu Liliek Prisbawono Adi, SH.,  MH., dan Frensita K. Twinsani, SH., M.Si.,MH untuk ikut menyaksikan proses persidangannya.  Bahkan mengajak kedua anggota tim tersebut untuk duduk di meja hakim di sisi kiri dan kanan sehingga dapat melihat dan merasakan langsung atmosfer saat ia memimpin persidangan. Dengan dikkutkannya kedua peserta magang, sekilas nampak persidangan menjadi persidangan majelis (full court). Padahal sidang hari itu adapah persidangan dengan hakim tunggal.

Kewenangan Pengadilan

Selain sebagai pengadilan banding, Federal Court of Australia adalah Trial Court yang menangani perkara fakta (judex facti) seperti Pengadilan Umum di Indonesia, namun yurisdiksinya hanya menangani perkara komersial dan sebagian kecil perkara pidana yang berkaitan dengan perkara komersial yang diatur oleh hukum federal. Ada dua jenis persidangan di sini yang dibedakan berdasarkan nomor perkaranya yaitu perkara Federal Court dan perkara Federal Circuit Court. Sedangkan untuk perkara perdata yang berhubungan dengan masalah keluarga yang di Indonesia juga merupakan yurisdiksi peradilan umum, di Australia disidangkan tersendiri di Pengadilan Keluarga (Family Court) yang memiliki kantor dan struktur organisasi berbeda. Di Federal Court perkara disidangkan oleh satu orang Hakim dan apabila ada pihak yang tidak menerima putusan maka akan dibawa naik banding yang ditangani Majelis yang terdiri dari 3 orang Hakim (full court)., Dengan demikian, Hakim tingkat pertama Pengadilan Federal juga merangkap sebagai hakim banding. Pengadilannya sama, adapun yang membedakan keduanya adalah jumlah hakim yang menangani perkaranya saja.

Di Australia, lembaga peradilan tertinggi yang bisa menangani banding dari semua jenis peradilan termasuk Pengadilan Federal, atas alasan hukum yang sangat kuat (question of law)  adalah  High Court yang berpusat  di Canberra dan memiliki cabang di setiap negara bagian. Anggota High Court hanya berjumlah 7 orang Hakim Agung yang merupakan Hakim-Hakim yang dipilih dengan sangat selektif dan memiliki kualifikasi terbaik di Australia. Biasanya perkara kasasi akan ditangani oleh 5 atau 7 orang Hakim Agung.  High Court ini dalam beberapa hal lebih mirip dengan Mahkamah Konstitusi di Indonedia

Delegated Judge

Di Australia ada beberapa perkara yang dapat didelegasikan pada Panitera (Registrar) antara lain perkara permohonan pailit. Biasanya perkara yang ditangani Registrar ini bersifat mudah, singkat dan sederhana pembuktiannya. Apabila saat persidangan Registrar merasa perkaranya adalah perkara yang memerlukan waktu lama dengan pembuktian yang agak rumit maka ia akan merujuk berkas perkara tersebut untuk disidangkan oleh Hakim. Biasanya perkara selesai di tingkat pertama atau trial court karena prosedur yang sangat sulit dan ketat untuk mengajukan banding apalagi kasasi. Ada suatu mekanisme beracara yang disebut dengan leave yang akan memeriksa apakah suatu perkara diperbolehkan untuk diajukan upaya hukum banding dan/atau kasasi. Kesadaran hukum masyarakat yang cukup tinggi membuat mereka menerima apabila dalam mekanisme tersebut perkaranya dianggap tidak layak banding atau kasasi. Kesadaran hukum ini juga menyebabkan kepatuhan terhadap putusan dan penghormatan terhadap pengadilan sangat tinggi.

Hakim Federal Australia berjumlah 50 orang dengan jumlah perkara sekitar 5,000 berkas per tahun. Untuk menjawab tuntutan modernisasi pengadilan dan pelayanan yang lebih cepat, sejak sekitar 4 minggu yang lalu Pengadilan Federal Australia melaksanakan kebijakan penerapan pengajuan berkas secara elektronik (e- lodgment) untuk mengalihkan berkas dalam bentuk kertas menjadi berkas dalam bentuk elektronik. Penanganan perkara yang diterima Federal Court diawali saat sebuah perkara didaftarkan. Oleh karena e- lodgment masih dalam masa transisi, sejak kebijakan diterapkan maka untuk penggugat yang diwakili oleh penasehat hukum pengadilan mewajibkan pengajuan berkas secara elektronik sedangkan untuk penggugat yang tidak diwakili penasehat hukum (unrepresented applicant) pengadilan menyediakan petugas khusus yang akan memberikan informasi dan membantu memasukkan berkas secara elektronik.

Tim Magang juga berkesempatan melihat fasilitas untuk e-lodgment tersebut dalam sebuah ruang yang terbuka bagi umum di kepaniteraan. Di ruang itu disediakan komputer dan mesin scanner yang bisa diakses publik untuk mengajukan berkas secara elektronik, bahkan untuk penggugat yang memiliki keterbatasan kemampuan berbahasa Inggris pengadilan menyediakan akses untuk memperoleh penerjemah yang disediakan oleh pemerintah secara gratis. Tampak sekali bahwa akses masyarakat pada keadilan (access to justice) merupakan perhatian dan kepedulian yang utama.

Setelah berkas diajukan secara elektronik, ada petugas yang memeriksa kelengkapan berkas untuk unrepresented applicant apakah sesuai dengan peraturan. Jika berkas tidak lengkap maka petugas tersebut akan berkomunikasi dengan penggugat dan memberi batas waktu untuk memasukkan berkas yang dibutuhkan. Setelah itu akan ditentukan siapa Hakim dan Panitera yang akan menangani perkaranya serta ditentukan hari persidangannya. Pihak penggugat akan diwajibkan memberikan panggilan sidang langsung pada Tergugat, dan apabila dianggap perlu maka dalam panggilan sidang, Hakim melalui Panitera akan memberikan informasi atau petunjuk kepada para pihak mengenai hal-hal apa saja yang harus dilakukan saat menghadiri persidangan.

Dalam persidangan yang diikuti oleh tim magang, sebelum persidangan permulaan, Justice Murphy memerintahkan para pihak untuk membuat pernyataan tentang pokok permasalahan dalam bentuk poin-poin yang akan disepakati pembahasannya di persidangan, sehingga persidangan tidak akan berjalan bertele-tele dan melebar ke arah yang tidak perlu. Setelah penggugat (Applicant) menyampaikan pokok masalah dan Tergugat (respondent) menyampaikan pendapatnya, apabila hakim menganggap masalah itu bisa diselesaikan dengan mediasi maka ia memberikan sedikit arahan yang menekankan keuntungan masalah diselesaikan secara medisi dan kerugiannya jika perkara dilanjutkan untuk diputuskan oleh Hakim. Selanjutnya perkara ditunda untuk memberi waktu mediasi sekaligus menentukan hari sidang jika perdamaian tidak tercapai.

Mediasi di FCA

Perbedaan yang mendasar antara mediasi di Federal Court dengan mediasi perkara perdata di Indonesia adalah mediasi di Federal Court digantungkan pada pertimbangan Hakim Federal dan keinginan para pihak untuk berdamai dan menyelesaikan masalahnya di luar pengadilan, bukan kewajiban seperti di Indonesia, yang jika tidak dilakukan dapat menyebabkan putusan batal demi hukum. Demikian juga berbeda dengan di Indonesia, tidak semua perkara perdata dapat melalui proses mediasi, karena Pemerintah Australia melarang perkara-perkara tertentu untuk diselesaikan melalui mediasi. Penyelesaian dengan mediasi tersebut akan menghindari penumpukan perkara di pengadilan di samping memberikan kepuasan yang lebih bagi semua pihak daripada penyelesaian melalui putusan hakim yang bersifat menang dan kalah.

Mediasi biasanya difasilitasi oleh Registrar yang ditunjuk. Para Registrar merupakan mediator yang handal. Di Negara bagian Victoria keberhasilan mediasi mencapai 70%. Hal tersebut tampak dari tingkat keberhasilan mencapai kesepakatan. Dalam hal perkara diselesaikan dengan perdamaian, maka kesepakatan tersebut merupakan hukum yang berlaku bagi para pihak dan mempunyai kekuatan eksekusi seperti putusan pengadilan. Secara umum jarang terjadi pelanggaran terhadap hasil kesepakatan. Para pihak takut melakukan pelanggaran karena mempunyai konsekuensi hukum yang sangat berat. Adapun apabila mediasi gagal maka sesuai tanggal yang telah ditetapkan, persidangan dilaksanakan melalui proses jawab menjawab, pembuktian, hingga memperoleh putusan akhir dari Hakim yang rata-rata memiliki jangka waktu penyelesaian 6 (enam) s/d 12 (dua belas) bulan, kecuali beberapa jenis perkara yang harus diselesaikan dalam tenggang waktu tertentu.

Proses peyelesaian putusan Hakim di Pengadilan Federal cukup singkat. Biasanya setelah diputus Hakim akan memberikan putusannya pada petugas yang harus melakukan upload dalam waktu 24 (dua puluh empat) jam sejak Hakim memberikan putusannya untuk di-upload sehingga para pihak dapat segera memperolehnya. Putusan yang dibuat Hakim sangat singkat, Justice Bennet, salah seorang Hakim senior di Pengadilan Federal New South Wales, Sidney (NSW Registry) mengatakan putusannya hanya sekitar 10 (sepuluh) halaman.

Pada dasarnya tak ada template khusus bagi para Hakim, namun biasanya putusan  berisi judul (heading), para pihak yang terlibat, nomor perkara, nama hakim, tanggal putusan, kata kunci untuk pencarian, peraturan terkait, yurisprudensi, kutipan, tanggal persidangan, kesimpulan akhir, tempat, divisi, katagori, jumlah paragraf, penasehat hukum dan pendukung penggugat juga tergugat, pertimbangan hukum (reason for judgement) yang terdiri dari fakta-fakta penting dan hukum terhadap duduk perkara lalu perintah pengadilan (order) atau lazim kita sebut amar putusan dan diakhiri dengan pernyataan bahwa kopi putusan sesuai asli dari putusan Hakim yang ditanda-tangani oleh Associate (asisten hakim dalam persidangan). Menurut Justice Bennet, para pihak tidak membutuhkan sejarah perkara dalam putusan tetapi yang dipedulikan mereka adalah pertimbangan hukum. Pihak yang menang hanya peduli amar putusan dan yang kalah hanya peduli alasan ia dikalahkan. Oleh karena itu menurutnya putusan tidak seharusnya panjang dan memuat hal-hal yang sudah diketahui para pihak dalam proses persidangan, bahkan putusan yang baik adalah yang sesingkat mungkin, beralasan, dan dapat dipahami oleh orang awam sekalipun. Pendapatnya tersebut bertujuan untuk memberikan yang dibutuhkan para pihak (solusi) dengan sesegera mungkin didasari filosofi bahwa keadilan yang tertunda adalah ketidakadilan (justice delayed justice denied). (Frensita K. Twinsani)