Putusan Sederhana Ala FCA
Justice Murphy dan Sia Lagos bersama peserta magang seusai berdiskusi tentang format putusan FCA
Melbourne | Kepaniteraan.online (17/5)
Hampir 2 jam, peserta magang, Bambang Heri Mulyono (hakim peradilan umum/hakim yustisisal MA), Subur (hakim PTUN/hakim yustisial MA), Asep Nursobah (hakim peradilan agama/hakim yustisial MA), Achmad Cholil (Hakim Peradilan Agama/Mahasiswa Universitas Melbourne) dan Binziad Kadafi (Senior Manager Court Reform & Access to Justice, Australia Indonesia Partnership for Justice/AIPJ), berdiskusi panjang lebar dengan Justice Bernard Murphy di ruangannya di gedung Federal Court of Australia (FCA), dengan bantuan penerjemah Mia Hapsari. Didampingi Sia Lagos, Panitera Kepala FCA untuk negara bagian Victoria, beliau membagi banyak pandangan dan pendapatnya pada kami. Justice Murphy baru setahun diangkat sebagai hakim pada FCA. Usia jabatan ini membuatnya dikategorikan sebagai hakim yunior, terutama jika dibandingkan hakim-hakim lain yang bisa jadi sudah puluhan tahun menjabat.
Meski yunior, bukan berarti pengalaman hukum Justice Murphy belum matang. Sebelum mengenakan toga hakim, dia puluhan tahun malang melintang sebagai pengacara ternama di Australia. Firma hukumnya masuk dalam jajaran teratas, yang mempekerjakan sedikitnya 250 orang pengacara, jumlah yang signifikan untuk menguasai persaingan dengan firma yang lain. Selain itu, perkara-perkara besar yang ditanganinya secara langsung, terutama berbagai perkara class action di bidang perlindungan konsumen, menjadikan nama Murphy cukup dikenal di komunitas hukum Australia.
Namun tetap saja, terlepas dari latar belakangnya, di FCA Justice Murphy masih seorang yunior. Selama beberapa waktu, dia harus rela untuk duduk di bawah bimbingan hakim FCA lain seniornya. Sang hakim mentor biasanya akan berperan memberi jawaban atas berbagai pertanyaan yang muncul dari Justice Murphy ketika menjalankan fungsinya sebagai hakim. Tanpa diminta, sang mentor juga bisa memberi masukan kepada hakim baru yang dibimbingnya mengenai kemampuan yang perlu dikembangkan, sesuatu yang sebenarnya tabu untuk dilakukan antar-hakim di Australia, jika di luar hubungan mentor-yunior. Di tengah kesibukannya, sang mentor harus bersedia meluangkan waktu untuk itu.
Ada satu topik yang paling banyak dibahas Justice Murphy dalam diskusinya dengan kami, yaitu soal pembuatan putusan. Menurut Justice Murphy, sebagian besar hakim FCA berasal dari kalangan pengacara berpengalaman. Ada juga yang berasal dari kalangan pengajar sekolah hukum, serta mereka yang sebelumnya pernah menjabat hakim di level yang lebih rendah. Namun mayoritas dari pengacara yang menjadi hakim itu adalah barrister, atau pengacara yang bergelut di bidang litigasi.
Kultur kerja yang terbangun di kalangan barrister ini unik. Mereka sangat independen dalam bekerja dan cenderung solitaire, mengingat umumnya mereka menggunakan bentuk kantor hukum perorangan, bukan firma. Ketika menjadi hakim, karakter independen ini juga masih kuat membekas. Ada baiknya sebenarnya, karena toh hakim memang dituntut untuk selalu bersikap independen. Namun ketika karakter independen pada cara kerja barrister diterjemahkan ke dalam konteks jabatan hakim yang sifatnya publik, hal itu bisa menjadi masalah. Masalah utama ditemukan pada cara mereka membuat putusan.
Dulu terasa sekali pilihan dan gaya individual seorang hakim dalam menuliskan putusannya. Tidak hanya dari seberapa panjang lebar analisanya, termasuk bagaimana format dan tata urutannya. Jika situasi itu masih bertahan, pasti akan sulit bagi Justice Murphy untuk bisa beradaptasi di awal jabatannya. Karena tidak jelas putusan mana dengan format dan gaya apa yang perlu diacu, karena sangat beragam. Atau bisa jadi Justice Murphy memilih untuk menggunakan format dan gayanya sendiri, yang akhirnya hanya akan menambah model putusan di antara banyaknya model yang sudah ada. Bayangkan, jika maraknya format dan gaya putusan menyulitkan bagi seorang hakim baru, bukankah itu artinya juga menyulitkan pelaku peradilan lain seperti pengacara? Lebih menyulitkan lagi tentu saja bagi publik, khususnya masyarakat pencari keadilan.
Template Putusan
Untuk itulah menurut Justice Murphy, sudah beberapa lama FCA mengadopsi penggunaan sebuah template putusan oleh para hakim. Template ini sebenarnya sudah cukup lama diperkenalkan di luar pengadilan oleh berbagai organisasi, terutama akademi hukum. Tujuan yang ingin dicapai dari diintroduksinya template ini adalah agar para hakim memiliki cara yang lebih seragam dalam menyampaikan pesannya ke audiens mereka, publik secara luas, demi memudahkan audiens tersebut dalam menerima pesan. Template bukan dimaksudkan untuk menyeragamkan apa isi pesannya karena jelas akan mengganggu independensi hakim.
Tujuan itu ditangkap dengan baik oleh FCA. Pengadilan Federal Australia ini menyadari betul bahwa hakim bekerja untuk masyarakat. Fungsi hakim yang paling utama adalah mengurangi ketegangan di masyarakat dengan menyelesaikan persoalan yang muncul di masyarakat lewat jalur hukum secara adil, agar mereka tidak menempuh jalur sendiri untuk itu, yang bisa berujung pada kekerasan dan hal-hal buruk lainnya. FCA, atau lebih tepat Justice Murphy meyakini, bahwa fungsi itu tidak akan berjalan dengan baik jika apapun penyelesaian yang adil yang dibuat Pengadilan tidak bisa dimengerti secara luas. Masyarakat tidak akan paham di mana letak keadilan dari suatu putusan, dan apa peran Pengadilan di dalamnya, yang akhirnya membuat ketegangan di masyarakat pun tidak banyak berkurang.
Menurut Justice Murphy, seorang hakim harus bisa berkomunikasi dengan publik lewat putusannya. Mereka tidak seharusnya berkomunikasi hanya dengan sesama hakim, atau dengan sesama anggota komunitas hukum (jurist), melainkan kepada publik pada umumnya. Hanya putusan yang mudah dipahamilah yang bisa menjangkau masyarakat. Dan putusan yang mudah dipahami dimulai dengan format yang standar, yang mudah dibaca lebih bisa diduga susunan dan sistematikanya (predictable).
Sebenarnya template putusan yang digunakan di FCA bukanlah program yang rumit. Dia hanya berbasiskan microsoft word yang bisa digunakan siapa pun. Dia pun hanya memuat headings dan sub-headings yang perlu diisi oleh para hakim jika dianggap relevan, yang menjadi semacam daftar periksa (check list) bagi seorang hakim untuk memastikan kelengkapan dari putusannya. Template putusan sama sekali tidak menyentuh substansi, hanya kerangka bukan isi. Soal apa yang ditulis hakim dalam putusannya, di situlah letak independensi dan kompetensi hakim, yang tidak satu pun bisa mengintervensinya.
Jika kita ambil satu putusan FCA, kita akan dibawa pada halaman pertama yang bagi pembaca sangat membantu. Halaman pertama itu memuat beberapa informasi penting mengenai putusan.
Di halaman pertama jelas dituliskan nama Pengadilan pemutus; nama dan nomor putusannya sendiri; rumusan bagaimana putusan itu seharusnya dikutip (atau lazim dikenal dengan citation); asal perkara (yang menerangkan perkara itu berasal dari banding dari pengadilan mana); nama para pihak; nomor berkas; tanggal putusan; serta keterangan mengenai kuasa hukum yang mendampingi para pihak. Namun yang paling menarik adalah indeksing dari putusan, atau dalam istilah pengadilan Australia, catchwords. Sebenarnya catchwords ini adalah kumpulan kata kunci yang akan memudahkan siapapun untuk mendapatkan putusan yang bersangkutan ketika putusan itu nanti sudah dimasukkan ke dalam database. Catchwords diisi oleh hakim yang memutus, atau asistennya. Catchwords bukan sekedar kata, melainkan beberapa konsep hukum yang relevan dengan isi suatu putusan yang digambarkan dengan kata.
Di halaman kedua dari putusan FCA, kita bisa menemukan subheading yang memuat pertimbangan hakim, atau dalam istilah FCA, reasons for judgment, yang tentu saja harus diisi hakim dan apa isinya ditentukan hakim sendiri. Subheading ini bisa memuat penjabaran atas fakta; isu hukum yang mengemuka (questions of law); analisis atas perundang-undangan, putusan terdahulu mengenai pokok perkara yang serupa; dan lain-lain. Semua terserah hakim untuk memuatnya atau tidak. Template hanya menjadi semacam alat bantu untuk mengingatkan, apa-apa saja yang harus diperiksa oleh hakim dalam menyusun putusannya. Lalu terakhir, akan ada bagian di mana hakim diminta menyampaikan kesimpulannya.
Penomoran Paragraf: Langkah Kecil Namun Berguna
Aspek menarik lain dari template putusan yang layak diperhatikan adalah penggunaan nomor paragraf. Kesannya memang inisiatif ini sangat sederhana, namun ternyata dampaknya sangat luar biasa, baik bagi kepentingan hakim sendiri, kepentingan pengembangan ilmu hukum, juga kepentingan akses publik terhadap keadilan (access to justice). Bagi hakim, penomoran paragraf bermanfaat untuk menjadikan putusannya lebih sistematis dan mudah dikutip, termasuk dalam putusan itu sendiri. Misalnya daripada mengulang menjelaskan suatu konsep yang sudah dijelaskannya dalam suatu paragraf, hakim yang bersangkutan tinggal menyebutkan paragraf mana yang ingin dia rujuk.
Bagi fakultas hukum, jelas penomoran paragraf dalam putusan akan memudahkan dalam menginventarisirnya ke dalam database, termasuk tentu saja mengutip putusan tersebut. Patut diketahui bahwa seluruh putusan FCA akan dimasukkan ke dalam database AustLii, sebuah sistem informasi hukum yang jadi pegangan komunitas hukum di Australia yang memuat tidak hanya putusan, peraturan perundang-undangan, namun juga berbagai jurnal dan artikel hukum.
AustLii dikembangkan dan dikelola oleh Fakultas Hukum University of New South Wales bekerjasama dengan Institut Teknologi Sydney. Database AustLii dapat diakses oleh siapa pun secara cuma-cuma. Ketika putusan FCA diunggah ke dalam AustLii, penomoran halaman yang semula dibuat menjadi tidak relevan. Sebab AustLii menggunakan basis html yang memang tanpa halaman. Di sinilah penomoran paragraf menjadi penting. Tanpa nomor halaman sekalipun, asalkan setiap paragraf suatu putusan memiliki nomornya, maka rujukan terhadap putusan tersebut akan tetap tepat. Bagi pencari keadilan, penomoran paragraf sangat membantu dalam membaca dan memahami putusan, mengontrol akurasi putusan, serta lagi-lagi, dalam mengutip putusan.
Aspek terakhir yang menarik dari format putusan FCA adalah kemungkinannya untuk menggunakan lampiran gambar atau grafik dalam menjelaskan suatu fakta hukum. Seringkali daripada menjelaskan panjang lebar fakta hukum tertentu, hanya dengan menampilkan suatu gambar atau bagan, suatu masalah bisa menjadi jelas dengan sendirinya (self explanatory), atau lebih mudah dipahami.
Belajar dan Belajar
Di luar peran template putusan, sebagai seorang hakim baru Justice Murphy juga membutuhkan media lain untuk membiasakannya dengan tugas menulis putusan. FCA memiliki program pendidikan bagi hakim baru yang disebut sebagai sekolah menulis putusan (decision writing school). Melalui program ini, para hakim yang berpengalaman akan membagi pengetahuan dan keterampilannya secara sistematis dalam menulis putusan dengan peserta. Semua aspek praktis terkait proses yang harus ditempuh seorang hakim saat membuat putusannya akan dibahas. Pengetahuan dan keterampilan tersebut bahkan telah dibakukan oleh penyelenggara program pendidikan ke dalam modul-modul pelatihan. Dengan kredibilitasnya, program pendidikan ini telah menjadi suatu kebutuhan di kalangan hakim.
Bersama Justice Associate seusai persidangan. Justice Assosiate (paling kanan) adalah asisten hakim yang direkrut dari alumni fakultas hukum terbaik atau para pengacara
Media lain yang sangat membantu hakim di FCA dalam menjalankan tugasnya, termasuk menyusun putusan, adalah peran asisten hakim (judge assistant). Para asisten hakim ini biasanya adalah lulusan terbaik dari fakultas-fakultas hukum yang dipilih dengan sangat selektif. Mereka dikontrak untuk 1 tahun, paling lama 2 tahun, dan digaji sebagaimana layaknya pegawai pengadilan. Fungsi mereka yang utama adalah membantu hakim dalam mengelola proses persidangan, serta melakukan penelitian hukum dalam rangka penulisan putusan, jika diminta oleh hakim. Motivasi dari beberapa asisten hakim yang kami temui di FCA yang paling mengemuka adalah untuk belajar langsung dari hakim yang mereka bantu dan mendapatkan pengalaman praktis di pengadilan. Namun disadari atau tidak, mereka juga sebenarnya menjalankan peran sebagai rekan belajar dan teman diskusi dari para hakim.
Salah satu tantangan yang paling berat bagi Justice Murphy adalah memulai dan menuntaskan proses menulis putusannya. Menurutnya, sangat kuat keinginan untuk segera menulis putusan tepat setelah persidangan dilakukan, dan segera setelah keterangan para pihak selesai didengar. Sebab di saat itulah ingatannya masih sangat segar mengenai suatu perkara, yang tentu akan membantu meringankan bebannya. Namun, jumlah perkara yang harus ditangani menyulitkannya untuk melakukan itu. Kadang, meski sangat jarang, baru 4 bulan setelah persidangan dituntaskan, Justice Murphy memulai menulis putusannya. Di tengah diskusi kami, Justice Murphy menunjukkan satu troli yang di dalamnya berjejer folder berisikan berkas perkara. Dia tengah menuliskan putusan atas perkara itu.
Di akhir pertemuan kami, Justice Murphy sempat mengkopikan 3 putusan yang dia anggap sebagai putusan terbaik yang pernah dia buat. Putusan pertama mengenai perlindungan konsumen setebal 34 halaman. Putusan kedua mengenai perpajakan setebal 67 halaman. Putusan ketiga mengenai arbitrase yang relatif sederhana, setebal 23 halaman.
Terlepas seberapa baiknya putusan Justice Murphy, Sia Lagos mencoba membandingkannya dengan Chief Justice Patrick Keane (Ketua FCA), yang menurut Sia adalah satu di antara orang terpintar di Australia. CJ Keane bisa menuliskan putusan atas perkara yang cukup kompleks hanya dalam 15 halaman. Tidak hanya pendek, putusan CJ Keane juga sangat mudah diikuti oleh siapa pun karena memang selalu menggunakan bahasa sederhana (plain language) dan cara bertutur yang apik. Menurut Sia, FCA saat ini ada dalam posisi bahwa menulis putusan secara berpanjang-panjang dengan bahasa yang rumit dan terkesan canggih (sophisticated) tidak lagi membuktikan keahlian seseorang. Malah hal itu dianggap sebagai bentuk dari kelemahan yang perlu diperbaiki. Hakim yang hebat menurut Sia, adalah mereka yang bisa menuliskan putusannya dengan singkat dan dengan bahasa sesederhana mungkin, agar pesan yang dikandung putusan itu juga bisa menyentuh masyarakat awam −tentu saja tanpa mengorbankan substansi. Karakter hakim seperti itulah yang dimiliki CJ Keane dan akan segera dikuasai oleh Justice Murphy dari proses belajarnya. (Penulis :Binziad Kadafi (Senior Manager Court Reform & Access to Justice, Australia Indonesia Partnership for Justice/AIPJ),